Autokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan terpusat pada satu orang atau sekelompok kecil elite yang memiliki kontrol hampir penuh terhadap kebijakan publik, hukum, dan institusi negara. Dalam sistem ini, suara rakyat tidak menjadi penentu utama dalam proses pengambilan keputusan; partisipasi politik dibatasi, kebebasan sipil ditekan, dan oposisi kerap dicurigai sebagai ancaman. Berbeda dengan demokrasi, di mana prinsip dasar adalah kedaulatan rakyat, akuntabilitas, dan supremasi hukum, autokrasi mengandalkan sentralisasi kekuasaan dan loyalitas terhadap penguasa, bukan terhadap konstitusi atau nilai-nilai kolektif.
Namun, pada abad ke-21 ini, autokrasi tak selalu hadir dengan wajah bengis atau deklarasi kediktatoran terbuka. Banyak autokrasi modern menyamar sebagai demokrasi. Mereka tetap menyelenggarakan pemilu, tetapi dikendalikan; tetap membuka ruang publik, tetapi diawasi ketat; tetap mengakui parlemen, tetapi dijadikan stempel kebijakan eksekutif. Inilah yang disebut oleh para ilmuwan politik sebagai autokrasi elektoral, di mana prosedur demokrasi digunakan sebagai topeng bagi kontrol kekuasaan yang nyaris absolut.
Pernyataan dari Nathalia Moonen dalam sebuah WAG tentang Demokrasi dan Autokrasi dikutip sebagai berikut:
"Democratie adalah opposite dari autocratie. Selama autocratie berkuasa , democratie tidak bisa berjalan. Dan orang orang yg berkuasa di autocratie akan menstimulasi korupsi dan hukuman yg tidak adil supaya sistimnya (autocratie) tetap hidup". Apa yang dinyatakan di atas juga dapat berupa kontras yang bercampur dalam bentuk demokrasi hanya sebagai kulit, tetapi autokrasi yang sebenarnya isi yang dijalankan.
Demokrasi Secara Klaim, Autokrasi Secara Praktik
Indonesia, secara konstitusional, adalah negara demokrasi. Pemilu diselenggarakan rutin lima tahun sekali, partai politik bebas dibentuk, dan media massa tidak dilarang oleh negara. Namun, demokrasi Indonesia hari ini lebih menyerupai bentuk demokrasi prosedural—sekadar mengikuti tahapan teknis demokrasi tanpa menghidupi semangatnya. Demokrasi di Indonesia terlalu banyak diklaim secara simbolik oleh para elite, tetapi dalam pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan negara, wajah yang tampak lebih mirip autokrasi.
Lihatlah bagaimana lembaga-lembaga negara seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, dan bahkan Komisi Pemilihan Umum dipertanyakan independensinya. Rekayasa politik, pengaturan calon tunggal, kooptasi partai-partai oleh kekuatan modal dan dinasti, serta penempatan kerabat dan loyalis pada posisi strategis adalah pola-pola khas rezim autokratik. Oposisi diintimidasi dengan dalih hukum, aktivis dikriminalisasi dengan pasal karet, dan kebebasan berpendapat direpresi dengan algoritma sensor dan buzzer bayaran. Semua dilakukan secara “legal” dan “demokratis” di atas kertas.
Pemilu Bukan Lagi Jaminan Demokrasi
Salah satu kesalahan umum dalam memahami demokrasi adalah menganggap bahwa kehadiran pemilu sudah cukup sebagai indikator demokratis. Padahal, pemilu yang tidak bebas, tidak adil, atau dikendalikan elite justru menjadi instrumen utama dalam mempertahankan rezim autokrasi. Pemilu dalam autokrasi tidak dihapuskan, melainkan dikelola sedemikian rupa agar hasilnya tetap menguntungkan penguasa atau kelompoknya. Ini bukan demokrasi, tapi demokrasi semu—atau dalam bahasa politolog Larry Diamond, pseudo-democracy.
Indonesia kini tengah berjalan menuju arah tersebut. Kemenangan dalam pemilu lebih banyak ditentukan oleh kekuatan logistik, koalisi oportunistik, dan penguasaan terhadap aparat serta media, bukan oleh kualitas visi dan misi. Bahkan, dengan sistem presidential threshold dan keterbatasan dana publik untuk partai politik, pemilu justru menjadi arena barter kekuasaan antara elite politik dan pemilik modal. Rakyat hanya berfungsi sebagai legitimasi formal, bukan subjek politik yang berdaulat.
Kooptasi Lembaga dan Matinya Checks and Balances
Demokrasi membutuhkan sistem checks and balances yang sehat. Legislatif harus bisa mengawasi eksekutif, yudikatif harus netral terhadap tekanan politik, dan media harus bisa menjadi anjing penjaga (watchdog) yang kritis. Namun, dalam sistem autokrasi yang menyamar sebagai demokrasi, semua lembaga ini dikondisikan menjadi pelayan kekuasaan. Parlemen tidak lagi menjadi ruang debat ideologi dan kebijakan, tetapi berubah menjadi pasar politik tempat transaksi anggaran dan pengaruh berlangsung.
Fenomena kooptasi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa tahun terakhir adalah contoh paling nyata. Lembaga yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi justru menjadi perpanjangan tangan kekuasaan untuk mengamandemen aturan demi kepentingan politik keluarga. Publik marah, tetapi kekuasaan seolah kebal terhadap sentimen rakyat. Mekanisme koreksi tidak berjalan karena seluruh kanal formal sudah dikendalikan. Inilah bentuk otoritarianisme legal—kekuasaan dijalankan secara sewenang-wenang, tetapi dengan surat keputusan resmi.
