Jika tak ada aral melintang, saya akan rutin mengisi kolom opini Langgam. Ini tugas berat. Sebabnya, saya tak punya kemampuan menulis yang baik. Kiamat intelektual sudah mendekati saya.
Penyebab kemampuan menulis yang lemah itu banyak. Selain daya baca yang menurun, saya kehilangan “tenaga” untuk menulis berkala.
Entah itu masalah sesungguhnya atau bukan, saya bertekad hendak mengisi kolom ini sebaik-baiknya. Mumpung suasana tahun baru masih ada. Setidaknya tekad itu memberikan efek dramatis. Bukankah energi positif diperlukan setiap insan. Apalagi bagi dunia politik-hukum Tanah Air.
Itu sebabnya, bersamaan dengan tekad itu, 2020 perlu menjadi batu loncatan bagi era baru politik Tanah Air. Politik harus punya peradaban baru.
Ada dua hal yang menjadi alasan: pertama, politik 2019 yang karut-marut telah menyisakan luka bagi banyak orang. Permusuhan tidak saja berlangsung antar tim sukses calon, tetapi merembet hingga meja makan keluarga. Orang tua dan anak saling sikut. Membuat lauk dan sambal tak enak. Seakan bertikai menjadi makanan pokok mereka.
Meski pemilihan Presiden telah usai, tapi sebagian masih bertikai. Tak peduli para calon telah berdamai, bahkan jadi satu kubu. Ketegangan itu perlu diakhiri. Kalaupun ingin dilanjutkan, toh, tidak harus serius amatlah.
Kedua, 2020 juga tahun politik. Pemilihan kepala daerah serentak akan dilakukan. Meskipun saya tidak yakin pemilihan kepala daerah akan “setajam” pemilihan presiden lalu. Tetapi adab politik pendukung dan peserta berpotensi masih sama. Apalagi perseteruan dua kubu terus dijaga tetap ada.
Itu sebabnya perlu adab baru dalam politik. Negara dengan perpolitikan tidak stabil mudah mengalami kekacauan politik.
Beban berat ditambah dengan publik yang menikmati perbenturan pilihan politik. Kondisi itu membantu memperburuk keadaan. Padahal jika kekacauan politik terjadi, publik yang ribut tak ada juntrungan itu juga rugi.
Banyak contoh soal itu. Kisah konflik politik di negara-negara wilayah Andes mungkin bisa menjadi iktibar. Kekacauan politik memang muncul karena kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang lamban, perlakuan tidak adil, rangking terendah dalam efektivitas pemerintahan, kekerasaan, yang menyebabkan demokrasi yang rapuh [Andrés Solimano; Political Crises, Social Conflict and Economic Development; 2005, h. 15-16].
Namun semua itu dipelihara sebagai bahan bakar politik kebencian, yaitu pengelolaan rasa benci untuk memenangkan kepentingan politik figur atau kelompok tertentu. Akibatnya hampir seluruh negara-negara wilayah Andes berantakan.
Apalagi pemerintah memang sungkan menerima masukan publik agar berbenah. Kisruh Andes dimulai pada 2000 ketika Presiden Peru Alberto Fujimori melarikan diri setelah dikudeta. Fujimori dianggap telah menjalankan pemerintahan korup dan politik intimidasi.
Pada tahun yang sama, Presiden terpilih Ekuador Jamil Mahuad diturunkan militer yang mayoritas beranggotakan suku asli Ekuador. Peristiwa yang hampir sama terjadi pada April 2002 di Venezuela.
Presiden Hugo Chávez dipaksa turun kelompok militer dan pebisnis, namun upaya kudeta itu gagal. Presiden Bolivia Sánchez de Lozada dipaksa turun melalui protes masyarakat pada Oktober 2003. Semuanya karena suasan politik yang karut-marut.
Kisah yang sama terjadi di negera-negara semenajung Arab. Kita semua mengikuti gejolak Arab spring itu. Ketimpangan ekonomi dan politik intimidasi dilakukan terbuka. Gejolak dan amarah masyarakat dikendalikan kelompok-kelompok tertentu. Akibatnya, politik tidak stabil. Masyarakat merasa terkhianati dan mudah marah.
Mirip dengan kisruh politik 2019 lalu. Rasanya perlu kita belajar dari tragedi negara-negara pegunungan Andes hingga semenajung Arab. Kerusuhan itu tak memberi keuntungan apapun, kecuali jatuhnya korban-korban dari bangsa sendiri.
Adab baru
Kita perlu adab baru dalam berpolitik. Bagaimana kalau dimulai dengan sikap partai politik dan para politisi terlebih dulu. Setiap kandidat dan partai yang mendukung calon tertentu diwajibkan bicara program mereka dan rekam jejak prestasinya yang selaras dengan program yang diunggulkannya itu.
Hal ini penting mengingat partai dan calon kita cenderung hanya menyampaikan visi-misi muluk-muluk. Visi-misi semacam itu tidak bisa dibantah karena semuanya perihal yang baik-baik saja.
Tak akan ada calon Gubernur DKI Jakarta, misalnya, yang tidak berjanji akan menanggulangi banjir, bukan? Tetapi, apakah rekam jejaknya soal itu ada dan mampu memberikan gambaran bahwa sang calon akan mampu mengatasi permasalahan. Jika pun tidak memiliki rekam jejak apakah programnya masuk akal dan didukung data yang signifikan.
Adab kedua, jangan percaya tim sukses tak terdaftar dan buzzer politik. Mereka adalah para pebisnis yang sedang bekerja “menipu” pemilih. Mengolah sedemikian rupa para calon agar tampil menawan meskipun bermasalah.
Bayangkan saja sebuah produk gagal tetapi diiklankan artis papan atas yang ditayangkan berulang-ulang kepada anda setiap hari. Jika tidak 10 hal yang disampaikan iklan itu seluruhnya anda percayai, maka satu atau dua hal tentu berpotensi memperdaya anda. Jadi 2020 ini, berjanjilah untuk membuang para buzzer politik itu ke “tong sampah” anda. Terutama bagi anda yang memiliki medsos. Anda adalah korban potensial.
Adab ketiga, sebagai pemilih, jadilah pemilik suara yang kritis. Terlibatlah dalam agenda politik secara serius. Misalnya, ikut mendirikan komunitas politik yang menilai program calon.
Jangan cuma membaca program calon dari spanduk iklan pinggir jalan. Jika perlu spanduk para calon dilarang di daerah anda. Sebab, spanduk itu membangun jarak perkenalan anda dan sang calon.
Fotonya kadangkala tak semanis aslinya. Apalagi tagline-nya kadang tak seyahud ketika berbicara di depan kita. Tanpa spanduk iklan calon, maka satu-satunya agar calon mendekati pemilih adalah mendatangi langsung simpul-simpul pemilik suara. Dengan begitu, terbuka kesempatan untuk mendengarkan visi-misi, program dan citra diri para calon secara langsung.
Adab baru politik itu bisa lebih luas. Tergantung selera anda. Yang jelas, jangan anda serius betul membela para calon kalau tidak ingin kecewa pada akhirnya. Ah sudahlah, Salam!
*Feri Amsari (Direktur Pusat Studi Konstitusi [PUSaKO] dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas)