Oleh: Fani Ariani
Adanya optimalisasi reformasi birokrasi dan penggunaan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), digitalisasi aset baik negara maupun daerah selalu digabungkan menjadi jawaban persoalan lasik untuk pengelolaan barang milik negara (BMN) dan barang milik daerah (BMD). Hal tersebut seakan menjanjikan adanya efisiensi, transparansi dan peningkatan pendapatan negara terlebih pada daerah. Namun setelahnya timbul pertanyaan apakah negara atau daerah siap secara struktural, budaya dan juga politik dalam mendukung digitalisasi tersebut?.
Penggunaaan teknologi pada pendataan aset (digitalisasi aset) bukan hanya proses perpindahan data dari fisik menjadi digital, diperlukan komitmen yang kuat terhadap keutuhan data secara terus menerus, integrasi lintas instansi, sumber daya manusia yang mumpuni dan keberanian untuk memberikan akses data aset kepada masyarakat. Tanpa hal tersebut sistem digital yang dilakukan hanya akan menjadi pajangan yang tempang modern dari luar namun kosong di dalam.
Permasalahan manajemen aset di Indonesia tidak jauh dari ketidak adaan data aset yang utuh, seperti yang disampaikan oleh salah satu dosen pengampu mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia dan Aset Dr. Erna Widyastuty “Salah satu permasalahan mendasar dalam manajemen aset kita adalah tidak lengkapnya data aset daerah, baik secara fisik terlebih lagi digital. Pemanfaatan atau pengelolaan aset pun kerap terkendala karena banyak data yang tidak terupdate. Maka dari itu, pendataan yang konsisten dan mutakhir sangatlah penting.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa permasalahan utama bukan pada teknologi, melainkan pada konsistensi pengelolaan informasi dasar itu sendiri.
Hal tersbeut didukung oleh yang terjadi dilapangan menunjukan penggunaan digital pada manajemen aset daerah sudah diupayakan untuk dilakukan namun pada kenyataanya masih belum merata, Kabupaten Malang misalnya, telah menggunakan sistem e-BMD (Elektronik Barang Milik Daerah) yang menjadi percontohan nasional dan terintegrasi dengan sistem keuangan dan perencanaan, sehingga pada akhir tahun 2024, total aset yang tercatat secara digital telah mencapai 12 triliun. Namun di sisi lain DKI Jakarta yang menyandang status sebagai ibukota negara justru sampai saat ini menurut laporan DPRD aset bernilai RP 500 Triliun belum seluruhnya terdapat dalam sistem digital, hal tersebut berdampak pada sulitnya proses pengawasan dan pemanfaatan aset itu sendiri secara baik dan optimal. Tidak hanya itu ketimpangan juga tercermin pada temuan temuan Indeks Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) tahun 2024, terdapat 66 pemerintah daerah belum mengoptimalkan sistem digital termasuk dalam pengelolaan aset.
Dampingi itu masalah paling sering didapati adalah adanya data aset yang tidak diperbarui secara berkala, pencatatan ganda, aset belum tersertifikasi, sampai belum adanya integrasi sistem lintas perangkat daerah. Kondisi tersebut menggambarkan adanya digitalisasi aset bukan hanya tentang perangkat lunak yang digunakan, tapi juga adanya disiplin pendataan, konsisten dan kemampuan politik untuk berubah.
Selain itu di beberapa kasus digitalisasi hanya menjadi proyek simbolik yang dibangun untuk memenuhi tuntutan reformasi namun sering tidak menyentuh akar dari permasalahan yang ada. Terlebih lagi masyarakat yang tidak dilibatkan pada pengawasan maupun pemanfaatan aset. Seharusnya keterbukaan aset pada publik mendorong adanya pertisipasi masyarakat baik untuk kepelruan sosial budayaterlebih ekonomi. Aset daerah yang tidak terpakai dapat dimanfaatkan sebagai komunitas lokal, tanah tidur bisa dikerjasamakan bersama investor, gedung kosong dapat digunakan oleh UMKM, hal tersebut dalam dilakukan apabila data tersedia secara mudah dan akurat serta transparan.
Oleh karenanya penting untuk benar benar melakukan reformasi yang optimal mengubah cara pandang, dari yang hanya mencatat menjadi mengelola secara strategis, dari simbol modernisasi menjadi alat pemerataan dan kesejahteraan, dari membangun sistem menjadi membangun integritas. Sebagai seorang mahasiswa saya melihat bahwa digitalisasi pemerintah terutama digitalisasi aset sangat penting untuk dilakukan dengan baik, hal ini bukan hanya mendorong untuk pengawasan aset yang ada tapi juga sebagai sumber ekonomi bagi pemerintah terlebih pemerintah daerah, dan hal tersebut bukan hanya soal teknis tepi bagian dari reformasi manajemen publik yang membutuhkan tata kelola partisipatif, integritas birokrasi, dan sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kita hanya akan memindahkan tumpukan masalah dari rak berdebu ke layar komputer—tanpa pernah benar-benar menyelesaikannya. (*)
Fani Ariani , Mahasiswa S2 Administrasi Publik, Universitas Andalas