Waspada Teori Muslihat Eskalasikan untuk Legitimasi Melenyapkan

Waspada Teori Muslihat Eskalasikan untuk Legitimasi Melenyapkan

Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Foto: Dok. Pribadi)

Dalam sejarah kekuasaan, terdapat strategi halus namun mematikan: sesuatu yang ingin dihilangkan, terlebih dahulu dibesarkan (eskalasikan). Bukan untuk dibiarkan tumbuh, tetapi untuk dipancing menjadi ancaman yang sah—ancaman yang bisa "ditindak secara legal". Strategi ini tidak sekadar manipulatif; ia merupakan seni dalam merancang musuh, membesarkannya, lalu menggunakannya sebagai justifikasi untuk eliminasi.

Strategi ini tidak baru. Dalam kajian politik, psikologi massa, dan ilmu komunikasi, kita bisa melihatnya sebagai bentuk konstruksi musuh imajiner yang direkayasa untuk mencapai tujuan tertentu. Namun dalam praktik kontemporer, ia tampil dengan cara yang lebih kompleks—kadang dalam bungkus demokrasi, kadang dalam nama stabilitas.

Rekayasa dari Persepsi Menuju Legitimasi

Secara teori, strategi ini dapat dijelaskan melalui tiga tahap utama:

Tahap pertama adalah pembesaran persepsi kekuatan. Di tahap awal, entitas atau kelompok tertentu—yang mungkin sebenarnya lemah atau terpinggirkan—diberi panggung. Wacana tentang kekuatannya diperbesar. Data yang mendukung ancaman diperbanyak, disebarkan, bahkan dimanipulasi. Media bisa berperan di sini, memperkuat narasi bahwa "kelompok ini tumbuh pesat" atau "ide ini mulai mengakar dan membahayakan."

Tahap kedua adalah provokasi menuju tindakan destruktif Setelah persepsi kekuatan tertanam, tahap berikutnya adalah provokasi. Kelompok tersebut dipancing untuk beraksi: lewat tekanan, persekusi, atau rekayasa konflik. Ketika akhirnya kelompok itu bereaksi—baik dalam bentuk perlawanan verbal, unjuk rasa, atau bahkan kekerasan—maka respons tersebut dikemas sebagai bukti bahwa ancaman itu nyata.

Tahap ketiga adalah justifikasi eliminasi
Kini, dengan predikat “berbahaya” yang telah dikonstruksi dan diperkuat oleh reaksi nyata, kekuasaan memiliki legitimasi untuk bertindak. Reaksi keras dari negara atau kelompok dominan tak lagi terlihat sebagai represi, tetapi sebagai “penegakan hukum” atau “upaya mempertahankan ketertiban”. Maka selesai sudah: sesuatu yang semula tak terlalu signifikan kini diberangus atas nama stabilitas.

Musuh Imajiner dan Politik Ketakutan

Dalam The Political Uses of Fear, Corey Robin menyebut bahwa kekuasaan sering kali memelihara ketakutan untuk menciptakan legitimasi atas tindakan represif. Ketika publik percaya bahwa ancaman nyata tengah mengintai, maka tindakan keras—yang dalam kondisi normal akan dianggap otoriter—menjadi dapat diterima.

Strategi ini juga didukung oleh teori musuh bersama yang dikembangkan dalam studi-studi konflik sosial dan politik. Ketika sebuah rezim atau kekuasaan mulai kehilangan legitimasi, menciptakan musuh bersama bisa menyatukan kelompok-kelompok yang mulai retak. Namun musuh itu tidak selalu harus ada dalam realitas objektif—ia cukup hadir dalam persepsi publik.

Edward Said, dalam karyanya Orientalism, juga menjelaskan bagaimana “yang lain” (the Other) dibentuk oleh kekuasaan untuk menciptakan citra bahwa pihak luar itu aneh, terbelakang, dan membahayakan. Dalam bentuk modernnya, strategi ini berlaku bahkan terhadap warganegara sendiri.

Praktik Nyata: Dari Politik Global hingga Politik Lokal

Kita bisa melihat penerapan strategi ini di banyak tempat. Dalam politik global, invasi ke Irak oleh Amerika Serikat pada 2003 menjadi salah satu contoh. Irak dipersepsikan memiliki senjata pemusnah massal (WMD)—meski kemudian terbukti tidak. Persepsi ancaman dibentuk, Saddam Hussein dipancing untuk menunjukkan ketegangan, dan akhirnya penyerangan dilakukan dengan legitimasi internasional yang retak.

Dalam politik domestik di negara-negara berkembang, strategi ini bisa diterapkan terhadap kelompok oposisi, minoritas agama, atau organisasi sipil. Sebuah organisasi mahasiswa bisa dituding sebagai sarang radikalisme karena beberapa anggotanya vokal. Setelah narasi ancaman terbentuk, aksi unjuk rasa mereka disambut aparat, dan jika terjadi benturan, tudingan menjadi lengkap: “Benar kan, mereka memang radikal.”

Di beberapa kasus, bahkan buzzer digital atau agen informasi disusupkan untuk mendorong kelompok tersebut menjadi lebih ekstrem dalam narasi atau aksi—sebuah provokasi internal yang dirancang agar mereka melangkah ke garis merah.

