Saya tengah belajar ulang mengenai tiga level kesadaran ala Paulo Freire kala istri saya mengeluh sakit. Kami sedang menanti proses kelahiran putri kami yang pertama pada minggu keempat, Agustus 2005. Sekejap saya meninggalkan buku Pendidikan Kaum Tertindas, lalu beralih menenangkannya.
Saya gundah, antara melanjutkan mambaca atau memeluknya guna meredam sakit. Sementara bisikan Freire mengawang di benak saya. Saya ingat, kala itu saya sedang menyiapkan diri untuk ujian dan wawancara dalam rangka melanjutkan kuliah di bidang kajian Integrated Natural Resources Management.
Freire mengalahkan semua itu. Sambil mengusap kepala istri, saya mengawang pada faktor di luar manusia yang menyebabkan ketidak-berdayaan secara struktural. Supranatural menjadi penyebab kelemahan itu. Manusia terlalu dinavigasi oleh pikirannya yang mengawang-awang. Lebih parah lagi, pikiran itu bersifat magis.
Itu fatalisme, kata Freire. Isu struktural membawa-bawa nama Tuhan, lantas beranggapan bahwa semua itu sudah nasibnya. Dalam hal ini, manusia tidak mampu melihat hubungan sebab-akibat yang nyata dari penderitaan yang mereka alami. Alih-alih mau keluar dari penderitaan struktural, manusia cenderung bersembunyi atas nama suratan Ilahi, lantas menyalahkan takdir.
Jadi, kalau menderita karena miskin, apa kita mau salahkan Tuhan Yang Maha Kaya? Banyak orang terjerembab pada pemikiran demikian, mereka lebih memilih menjelaskan keadannya dengan balutan mitos, suratan takdir, atau hal-hal gaib lainnya.
“Orang-orang tahu bahwa sesuatu sedang terjadi, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk mengubahnya,” tulis Freire.
Dalam konteks Kesadaran Magis, Freire menyatakan; manusia tidak mampu melihat hubungan sebab-akibat yang nyata dari penderitaannya.
Saya tentu tidak mau terjerembab pada pemikiran: biaya melahirkan mahal, ya sudah, pasrah saja. mengapa biayanya menjadi mahal? Apakah nasib saya yang membuat biaya melahirkan itu mahal?
Malam itu, saya gelisah. Saya sudah menyiapkan nama anak kami yang akan lahir; berhubungan dengan warna hijau yang kebiru-biruan, dan astronomi. Namun nama yang kami siapkan belum bisa digunakan, karena bayi itu masih berada di perut ibunya.
Ketika hujan deras mendera keesokan hari, Jumat 26 Agustus 2005, saya memacu sepeda motor menuju rumah sakit. Sementara, istri saya yang hampir sekarat harus bergegas dengan taksi. Kota Padang dilanda banjir hebat sore itu. Di rumah sakit, saya mengatakan pada dokter yang membantu persalinan, tolong lakukan yang terbaik.
Saya tak ingat lagi soal-soal yang ditanyakan pada ujian siang tadi. Dalam kepala saya, doa-doa terpanjatkan; semoga mereka berdua diselamatkan oleh Allah, Sang Maha Pemberi Keselamatan dan Kesejahteraan. Pikiran saya berputar-putar; antara cemas dan Freire.
Menurut Freire, level kesadaran berikutnya adalah Kesadaran Naif, dimana manusia mencari penjelasan tentang keadaan struktural yang mereka alami. Namun penjelasan itu cenderung dangkal, dan sangat individualistik.
“Kesadaran naif cenderung melihat masalah secara personal, bukan struktural. Ia menempatkan kesalahan pada individu, bukan pada sistem yang menindas,” tulisnya.
Orang dengan level Kesadaran Naif cenderung menyalahkan diri sendiri. Misalnya, mengapa miskin? Karena malas. Tidak ada penjelasan lain selain itu.
