Sebuah fenomena mengejutkan muncul ketika PMK No. 56 Tahun 2025 tampak berani melawan arus UU No. 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025. Pertanyaan besar pun mengemuka: bagaimana mungkin sebuah peraturan teknis dari menteri bisa menantang payung hukum yang lahir dari proses politik dan mendapat persetujuan DPR? Apakah kita sedang menyaksikan arogansi eksekutif atau justru kelemahan sistem pengawasan hukum?
Ketidakselarasan yang Mencolok
Undang-undang memberi jaminan bahwa Transfer ke Daerah (TKD) tidak dapat dipotong kecuali karena sanksi. Di sisi lain, PMK membuka celah pemotongan dengan alasan yang longgar seperti infrastruktur atau program non-layanan dasar. UU membatasi efisiensi hanya pada belanja pusat, sementara PMK memperluasnya hingga ke TKD. UU menjamin kepastian arus kas ke daerah, sedangkan PMK menahan hasil efisiensi di tangan pusat. Semua ini menunjukkan satu hal: PMK telah menyalip UU dalam substansi kebijakan.

Arogansi Eksekutif atau Lemahnya Kontrol?
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Pertama, karena eksekutif merasa memiliki ruang interpretasi yang luas dalam menjalankan APBN. Kedua, DPR sering berhenti pada tahap persetujuan anggaran tanpa memastikan implementasinya sesuai amanat undang-undang. Ketiga, lemahnya mekanisme harmonisasi regulasi membuat peraturan teknis bisa lahir tanpa koreksi yang memadai. Dalam kondisi ini, PMK tampil seolah lebih berkuasa daripada UU.
Bahaya bagi Demokrasi Fiskal
Kita tidak boleh menyepelekan persoalan ini. Jika sebuah PMK bisa menyalip UU, maka prinsip hierarki hukum runtuh. Jika eksekutif bisa menahan dana transfer tanpa melibatkan DPR, maka mekanisme check and balance kehilangan makna. Jika daerah kehilangan kepastian anggaran, maka otonomi fiskal hanya tinggal slogan. Semua ini pada akhirnya merugikan rakyat yang menunggu pelayanan publik dari anggaran negara.
Mendesak untuk Diluruskan
Kita harus bersuara lantang: peraturan teknis tidak boleh melampaui undang-undang. DPR wajib memperkuat fungsi pengawasannya, publik perlu menuntut transparansi, dan pemerintah pusat harus mengoreksi arogansi regulasi. Harmonisasi menjadi kunci agar kebijakan fiskal berjalan konsisten, adil, dan sesuai dengan amanat konstitusi.
Penutup
Pertanyaan “mengapa sebuah PMK berani menantang UU?” tidak bisa dijawab dengan alasan teknis semata. Jawaban sesungguhnya terletak pada keberanian kita sebagai bangsa untuk menjaga marwah hukum dan demokrasi. Bila kita biarkan, PMK menjadi preseden buruk yang mengikis kewibawaan UU. Bila kita lawan, kita sedang menegaskan bahwa hukum tertinggi tetap berada di tangan rakyat melalui wakilnya di DPR.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)