Muhammad Ikbal
Pulau Cingkuk, sebuah pulau kecil yang terletak di perairan Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, menyimpan jejak masa lalu yang penting. Di pulau ini berdiri sisa-sisa bangunan batu tua yang sejak lama disebut masyarakat sebagai “Benteng Portugis.” Namun, apakah benar itu peninggalan Portugis?
Justru di sinilah masalahnya: penafsiran sejarah yang keliru bisa menciptakan pemahaman yang menyesatkan, dan bahkan menghambat potensi wisata sejarah yang edukatif. Banyak sumber sejarah menyatakan bahwa struktur benteng di Pulau Cingkuk merupakan peninggalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda yang pernah mendominasi wilayah Asia Tenggara selama abad ke-17 dan 18.
Namun, narasi “Portugis” telah lebih dahulu menyebar dan sulit diluruskan. Kami melalui penelitian tahun 2021 telah mencoba menelisik kelindan sejarah Benteng Pulau Cingkuk, dalam penelitian tersebut memang tidak ditemukan adanya dokumentasi yang menyebutkan Portugis pernah bertempat tinggal atau membangun pusat perdagangan disana.
Hal tersebut diperkuat dengan temuan arsip surat dari pedagang VoC yang menempuh pelayaran dari Batavia ke Indopuro, Aie Haji, Salido, Pariaman di tahun 1551. Jikalau memang ada Portugis bercokol di sana, tentu pedagang VoC akan bercerita dalam surat tersebut, atau barangkali bercerita mereka singgah di Pulau Cingkuk, namun, narasi tersebut tidak ditemukan dalam surat tersebut.

Mengapa Salah Tafsir Ini Berbahaya?
Sebagian orang mungkin berpikir, "Ah, hanya soal nama, apa pentingnya?" Padahal, penamaan dan pemahaman terhadap situs sejarah punya dampak besar terhadap cara kita memaknai masa lalu. Menyebut benteng itu sebagai warisan Portugis bisa menyesatkan pengunjung dan menciptakan narasi palsu tentang hubungan sejarah Minangkabau dengan bangsa Eropa. Hal ini juga mengaburkan peran penting VOC dan dinamika lokal-kolonial yang pernah terjadi di wilayah itu.
Lebih dari itu, salah tafsir bisa menghilangkan potensi wisata edukatif yang seharusnya bisa dikembangkan secara serius. Bayangkan jika Pulau Cingkuk dikemas sebagai bagian dari jejak arsitektur pertahanan VOC, lengkap dengan informasi sejarah, tur berpemandu, dan bahan literasi publik—bukankah ini bisa menjadi magnet wisata sejarah di Sumatera Barat?
Baru-baru ini, dilaman media sosial instagram, dengan akun kabarpesisirselatan, menanyangkan sekelompok pemuda ditemani beberapa orang bule datang berkunjung ke pulau Cingkuk, saya kutip apa yang ditulis
“Bule ini menceritakan sedikit sejarah makam yang berada di Pulau Cingkuak Painan saat berkunjung di Pulau tersebut, pada Selasa (5/8/2025) kemarin. Katanya dalam satu makam tersebut ada sepasang suami istri yang berasal dari Negara Belanda setelah 150 tahun meninggal dunia. Tulang belulangnya ditemukan disuatu tempat, lalu dikubur kan ulang oleh seorang yang berasal dari Negara Perancis. Makanya, makam tersebut bertuliskan bahasa Perancis, bukan Portugis ataupun Belanda.”
Dari cerita diatas, dapat kita lihat bagaimana kekeliruan dalam tafisr, tidak hanya tafisr tentang benteng Portugis, namun, tafsir lain muncul.
Wisata Sejarah: Jembatan Masa Lalu dan Masa Kini
Wisata sejarah bukan sekadar berkunjung dan berfoto. Ia adalah jembatan antara generasi sekarang dengan peristiwa yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Melalui wisata sejarah, kita tidak hanya menikmati keindahan lokasi, tetapi juga merenungkan perjuangan, diplomasi, perlawanan, dan interaksi lintas budaya yang membentuk masyarakat hari ini.
Sayangnya, banyak situs sejarah di Indonesia, seperti Pulau Cingkuk, belum digarap serius. Tidak ada papan informasi, tidak ada narasi resmi, dan tidak ada pelibatan masyarakat lokal dalam mengelola pengetahuan sejarah. Akibatnya, cerita-cerita populer yang tak berdasar terus beredar, dan peluang untuk membangun kebanggaan serta pemahaman sejarah yang baik pun terlewatkan.
