Oleh: Syaiful Rajo Bungsu
Sumatera Barat kembali menjadi sorotan publik setelah beredar kabar terkait dugaan tindakan intoleransi di Kota Padang. Kejadian ini tentu mengusik rasa aman dan reputasi panjang masyarakat Minangkabau sebagai etnis yang dikenal menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi adat serta syarak. Lebih dari sekadar berita, isu ini menyentuh sendi kebudayaan orang Minang yang telah diwariskan secara turun-temurun: hidup bersuku-suku, namun rukun bernegara.
Dalam pusaran opini publik, muncul generalisasi seolah masyarakat Minangkabau telah berubah menjadi intoleran. Ini tentu menyakitkan. Sebab sepanjang sejarahnya, Ranah Minang tak pernah menjadi ladang kekerasan atas nama agama. Tidak ada rumah ibadah resmi agama lain yang dirusak masyarakat Minang. Tidak ada intimidasi terhadap etnis atau keyakinan lain. Bahkan, di tanah ini, damai sudah lama berakar.
Warisan Budaya yang Mewarnai Islam Moderat
Masyarakat Minangkabau hidup dalam tatanan adat yang unik. Falsafah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” bukan sekadar slogan. Ia adalah laku hidup. Adat Minang tidak mengajarkan arogansi keimanan, melainkan meletakkan nilai agama dalam bingkai keseimbangan sosial. Islam di Ranah Minang tidak tampil dengan wajah keras. Ia melembut dalam musyawarah, menyejuk dalam petuah ninik mamak, dan tumbuh dalam surau sebagai pusat ilmu dan akhlak.
Budaya Minangkabau menjunjung tinggi nilai mufakat dan keseimbangan antara hak individu dan hak kolektif. Bahkan dalam menyelesaikan konflik, orang Minang lebih memilih jalan dialog: duduak samo randah, tagak samo tinggi, ketimbang konfrontasi frontal. Maka, mencurigai masyarakat Minang sebagai kelompok intoleran adalah bentuk pengaburan sejarah dan ketidakadilan terhadap peradaban luhur yang telah mereka bangun sejak ratusan tahun lalu.
Hidup Berdampingan: Dari Kampung Cino ke Kampung Jawa
Fakta sosial paling mencolok dari toleransi Minangkabau bisa dilihat dari keberadaan berbagai kampung etnis yang hidup berdampingan dalam damai: Kampung Cino, Kampung Jawa, Kampung Nias, dan banyak komunitas lainnya. Mereka bukan pendatang baru, melainkan bagian dari nadi kota-kota di Sumatra Barat sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Mereka berdagang, bekerja, bergaul, bahkan berbesan dengan masyarakat Minang tanpa pernah merasa terpinggirkan.
Di Padang, Bukittinggi, Sawahlunto, Padang Panjang, dan Payakumbuh, keberadaan etnis non-Minang telah menyatu dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Tidak pernah kita dengar kampung mereka dibakar karena beda keyakinan, atau ibadah mereka diusik massa. Inilah potret keberagaman yang berjalan dalam harmoni. Bahkan dalam banyak kasus, orang Minang justru menjadi pelindung ketika komunitas lain mendapat tekanan dari luar.
Berbaur Saat Merantau
Tradisi merantau adalah bagian tak terpisahkan dari budaya Minangkabau. Di mana-mana ada orang Minang: dari Jakarta, Pekanbaru, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, hingga Malaysia dan Arab Saudi. Tapi perhatikan satu hal penting orang Minang tidak pernah membuat Kampung Minang. Mereka tidak memisahkan diri atau membangun eksklusivitas. Justru mereka berbaur, menyesuaikan diri, dan menjadi bagian dari lingkungan sosial tempat mereka tinggal.
Ini menjadi bukti bahwa masyarakat Minangkabau hidup dengan prinsip keterbukaan. Mereka tidak membawa identitas kedaerahan sebagai pembatas, tetapi sebagai kekuatan untuk beradaptasi. Maka, jika di tanah orang kita mampu menghargai perbedaan, sangat tidak masuk akal jika di tanah sendiri kita justru bersikap sebaliknya.
Jangan Terlalu Cepat Mengambil Kesimpulan
Dalam menyikapi kejadian yang viral, publik termasuk media perlu menahan diri dan tidak terburu-buru memberi label “intoleran” terhadap masyarakat Minangkabau. Semua kejadian tentu memiliki sebab dan latar belakangnya masing-masing. Dalam pepatah Minang dikatakan, “Ado asok karano ado api”—ada asap karena ada api. Artinya, setiap peristiwa patut ditelusuri secara adil dan menyeluruh, bukan digiring dengan asumsi tunggal dan penghakiman kolektif.
Lebih bijak jika kita menyerahkan proses ini kepada aparat hukum dan pihak berwenang. Jangan sampai opini publik malah menyeret-nyeret satu etnis ke dalam tuduhan yang belum tentu terbukti. Itu sama saja dengan mengkriminalisasi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan, yang jelas-jelas tidak adil dan tidak berdasar. Apalagi, Ranah Minang dikenal bukan sebagai tempat perpecahan, tetapi sebagai tapian nan rancak, tempat banyak budaya bisa bersanding tanpa saling menyakiti.
Demikian juga pemikiran yang diwariskan oleh para tokoh nasional dan pendiri negara yang berasal dari Sumatra Barat. Sebut saja Bung Hatta, proklamator sekaligus Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, yang dikenal sebagai pemikir demokrasi dan ekonomi kerakyatan. Ada Tan Malaka, ideolog revolusioner; Agus Salim, diplomat ulung dan pejuang kebebasan berpikir; Mohammad Natsir, tokoh Islam moderat; dan Rasuna Said, pahlawan perempuan yang memperjuangkan kemerdekaan lewat podium.
Keberadaan mereka menjadi bukti bahwa nilai-nilai damai, intelektualitas, dan toleransi sudah mendarah daging dalam jiwa orang Minang. Mereka tidak pernah mengajarkan permusuhan. Mereka justru menjadi jembatan dialog antarbudaya dan antaragama, demi Indonesia yang utuh. Maka jika hari ini ada segelintir tindakan intoleransi, itu bukanlah cerminan dari akar sejarah Minangkabau, tetapi pengkhianatan terhadap warisan luhur para pendahulu.
Menjaga Damai Adalah Warisan Kita
Hari ini, tantangan terbesar masyarakat Minang bukan hanya ekonomi dan pendidikan, tetapi bagaimana merawat warisan luhur: hidup dalam damai dan menghargai sesama. Dunia luar mungkin cepat menghakimi, tapi kita tidak boleh ikut menari dalam irama kebencian.
Ranah Minang bukanlah tanah yang mudah retak karena perbedaan. Ia adalah rumah besar tempat berbagai etnis dan agama bersanding, bukan bertanding. Jika ada riak kecil, kita hadapi dengan kearifan lokal, bukan dengan amarah. Kita ajak dialog, bukan provokasi.
Masyarakat Minangkabau harus terus menegaskan: kita tidak akan menjadi pelaku intoleransi. Sebab, adat dan agama kita mengajarkan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang membaikkan orang lain.
Ranah Minang, rumah damai itu, tak boleh retak hanya karena segelintir tindakan yang melawan arus kebudayaan kita sendiri. Mari jaga martabat kita sebagai bangsa beradat, beragama, dan bermarwah. Jangan biarkan intoleransi tumbuh dari ladang yang selama ini subur oleh nilai-nilai damai. (*)
Syaiful Rajo Bungsu, ST. MT, kolomnis, tinggal di Solok