Media, Akademisi, dan Buzzer sebagai Alat Baru Rezim
Dalam sistem otoriter lama, kekuasaan mengekang informasi dengan cara menyensor, melarang, atau menangkap jurnalis. Kini, rezim autokratik cukup menggunakan strategi penguasaan ekosistem digital: dari pemilik media, agensi buzzer, hingga algoritma media sosial. Informasi tak disensor, melainkan ditenggelamkan dalam banjir disinformasi. Kritik tak dibungkam langsung, melainkan diimbangi dengan narasi tandingan yang sistematis dan terkoordinasi. Yang terjadi adalah pembentukan ilusi “perspektif publik”, padahal itu hanyalah produksi persepsi oleh mesin propaganda.
Akademisi dan kampus pun tidak luput dari tekanan kekuasaan. Kebebasan berpikir dikompromikan dengan ancaman pendanaan, pemecatan, atau marginalisasi. Kegiatan diskusi dibatalkan karena tekanan dari kelompok tertentu, dan kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai sikap tidak nasionalis. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi bukan hanya sekadar lumpuh, tetapi menjadi karikatur yang menyedihkan: rakyat diberi suara, tetapi tidak didengarkan; diberi panggung, tetapi tidak diberi peran.
Rakyat dalam Demokrasi Semu yang Dibutuhkan Sekali Lima Tahun Saja
Fenomena yang mencolok dari sistem demokrasi semu adalah marginalisasi rakyat dalam proses politik sehari-hari. Partisipasi warga dibatasi hanya pada hari pemilu. Di luar itu, aspirasi publik tidak dihiraukan. Mekanisme musyawarah, forum konsultatif, bahkan ruang-ruang pengaduan publik hanyalah formalitas. Padahal, dalam demokrasi sejati, rakyat bukan sekadar pemilih, tetapi pemilik kedaulatan yang seharusnya terlibat aktif dalam setiap proses perumusan dan pengawasan kebijakan.
Pemerintah seolah hanya membutuhkan rakyat untuk mendapatkan suara, bukan untuk mendengarkan kritik atau memperbaiki kebijakan. Setelah terpilih, elite politik kembali pada rutinitas akrab: bagi-bagi kekuasaan, alokasi proyek untuk kroni, dan pelembagaan dinasti politik. Dalam sistem seperti ini, rakyat bukanlah warga negara aktif, melainkan hanya angka statistik dalam perhitungan politik elektoral. Demokrasi tanpa partisipasi yang bermakna adalah demokrasi yang sekarat.
Narasi Nasionalisme sebagai Alat Legitimasi Otoritarianisme
Menarik untuk dicermati bahwa dalam negara yang mengarah pada autokrasi, narasi nasionalisme selalu digunakan untuk membungkam kritik. Kritik terhadap pemerintah dicap sebagai anti-negara, penyebar kebencian, atau pengganggu stabilitas. Padahal, nasionalisme sejati adalah keberpihakan terhadap rakyat, bukan terhadap penguasa. Ketika nasionalisme disulap menjadi tameng kekuasaan, maka negara secara perlahan sedang memasuki fase fasisme lunak.
Di Indonesia, label-label seperti “radikal”, “anti-Pancasila”, “pembuat gaduh”, dan “tidak bersyukur” digunakan untuk meredam suara kritis. Ruang publik tidak lagi menjadi ruang deliberasi, melainkan ruang saring dan sensor. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi apatis atau takut terlibat dalam wacana politik. Jika ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara demokrasi secara administratif, tetapi autokratik secara substansial.
Menjaga Demokrasi dari Kehancuran Senyap
Melawan autokrasi dalam balutan demokrasi tidak bisa dilakukan dengan jalan kekerasan atau konfrontasi terbuka, tetapi dengan konsistensi menjaga nilai, etika, dan praktik demokrasi dari tingkat paling bawah: dari ruang kelas, ruang media, ruang komunitas, hingga parlemen dan pengadilan. Kesadaran warga negara menjadi kunci utama. Tanpa rakyat yang melek politik dan peka terhadap manipulasi kekuasaan, demokrasi akan terus mengalami pembusukan dari dalam.
Maka, penting untuk memperkuat pendidikan politik, membangun media independen, memperjuangkan transparansi, dan mendukung partai politik yang benar-benar berpihak pada rakyat. Demokrasi yang kuat tidak lahir dari elite yang baik hati, tetapi dari rakyat yang berdaya dan berani. Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tetapi jauh lebih baik dari autokrasi yang hanya memperkaya segelintir orang dan mengorbankan harapan kolektif bangsa.
Demokrasi Tidak Datang Sendiri yang Harus Diperjuangkan
Jika hari ini kita merasa Indonesia masih demokratis hanya karena masih ada pemilu dan kebebasan berbicara, maka kita sedang terbuai ilusi. Demokrasi bukan sekadar tentang ada atau tidaknya pemilu, tetapi tentang bagaimana kekuasaan dijalankan dengan kontrol, transparansi, dan pertanggungjawaban. Ketika semua instrumen demokrasi dikuasai elite untuk mempertahankan status quo, maka demokrasi telah berubah wujud menjadi autokrasi yang dibungkus kosmetik pemilu dan jargon kedaulatan rakyat.
Demokrasi adalah kerja panjang, bukan perayaan lima tahunan. Ia tidak akan tumbuh jika rakyat bersikap pasif. Ia akan mati perlahan jika dibiarkan dikuasai oleh dinasti, modal, dan ambisi tak terbatas. Dan ketika demokrasi mati, kita tidak akan mendengarnya hancur dalam ledakan; ia akan lenyap dalam tepuk tangan mereka yang merasa telah “menjaganya”. Maka, mari buka mata dan lawan autokrasi yang bersembunyi di balik tirai demokrasi.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)