"Le monde est un exil," begitu tertulis pada batu nisan di makam Susanna Geertruij Haije di pulau itu. Ia ialah istri dari Thomas van Kempen, opperhoofd (kepala pedagang) distrik Cingkuk dan sekitarnya ketika loji VOC di tempat itu dihancurkan Inggris berkeping-keping pada Agustus tahun 1781. Kalimat pada makam Susanna kira-kira berarti, "Dunia ialah tempat pengasingan", yang mewakili perasaannya ketika ia mesti mengikuti suaminya meninggalkan kampung halaman yang tenteram di Belanda sana menuju 'medan tugas' di sebuah pulau asing nan jauh di negeri tropis, nun di Pesisir Barat Sumatra.

Sabine van Kempen, keturunannya yang kesekian dari garis ranji, menziarahi makam nenek-buyutnya itu pada 1912. The Locootif mencuplik kenang-kenangan yang ditinggalkan Belanda totok tersebut beberapa puluh tahun kemudian dalam sebuah edisi khusus pada 30 Mai 1936. Ketika Sabine mengunjungi pulau itu, di sana begitu sunyi, tulisnya, "Ik kan mij op dit moment heel goed voorstellen, hoe de eeuwen op dit eilandje geluidloos voorbij gaan" [Saat ini saya bisa membayangkan dengan baik bagaimana berabad-abad berlalu dengan tenang di pulau ini]. Surat kabar terbitan Semarang itu pada edisi tersebut mengeluarkan dua foto bagian-bagian dinding dan gerbang loji yang telah diamuk waktu. Bentengnya dijalari akar pohon dan dikelilingi semak-semak ransam yang meninggi. Dan sebuah foto lagi memperlihatkan dermaga yang tinggal hanya tumpukan-tumpukan batu-tembok tak beraturan hancur-rusak dipulun zaman.
Menelisik Jejak Susanna Geertruij Haije
Awal tahun 2021 pada bulan Januari, untuk pernama kalinya saya mengunjungi Pulau Cingkuk, sebuah pulau kecil yang berada tak jauh dari pantai Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan. Salah satu yang memunculkan rasa ingin tahu adalah tinggalan cagar budaya beruapa sisa reruntuhan benteng serta kuburan kusam dengan retakan pada batu mejan dan tulisan yang nyaris tak terbaca lagi yang mempertegas pembiaran serta pengelolaan yang serampangan terhadap tinggalan cagar budaya tersebut. Selain itu, saya tidak menemukan informasi yang mendalam pada papan informasi. Dari sana, keingintahuan membawa pada penelusuran-penelusuran arsip dan desk study di berbagai lembaga kearsipan.
Merujuk arsip kota Amsterdam Ondertrouwregister, archiefnummer 5001, inventarisnummer 602, Thomas van Kempen Janzs menikah dengan Susanna Geertruij Haije pada tanggal 9 Februari 1759. Thomas van kempen jansz memulai karir sebagai sersan di VOC pada tanggal 15 Juni 1763. Pada tahun itu juga ia diberangkatkan ke Batavia menggunakan kapal Lapienenburg. Tujuh bulan kemudian tepatnya 5 Februari 1764, ia telah menginjakkan kakinya di Batavia. Dari Batavia, Thomas van Kempen kemudian ditugaskan ke pulau Cingkuak sebagai wakil kepala. Tahun 1777, Thomas van Kempen menjabat sebagai opperhoofd di pulau Cingkuk menggantikan Jan Calkoen van Limburg. Susanna Geertruijd Haije berangkat ke ulau Cingkuk pada tanggal 22 Januari 1765 dengan putra bungsunya dan dilaporkan meninggal serta dikuburkan di pulau tropis pada tanggal 26 April 1767. Sekitar 150 tahun setelah kematiannya, cicit perempuannya memasang nisan baru di kuburnya. Lihat: De Nederlandsche Leeuw, Volumes 119-120 tahun 2002.
Kemudian, atas perintah Letnan Gubernur Pantai Barat Sumatra dan Dewan di Padang dalam pelaksanaan perintah Pemerintah Tinggi yakni Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, ia menulis uraian mengenai daerah-daerah pantai barat Sumatera pada tahun 1780. Itulah jejak karyanya yang terakhir sebagai pegawai Kompeni sebelum penyerangan itu dan menjadikannya tawanan yang hina.
Serbuan Inggris
Keterlibatan Belanda dalam Perang Revolusi Amerika tampaknya membuat Inggris berang, konflik tersebut dibawa ke daerah jajahan mereka, termasuk Nusantara. Henry Botham melalui surat tertanggal 12 Oktober 1781 yang ditujukan kepada Lord Darmouth, mengabarkan terkait keberhasilan ekspedisi dari Port Marlborough (Bengkulu) ke Pulau Cingkuk dan Padang pada bulan Agustus tahun 1781. Since the Capture of Padang, I have taken Possession of its Subordinates Poloe Cinquo, Ayer Adjee, and Priamang, all which settlements we are now distinguish, demikian Botham menutup suratnya.