Sebagian mereka di level kesadaran ini sangat percaya pada janji-janji politik dari tokoh yang kharismatik. Mereka beranggapan, dengan adanya tokoh kharismatik, semua urusan akan selesai, tidak perlu usaha lain, tidak perlu pula mempertanyakan, cukup menunggu gebrakannnya saja. Orang-orang di level kesadaran ini berpikir tanpa sanggup menguji kebenaran struktural di balik kelakukan tokoh tersebut.
Akibatnya, mereka gampang sekali kecewa. Baper, istilah sekarang. Mereka frustasi lantaran harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Alangkah naifnya, mereka bahkan tak mampu memahami kompleksnya sistem sosial yang hadir di tengah-tengah lingkungannya sendiri.
Menurut Freire, kesadaran transitif naifnya seseorang ditandai dengan penyederhanaan masalah, lantas orang itu membuat penjelasan yang fantastik, namun kerap dangkal dalam argumentasi. Mereka yang berkesadaran naif tentu masih penuh dengan ilusi.
“Mereka percaya pada perubahan yang instan, pada ‘pemimpin penyelamat’, dan sering kali menolak dialog sejati karena menganggap pendapatnya sudah benar,” tulis Freire.
Di luar, hujan tiada ada pertanda berhenti. Saya masih menanti tangisan pertama di luar kamar operasi. Saya lupa, Dimana buku Pendidikan Kaum Tertindas itu saya letakkan. Mungkin sudah hancur ditelan hujan.
Namun Freire, Si Pemikir brewokan itu tak hanya meninggalkan Pedagogy of the Oppressed. Dia juga telah merilis buku-buku lainnya yang dekat dengan tema pendidikan, seperti: Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Pendidikan Untuk Kesadaran Kritis, Politik Pendidikan, Pendidikan Yang Membebaskan, dan entah apa lagi.
Di level pamuncak, lanjut Freire; Kesadaran Kritis. Menurutnya, kesadaran kritis bekerja secara struktural, reflektif, dialogis, dan transformatif. Singkatnya, kesadaran kritis menuntut proses dialog antara aksi dan refleksi.
“Kesadaran transitif yang kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah,” tulisnya.
Pada titik inilah orang dewasa dapat belajar. Apa yang mereka alami dapat diurai sedemikian rupa sebelum pisau analisis datang menyayat dengan tajam. Berbagai analisis itu lantas mendorong adanya kesimpulan-kesimpulan untuk diuji lebih dalam. Demikian seterusnya, setelah diuji, orang berkesadaran kritis akan mengurai hasil pengujiannya, lantas melakukan analisis kembali, demikian seterusnya.
Bagi saya, praksis – proses aksi dan refleksi yang terus menerus – dapat mengantarkan kita pada situasi kritis, bukan membangkang tapi mempertanyakan suatu keadaan dengan sandingan fakta-fakta yang nyata, bukan ilusi apa lagi takhayul. Bagi saya, praksis hanya boleh berhenti jika saya mati, suatu saat nanti.
Dalam konteks ini, Freire menekankan perlunya kemampuan intervensi untuk perubahan sosial dan pembebasan. Tanpa kesadaran kritis, rakyat akan tetap terjebak dalam siklus penindasan. Kesadaran kritis dicirikan dengan mahirnya seseorang membaca realitas sosial secara struktural, bukan sekadar melihat gejala permukaan. Di sini, kita akan berkemampuan untuk menyadari bahwa penindasan bukan salah individu, melainkan hasil dari sistem, struktur, dan relasi kuasa.
“Kesadaran kritis mendorong manusia untuk memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan melawan kondisi yang menindas,” tulisnya.
Dengan kesadaran kritis, ungkapnya, manusia tidak lagi menjadi objek sejarah, melainkan subjek yang menuliskan sejarahnya sendiri.
Pada titik ini saya tercenung. Kesadaran kritis tentu bersifat humanistik. Dia menolak dehumanisasi, mengembalikan martabat manusia sebagai subjek. Maka jadilah terdidik anakku, karena aslinya pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia. Sabtu dinihari, saya membisikkan panggilan sholat di telinga anak baru lahir itu, untuk kali pertama.