Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat mulia: memastikan anak-anak dari keluarga miskin berangkat sekolah dengan perut terisi dan otak siap belajar. Realitas di lapangan berkata lain. Ekosistem pendukung—dari rantai pasok hingga higienitas dapur—masih berlubang, lalu insiden keracunan yang viral menampar rasa aman publik. Kita seperti bermain buli-bulian dengan uang negara: dana mengalir, risiko menumpuk, dan hasil gizi tidak konsisten. Bila tujuan kita gizi anak dan kesejahteraan keluarga, kita wajib berani mengubah format sebelum kerusakan kepercayaan menjadi permanen.
Solusinya jelas: ubah MBG dari pemberian makanan jadi di sekolah menjadi skema cash-plus—bantuan tunai terarah kepada orang tua dengan kontrak gizi dan pendampingan. Bantuan tetap menyasar kelompok yang sama, dengan nilai anggaran yang sama, hanya mekanismenya yang bergeser. Uang ditransfer bulanan ke rekening atau dompet digital ibu/orang tua penerima, lalu orang tua menandatangani pakta bahwa anak sarapan sehat sebelum berangkat dan membawa bekal sesuai panduan gizi. Skema ini menghormati kedaulatan dapur keluarga, memungkinkan variasi menu lokal yang lebih segar, dan mengurai risiko single-point failure yang kerap terjadi saat ribuan porsi bergantung pada satu rantai produksi.
Agar tertib dan tepat guna, bantuan tunai dapat dibingkai sebagai e-voucher yang hanya dapat dibelanjakan di merchant terdaftar—pasar, warung, atau toko bahan segar. Struk belanja diunggah lewat aplikasi sekolah; Puskesmas dan komite sekolah melakukan spot check acak pada menu dan kebersihan. Anak ditimbang dan diukur berkala untuk memantau status gizi; kehadiran sekolah dapat menjadi soft conditionality yang memicu top-up insentif. Pendampingan menjadi kunci: modul “menu sehat 15 ribu”, kelas singkat higienitas, dan contoh rencana bekal mingguan akan mengubah bantuan menjadi perubahan perilaku yang bertahan.
Dari sisi ekonomi, welfare level rumah tangga meningkat karena orang tua mengoptimalkan anggaran sesuai preferensi dan harga lokal, sekaligus belajar mengelola gizi keluarga. Kebocoran logistik berkurang, biaya administrasi bisa ditekan dengan digitalisasi, dan rantai nilai pangan kecil di sekitar sekolah ikut bergerak. Di sisi kesehatan publik, risiko keracunan massal menurun karena produksi pangan terdispersi, bukan tersentral di satu dapur besar yang rentan salah urus.
Kepada Presiden Prabowo, kita perlu menyampaikan satu pesan lugas: pertahankan tujuan besar MBG, koreksi caranya. Luncurkan pilot tiga bulan di kabupaten/kota dengan kesiapan digital dan pengawasan komunitas yang kuat. Ukur dampaknya pada kehadiran, keragaman diet, keluhan pencernaan, dan kepuasan orang tua—lalu skalakan bertahap hingga nasional. Negara hadir bukan hanya dengan porsi makanan, melainkan dengan kepercayaan, alat, dan pengetahuan yang menumbuhkan kemandirian keluarga.
Kita tidak sedang memundurkan langkah; justru mempercepat capaian gizi dengan mekanisme yang lebih aman, adaptif, dan efisien. MBG versi cash-plus menempatkan anak sebagai pusat, keluarga sebagai mitra, dan negara sebagai pengarah yang cerdas. Bila niat sudah baik, mari pastikan caranya tepat.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)