Tidak hanya surat dari Botham yang dapat kita telisik, ada juga surat yang berasal dari Pulau Cingkuk tertanggal 21 Agustus 1781 ditulis L. Harries, mengabarkan kepada Dewan East India Company (EIC) di Port Marlborough terkait keberhasilan ekspedisi dan menawan pegawai VoC di pulau Cingkuk.
Para penyerang kemudian meninggalkan Cingkuk dalam keadaan porak-poranda. Netscher menulis kalau loji VOC di Cingkuk tidak diduduki Inggris secara permanen. Namun, mereka telah menghancurkan sebagian besar bangunan dan benteng di sana. "Wel hadden zij de gebouwen en versterkingen op Poeloe Tjinko grootendeels vernield," demikian Netscher.
Akhir Hidup Thomas van Kempen Jansz
Setelah serangan mendadak yang dilakukan Inggris melalui Port Marlborough, semua tawanan melalui kapal dikirim ke Plymouth. Jurnal De Nederlandsche Leeuw, Volumes 119-120 tahun 2002; mereka dikirim ke Inggris, dan dipulangkan ke Belanda. Thomas van Kempen pada bulan Juni tahun 1782 menulis.
Terwijl ik met mijn Huisvrouw aan Boord moest blijven, tot de Schepen naa Europa onder zeil gingen, gong men aan de Wal voort met alle mijne Goederen, Meubelen, Goud, zilver, Juwelen van mijn vrouw slaven etc. dat Botham mede gevoerd had te verkopen, ende buit te ver delen; en is ons niets gelaaten als een gedeelte onzer klederen, zelfs geen Bed om op te slaapen zoo dat wij arm en berooid, den 15 October van daar de Reize na Engeland hebben moeten aannemen: intussen liet de capt. Ongeweten zo dra dezelve aan boord kwam, (….""Sementara aku harus tetap berada di atas kapal bersama istriku (mijn Huisvrouw), hingga kapal-kapal yang menuju Eropa berlayar, orang-orang di darat terus menjual semua barang-barangku: perabot, emas, perak, perhiasan istriku, budak, dan lain-lain yang telah dibawa oleh Botham; dan membagi hasil rampasannya. Tidak ada yang ditinggalkan kepada kami selain sebagian pakaian, bahkan tidak ada ranjang untuk tidur, sehingga kami melarat dan tanpa apa-apa, pada 15 Oktober harus melanjutkan perjalanan ke Inggris.", ...")
demikian Thomas van kempen menutup surat tersebut dengan lirih.
Arsip Kota Amsterdam menyebutkan Thomas Van Kempen meninggal dan dimakamkan pada tanggal 10 November 1783 di Westerkerk, Gereja Reformed di dalam Calvinisme Protestan Belanda di Amsterdam Tengah.
Ida Bela Griese
Hal yang menarik disini pernikahan ke dua Thomas van Kempen dengan seorang Ida Bela Griese, tidak ada catatan resmi yang ditemukan terkait pernikah mereka, apakah pernikah tersebut dilangsungkan secara sederhana di Pulau Cingkuk atau di Padang. Untuk memastikan bahwa Ida Bela Griese adalah istri ke dua dari Thomas van kempen, saya menemukan arsip terkit hak pewarisan yang dibuat oleh Ida Bela melalui Notaris Cornelis Hatman. Verantwoording van den Boedel en goederen van Wijte Vrouwe Ida Bela Griese taatst We dume van den Weledele Heer Thomas Van Kempen Jansd: in leven wel eel geweest zijnde oppet Hoofd van Poulo Chinco op Sumatras West Kust gewound hebbende en op den 20 Juy 1796 overt leeden bumen deeze stad ten huize van otto Samuel Brul, zoo als die bij de over leedene zijn bezeeten, en metter dood zijn ontrumd en nagelaten. ("Perhitungan dan Pertanggungjawaban atas Harta Peninggalan dan Barang-barang Milik Almarhumah Nyonya Ida Bela Griese, istri dari Yang Terhormat Tuan Thomas Van Kempen Jansz., yang semasa hidupnya tinggal di Pos Poulo Chinco di Pantai Barat Sumatra, dan yang telah meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1796 di kota ini, di rumah Otto Samuel Brul, sebagaimana harta yang dimilikinya semasa hidup dan yang ditinggalkan setelah kematiannya.").
Dimana warisan tersebut diberikan kepada dua anak tirinya, yakni Jan Mauritius van Kempen dan Servaas Hendrik van Kempen.
