Langgam.id – Kabupaten Padang Pariaman merayakan hari ulang tahun ke-187 pada Sabtu (11/1/2019). Hari jadi tersebut diperingati dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Padang Pariaman.
Selain Bupati Ali Mukhni dan Wakil Bupati Suhatri Bur, acara tersebut dihadiri sesepuh Sumbar H. Azwar Anas, Wakil Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Nasrul Abit dan sejumlah bupati dan wali kota di Sumbar, sejumlah politisi dan tokoh masyarakat. Demikian dilansir siaran pers Humas Pemprov Sumbar.
Wagub Nasrul Abit dalam sambutannya mengapresiasi hubungan harmonis Bupati Ali Mukni dengan Wabup Suhatri Bur serta DPRD.
"HUT ini merupakan ajang evaluasi dan mencari solusi pemikiran baru terhadap penyelenggara apakah roda pemerintahan sudah berjalan baik atau masih butuh pembenahan guna mendorong Padang Pariaman lebih baik lagi," katanya.
Wagub juga mengapresiasi PDRB Padang Pariaman sebesar Rp49,9jt yang merupakan nomor 2 di Sumatera Barat.
"Kita bangga dan senang PDRB Padang Pariaman merupakan nomor 2 terbaik di Sumbar. Namun kami berharap juga masih melihat saat ini data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Prov Sumbar tercatat masih ada 134 nagari/desa dengan status tertinggal. Meskipun Padang Pariaman sudah lepas dari status daerah tertinggal tentu untuk nagari yang ada di Padang Pariaman dengan status tertinggal harus bisa ditingkatkan statusnya," kata Wagub.
Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Gusti Asnan dalam perbicangan dengan Langgam.id sebelumnya mengatakan, tanggal tersebut merujuk pada peristiwa administratif. Ketika, pada 11 Januari 1833 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Besluit tentang pembentukan Afdeeling Pariaman.
Afdeling merupakan wilayah administratif setingkat kabupaten, pada masa itu. Afdeeling dipimpin seorang asisten residen dan bagian dari sebuah keresidenan. Sementara, afdeling dapat lagi terbagi ke beberapa onderafdeeling yang dipimpin controleur.
Pada 1819, ketika masuk ke Padang, Belanda mendirikan Residentie Padang en Onderboorigbeden (Keresidenan Padang dan daerah taklukannya). “Jadi, Padang yang terlebih dahulu diduduki pada 1819, dan makin lama semua daerah pedalaman yang ditaklukkan masuk ke wilayah residen ini,” kata Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Unand itu.
Sejak 1819 itu, menurutnya, Pemerintah Hindia Belanda tiap sebentar menata ulang daerah administratif. “Penataan menyesuaikan dengan perkembangan daerah taklukan dan perubahan fokus kepentingan mereka,” kata Gusti.
Berbagai perubahan tersebut tetap berlanjut antara tahun 1825 sampai 1828. Saat itu, di Pulau Jawa berkecamuk Perang Diponegoro. Pemerintah Hindia Belanda habis-habisan menghadapinya, sampai mengirim pasukan dari Sumatra.
Pasca 1830, setelah Perang Diponegoro usai, menurut Gusti, Pemerintah Hindia Belanda mengalihkan perhatian pada perlawanan Padri di Sumatra. Militer yang dikirim dari Sumatra ke Pulau Jawa dikembalikan lagi ke Sumatra.
Antara 1830 sampai 1832, menurutnya, adalah masa kampanye militer. Saat Belanda mulai merasa di atas angin dan merasa bisa mengalahkan Padri.
“Saat itu, masa-masa kaum adat yang awalnya bergabung dengan Belanda mulai berbalik arah dan bergabung dengan Padri,” kata Gusti.
Menghadapi situasi ini, perubahan wilayah administratif pun dilakukan. Saat itulah, Afdeling Pariaman dibentuk. “Wilayahnya adalah wilayah kabupaten dan kota Pariaman saat ini, Tiku, Manggopoh, Maninjau, Palembayan, sampai ke Bonjol dan Rao,” katanya.
Bila dilihat dengan kaca mata hari ini, kata Gusti, seolah agak aneh. Karena, Bonjol dan Rao yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Pasaman, berada di pedalaman yang jauh dari Pariaman yang di daerah pantai.
“Namun, saat itu akses jalan memang dari situ. Untuk menuju Bonjol dan Rao yang menjadi pusat pertahanan Padri, harus dari Pariaman, terus ke Tiku, kemudian melewati Palembayan dan tembus ke daerah Kumpulan sebelum masuk ke Bonjol dan Rao,” tuturnya. (*/HM)