Langgam.id - Sejumlah literatur mencatat tanggal 6 Januari dalam sejarah Sumatra Barat. Pada tanggal tersebut, terjadi tiga peristiwa di wilayah Sumbar pada 1946, 1949 dan 1952:
6 Januari 1947
KNI Sumbar Pilih 15 Calon Anggota KNIP
.
Bukittinggi - Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Barat menggelar menggelar sidang pleno pada 4-6 Januari 1947 di Bukittinggi. Hasil sidang pleno ke-8 ini pada 6 Januari, memilih 15 orang calon untuk menghadiri sidang pleno KNI Pusat (KNIP) yang digelar di Malang.
Buku Propinsi Sumatera Tengah (1959) menulis, sidang pleno itu memutuskan 15 orang yang dicalonkan untuk menjadi wakil Sumatra Barat di KNI Pusat. Mereka antara lain, adalah: Iskandar Tedjasukmana, Marzuki Jatim, Dr. Rahim Usman, Bachtaruddin, Chatib Suleiman, Darwis Thaib, Basjrah Lubis, Rangkajo Rasuna Said, Bariun A.S, Anwar St. Saidi, H. Mahmud Junus dan Sidi Bakaruddin.
Dari anggota-anggota jang diusulkan oleh KNI Sumbar ini, Presiden Sukarno mengangkat lima orang menjadi anggota KNIP. Yakni, I. Tedjasukmana, Marzuki Jatim, Dr. A. Rahim Usman, Bachtaruddin dan Chatib Suleiman.
KNI pada masa itu dibentuk untuk melaksanakan fungsi legislatif sebelum terbentuknya dewan perwakilan rakyat. KNI untuk wilayah Sumatra Barat sendiri sudah terbentuk pada 31 Agustus 1945.
"Pada awal pendiriannya sebagian anggota KNI ini terdiri atas anggota-anggota Tyuo Sangi In bentukan Jepang. Semua anggotanya berjumlah 41 orang di bawah kepemimpinan Engku Moh. Sjafei," tulis Siti Fatimah dkk, dalam Buku "Bgd. Azizchan, 1910-1947: Pahlawan Nasional dari Kota Padang" (2007).
6 Januari 1949
Tentara Belanda Kuasai Pariaman dan Painan
.
Pariaman dan Painan - Dua daerah pinggir pantai di Sumatra Barat jatuh ke tangan tentara Belanda dalam Agresi Militer II yang dimulai sejak 19 Desember 1948. Dua daerah itu adalah Pariaman dan Painan, Pesisir Selatan. "Pariaman jatuh ke tangan tentara Belanda pada tgl. 6 Januari 1949. Pasuka kita mundur ke luar kota," tulis Ahmad Husein dalam "Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950, Volume 2" (1992).
Pos pertahanan terdepan di dekat Pariaman, menurutnya, ada di jembatan Pauh di bawah pimpinan Komandan Petempuran Letnan -I (L) Wagimin.
Sementara itu, arah ke selatan, Painan juga dikuasai tentara Belanda. "Pada tanggal 6 Januari 1949 Belanda melakukan pendaratan dari laut di Painan. Pendaratan dilakukan dengan kapal ”YT 5” yang memuat lebihkurang 1 kompi serdadu bersenjata lengkap," tulis AH Nasution dalam Buku "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda II" (1977).
Menurutnya, Belanda telah berada di Teluk Painan sejak dini hari. Pendaratan dilakukan pada pukul 06.00 pagi. "Pukul 09.00 mereka berhasil menguasai Painan. Anggota-anggota TNI tak sempat melakukan perlawanan melihat perimbangan persenjataan dan perorangan yang tidak sepadan," tulisnya.
6 Januari 1952
Kongres Masyarakat Sumbar di Bukittinggi
.
Bukittinggi - Sebuah kongres yang mempertemukan berbagai komponen masyarakat Sumatra Barat digelar di Bukittinggi pada 6 Januari 1952. Pertemuan ini diadakan beranjak dari persoalan dan perpecahan yang terjadi pada awal tahun 1950 an.
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam Buku "Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an" (2007) menulis, pertemuan itu terjadi atas usulan salah satu ulama besar Minangkabau: Syekh Sulaiman ar-Rasuli.
Menurutnya, pascaterjadi mosi tidak percaya kepada pemerintah daerah pada 1950 disusul pembekuan DPR Sumatra Tengah pada 6 Januari 1951, terjadi keretakan di antara golongan masyarakat di Sumbar.
"Konflik tidak hanya terjadi antara politisi denhgan pihak eksekutif daerah. Tetapi juga daerah dengan pemerintah pusat, serta antara satu partai politik dengan partai politik lainnya."
Karena itu dalam sebuah tulisan yang diturunkan selama empat hari berturut-turut, menurutnya, Syekh Sulaiman ar-Rasuly mengusulkan agar diadakan sebuah perdamaian antar berbagai komponen masyarakat Sumatra Barat.
Usulan ulama yang terkenal dengan sebutan "Inyiak Canduang" itu akhirnya direalisasikan dengan penyelenggaraan Konferensi Urang Nan Ampek Jinih pada 6 Januari 1952.
Mengutip Haluan, menurut Mestika, hadir dalam pertemuan itu tokoh-tokoh alim ulama. Seperti Syekh Sulaiman ar- Rasuli, Ibrahim Musa Parabek, Hamka, H. Agus Salim. Hadir juga tokoh-tokoh adat seperti Dt. Simarajo dan Dt. Bagindo Basa Nan Kuniang. Dari kalangan intelektual hadir Hazairin dan dari pemerintah Ruslan Mulyoharjo.
Kongres itu, dinilai juga pertemuan pertama semua unsur masyarakat Minang (Sumatera Barat) secara besar-besaran.
Empat komponen masyarakat, yakni golongan agama, adat, pemerintah daerah dan kalangan intelektual duduk bersama membicarakan sejumlah persoalan.
Ada tiga keputusan yang lahir dari pertemuan besar tersebut. Pertama, soal pewarisan. Harta pusaka tinggi (warisan turun temurun dari nenek moyang) disepakati jatuh ke kemenakan sesuai aturan adat. Sementara, pusaka rendah (harta pencarian orang tua) diwariskan kepada anak sesuai hukum waris Islam.
Kedua, masing-masing kelompok masyarakat agar menjalankan fungsi dan tugas serta tanggungnya. Ketiga, perlu langkah untuk menciptakan masyarakat yang bersatu dan sejahtera (antara lain menyerahkan setiap persoalan kepada ahlinya, atau kelompok masyarakat yang berwenang menangani masalah tersebut). (HM)
Catatan: Tulisan ini diperbarui dan dilengkapi pada 6 Januari 2021 (HM)