JM van Kempen menginformasikan mengenai kematian Ida Bela Grieze di koran Rotterdamse tanggal 26 Juli tahun 1796, kematiannya disebabkan penyakit pleuritis: Pleurisy atau pleuritis adalah peradangan pada selaput pembungkus organ paru-paru atau pleura. Kondisi ini menyebabkan penderitanya merasakan nyeri dada yang menusuk, terutama ketika bernapas. Apakah Ida Bela merupakan seorang Indo yang lahir dan besar di iklim tropis? Mungkin saja, sebagaimana Tan Malaka yang menderita penyakit paru kronis saat tinggal di Amsterdam. Iklin dingin musuh bagi mereka yang tinggal di daerah tropis.
Dugaan kuat bahwa Ida Bela adalah seorang Indo-Eropa adalah pada surat pribadi yang ditulis Kempen, ia, menggunakan penyebutan mijn Huisvrouw. Dalam sejarah kolonial, terutama di Hindia Belanda pada abad ke-17 hingga 19, rumah tangga kolonial seringkali merupakan hasil dari relasi campuran antara laki-laki Eropa dan perempuan pribumi atau Indo-Eropa. Perempuan Belanda totok relatif jarang di koloni hingga pertengahan abad ke-19, sehingga banyak laki-laki Eropa menjalin hubungan jangka panjang atau pernikahan dengan perempuan Indo. Dalam konteks ini, istilah “huisvrouw” tidak sekadar merujuk pada ‘istri’ dalam pengertian hukum atau budaya Belanda, tetapi merupakan peran domestik yang sangat kontekstual dalam dunia kolonial.
Sejumlah sumber kolonial, baik administratif maupun sastra, sering merepresentasikan perempuan Indo sebagai huisvrouw ideal—yakni perempuan yang tidak hanya menjalankan urusan rumah tangga, tetapi juga menjembatani dunia Eropa dan pribumi. Mereka dianggap “tahu adat,” memiliki keterampilan mengatur pelayan lokal, serta bisa menyesuaikan diri dengan iklim dan budaya kolonial. Citra ini direproduksi secara luas oleh kebijakan kolonial dan sistem sosial VOC, yang memberikan ruang (meski terbatas) bagi perempuan Indo untuk memainkan peran sosial yang penting di tingkat rumah tangga.
Istilah huisvrouw dalam kutipan ini tidak bisa dibaca secara literal atau linguistik semata. Ia harus dibaca sebagai jejak identitas sosial dalam masyarakat kolonial, di mana perempuan Indo sering menempati peran ambivalen: dihargai dalam rumah tangga Eropa, namun kerap dikesampingkan dalam historiografi resmi
Penutup
Kini, bertolak dari Teluk Painan yang tenang, perahu-perahu wisata acap berlayar ke Cingkuk membawa turis. Kadang di antara mereka terdapat rombongan pelajar dan mahasiswa yang tengah melakukan studi lapangan: mengukur garis-garis dari sisa-sisa benteng, membuat ilustrasi sederhana untuk laporan mereka, dan yang lebih penting tentu saja berfoto-foto dengan latar bagian benteng yang telah hancur itu, bisa juga setelahnya menghabiskan waktu bermain-main di pasir putih pantai pulau itu yang memang jernih-bersih. Di sanalah loji-benteng tumpuan berpijak VOC berdiri sekitar 3 abad lampau, dari sanalah Kompeni Dagang Hindia Timur itu menjalankan perdagangan rempah dan emas di Pesisir Minangkabau bagian Selatan lebih seabad lamanya. Mungkin pemerintah daerah harus berpikir dari segi itu untuk merevitalisasi aspek dunia maritim kita ketimbang menghabiskan miliaran uang negara untuk proyek 'rabun sejarah' bernama wisata kampung Portugis di situ.
Saya juga mengajak pemerintah daerah Pesisir Selatan untuk menggarap wisata sejarah dengan penguatan konten dan informasi, pertengahan tahun 2021, saya berkesepatan memaparkan mind mapping framework tersebut kepada Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan beserta beberapa kepala dinas lainnya, namun, hingga sekarang hanya menguap begitu saja tidak ada perhatian serius dari pemerintah daerah.
Melalui SK Gubernur Sumatera Barat NOMOR 400 – 904 – 2023 tanggal 29 Desember 2023, situs Benteng Pulau Cingkuk telah berubah menjadi cagar budaya tingkat Provinsi. Tentunya hal ini dapat dijadikan perhatian serius pemangku kebijkan untuk pengembangan dan pemeliharan cagar budaya tersebut. Jangan sampai, pemerintah daerah abai dan bersikap cadiak malam, binguang siang.
Seperti keledai yang memanggul buku, tak satu pun buku tersebut menjadikan keledai tersebut pintar. Jika pemerintah daerah senantiasa abai dalam memberikan edukasi dan pengembangan wisata berbasis sejarah, maka percuma saja riset-riset yang telah dibikin peneliti. Baiknya pemerintah memberikan regulasi dan peraturan serta sarana agar penelitian, masukan, dapat tersalurkan kepada masyarakat. (*/)
*Periset Sejarah dan Penulis