Ketakutan, Polarisasi, dan Lumpuhnya Ruang Demokrasi

Strategi ini berhasil bukan karena kekuasaan yang besar, tetapi karena publik yang takut. Ketika narasi ancaman terus diulang, masyarakat yang semula netral menjadi cemas. Mereka mulai bersikap pasif, apatis, atau bahkan mendukung tindakan represif. Ketakutan membuat rasionalitas sosial lumpuh.

Lebih buruk lagi, ruang demokrasi menjadi tumpul. Setiap suara kritis mudah dilabeli “mengancam stabilitas”. Setiap yang kritis dan membahayakan bisa dituduh dan digiring ke makar. Jurnalis yang menyelidik diserang buzzer. Ini bukan hanya tentang membungkam satu kelompok, tapi melumpuhkan potensi perubahan dari dalam masyarakat sendiri.

Mengapa Strategi Ini Sulit Dilawan?

Pertama, karena ia bekerja di level persepsi. Persepsi bukan fakta, tetapi ia memengaruhi tindakan nyata. Jika publik percaya bahwa suatu kelompok memang radikal, maka dukungan terhadap penindakan akan mengalir, tanpa perlu pembuktian.

Kedua, karena strategi ini sering menggunakan institusi yang tampak legal. Hukum, media, bahkan opini pakar bisa digunakan untuk mengesankan bahwa proses berlangsung secara wajar. Maka yang ditumbangkan bukan sekadar oposisi, tetapi juga kepercayaan terhadap proses itu sendiri.

Ketiga, strategi ini menimbulkan dilema bagi targetnya. Jika mereka diam, mereka akan digilas diam-diam. Jika mereka melawan, maka mereka jatuh dalam perangkap "reaksi yang membuktikan bahaya".

Melawan Strategi “Besar-Besaran untuk Melenyapkan”

Strategi ini tidak tak terkalahkan. Ia bisa dilawan, tetapi dengan cara yang tidak reaktif. Reaksi emosional justru memperkuat narasi musuh. Ada beberapa strategi yang digunakan.

Pertama adah pencerdasan publik. Ini melalui literasi media dan pendidikan kritis. Ketika publik mampu membedakan antara ancaman nyata dan ancaman yang dikonstruksi, strategi ini kehilangan daya.

Kedua adalah solidaritas lintas kelompok. Jangan biarkan satu kelompok diserang sendirian. Ketika publik membiarkan kelompok A diberangus karena merasa tidak berkepentingan, maka giliran kelompok B tinggal menunggu waktu.

Ketiga adalah konsistensi moral. Lawan strategi ini dengan cara yang tidak membenarkan kekerasan balik. Karena kekerasan akan memperkuat narasi ancaman.

Keempat adalah pemanfaatan kanal legal dan digital secara cerdas. Dokumentasi, analisis naratif, dan pembongkaran motif kekuasaan adalah senjata yang sah untuk melawan rekayasa ini.

Belajar dari Sejarah, Waspada dalam Demokrasi

Sejarah mencatat bahwa banyak kejatuhan kekuasaan justru dimulai dari rekayasa ancaman yang akhirnya menjadi bumerang. Kekuasaan yang memproduksi musuh untuk memperkuat diri, pada akhirnya menciptakan ketakutan yang merusak basis sosialnya sendiri.

Di tengah era disinformasi dan propaganda digital hari ini, strategi “membesarkan untuk melenyapkan” semakin licin dan berbahaya. Demokrasi tidak selalu dibunuh oleh senjata atau kudeta, tetapi bisa perlahan dilumpuhkan oleh ketakutan yang diciptakan secara sistematis.

Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai warga negara untuk tetap waspada: terhadap siapa yang menyebar ketakutan, dengan narasi apa, dan untuk tujuan siapa. Jangan-jangan, musuh yang dibesarkan bukan karena kuat, tetapi karena ia dibutuhkan sebagai alasan untuk menghilangkan hak-hak kita sendiri.

*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar di Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)

Tag:

Baca Juga

Efek Domino Perang Kamang dalam Teropong Perlawanan Masyarakat Sumatera Barat Menentang Kolonialisme Belanda
Efek Domino Perang Kamang dalam Teropong Perlawanan Masyarakat Sumatera Barat Menentang Kolonialisme Belanda
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Bisnis Trump: Dari Perang Dagang Menuju Perang Nuklir
Ekspansi Nikel Memakan Pulau: Pulau-Pulau Kecil sebagai Ruang Konflik Ekonomi dan Ekologi
Ekspansi Nikel Memakan Pulau: Pulau-Pulau Kecil sebagai Ruang Konflik Ekonomi dan Ekologi
Ketakutan Manusia Tergantikan AI vs Peluang Peningkatan Produktifitas
Ketakutan Manusia Tergantikan AI vs Peluang Peningkatan Produktifitas
Kabau Sirah Tak Pernah Sendiri: Andre Rosiade, Nafas, Nyawa, dan Harapan Ranah Minang
Kabau Sirah Tak Pernah Sendiri: Andre Rosiade, Nafas, Nyawa, dan Harapan Ranah Minang
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Perang Dagang Sebagai Premanisme Global