Tanda “#” jika dilihat sekilas tampak sederhana saja. Hanya sebuah tanda berbentuk seperti pagar. Namun jika dilihat secara kontekstual, ia bukan hanya sekadar karakter yang ada di papan ketik, melainkan memiliki makna dan fungsi yang besar, bahkan bisa menjadi senjata. Kata hashtag lebih akrab dipanggil dalam bahasa Inggris dan tagar orang Indonesia sebut. Hashtag menjadi denyut media sosial dan menjadi poros penyebaran isu.
Hashtag sendiri merupakan penggunaan tanda “#” di depan frasa atau kata tanpa spasi dengan tujuan untuk penanda digital yang menghubungkan berbagai unggahan ke dalam satu jalur percakapan.
Dilansir dari Kompas.com, penggunaan hashtag pertama kali dilakukan oleh Chris Messina, seorang web marketing specalist Twitter (sekarang dikenal dengan X) pada tahun 2007. Sebelumnya sudah pernah digunakan untuk keperluan website, namun setelah itu Chris bereksperimen untuk menggunakannya pada media sosial yaitu Twitter untuk menghimpun topik-topik tertentu. Saat kita menambahkan tagar atau hashtag pada tulisan di Twitter, maka twit dapat masuk dalam aliran topik dan mudah ditemukan oleh pengguna lain.
Tak hanya itu, seiring berkembangnya teknologi digital, aplikasi media sosial lainnya juga membuat fitur serupa, seperti Instagram, Facebook dan Tiktok. Pengguna media sosial kerap kali menambahkan tagar di akhir caption foto mereka. Saat ini, hashtag bukan hanya untuk mengelompokkan tema atau topik konten, tetapi juga sebagai kebutuhan branding serta senjata gerakan sosial.
Bagaimana bisa hashtag berperan dalam gerakan sosial?
Menurut penelitian dari Socialinsider, postingan yang menyertakan minimal satu tagar memiliki jangkauan 12,6% lebih tinggi dibandingkan yang tidak menggunakan tagar sama sekali.
Sementara itu, laporan dari Sprout Social menunjukkan bahwa postingan Instagram dengan setidaknya satu tagar dapat menghasilkan interaksi 29% lebih banyak. Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan tagar dapat memberikan pengaruh besar terhadap suatu postingan di media sosial termasuk dalam gerakan sosial.
Fitur hashtag dapat mempercepat respon dari pihak berwenang terhadap isu-isu sosial yang tengah berkembang. Cuitan yang disertai dengan hashtag biasanya lebih cepat memperoleh respons karena lebih mudah diakses oleh pengguna lain. Selain itu, penggunaan hashtag mampu menarik perhatian berbagai pihak, seperti tokoh politik, masyarakat luas, pemuka agama, aktivis, dan kalangan lainnya (Kusniawati, 2023).
Selanjutnya, dalam jurnal berjudul “Dinamika Islam Indonesia: Media Massa Sebagai Instrumen Gerakan” oleh Dr.Abdullah Khusairi M.A, dosen literasi media UIN Imam Bonjol Padang, dikatakan bahwa Media massa kolonialisme menjadi sarana perjuangan. Wahana menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dan juga berperan dalam mendidik masyarakat.”Dalam artikel opini, beliau juga mengatakan bahwa “Media sosial, wahana yang serius sekaligus tidak serius yang membutuhkan keutuhan berpikir, cara berkomunikasi, juga bahasa yang dipilih. Begitulah cara yang memungkin agar bermanfaat, selebihnya kita bisa menjadi residu informasi yang tidak memberi arti. Singkatnya, kita patut untuk cerdas memakainya.
Jauh sebelum ini, Maxwell McCombs dan Donald L.Shaw menyebutkan dalam teorinya “Agenda Setting”, bahwa khalayak akan menganggap penting apa yang dianggap media penting. Maksudnya, media memengaruhi atau membentuk prioritas dan perhatian publik terhadap isu-isu tertentu. Salah satu cara media mempengaruhi perhatian publik adalah dengan terus-menerus mengangkatnya di media. Begitu juga dengan berulang mengangkat topik suatu isu di media sosial menggunakan hashtag, secara kolektif berkontribusi dalam menempatkan isu dalam agenda sosial global, bahkan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah atau respons internasional terhadap masalah. Setiap kali kita mengunggah atau membagikan konten, kita memiliki kesempatan untuk memengaruhi banyak orang, menyebarkan informasi yang benar, serta mendorong perubahan sosial yang lebih baik.
Tagar #freepalestina salah satu representasi gerakan sosial di ruang digital yang menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi wadah untuk menyuarakan aspirasi dan opini secara luas. Dengan penggunaan tagar ini di berbagai platform media sosial, menjadikan isu Palestina dengan Israel menjadi tranding dan menarik perhatian dunia serta untuk menganalisis bagaimana opini publik berubah dari waktu ke waktu dan bagaimana transformasi tersebut tercermin dalam interaksi daring di media sosial.
Pada laman pencarian Instagram, ketika kita mengetik #palestina, telah 2 juta postingan yang menggunakan, dan 192 ribu postingan untuk #freepalestina. Dalam penelitian yang berjudul “A Case Study of the Hashtag #freepalestina: Cultural Communication and Public Opinion Transformation” tahun 2023, memperoleh hasil bahwa penggunaan tagar #freepalestine tidak hanya menciptakan transformasi opini publik, tetapi juga berdampak sosial yang signifikan. Kelompok aktivis menggunakan media sosial sebagai alat untuk mengorganisasi aksi nyata dan meningkatkan kesadaran internasional tentang konflik.
Emang ngaruh bela palestina lewat media sosial dengan senjata hashtag #freepalestina ?. Ucap segelintir netizen yang memilih bungkam akan konflik yang terjadi. Kalau kita tidak dapat ikut membela Palestina secara langsung dengan fisik, maka masih banyak cara lain untuk menunjukkan rasa solidaritas. Dengan perkembangan teknologi digital, maka gunakanlah untuk hal yang bermanfaat dan bernilai. Salah satunya untuk menyorakkan keadilan dan kebebasan untuk saudara kita di Palestina dengan menyebarkan informasi melalui konten di sosial media, membubuhkan hashtag #FreePalestina, walau hanya sekedar share postingan orang lain. Dunia harus tahu bahwa Palestina sedang tidak baik-baik saja, bahwa kita peduli. Karena bersuara adalah bentuk keberanian.
Ketika penderitaan warga Palestina kian hari kian memburuk, korban jiwa berjatuhan, terluka, serta kehancuran seluruh infrastruktur yang ada, maka bersikap netral bukan pilihan yang etis. Blokade yang memicu kelaparan dan runtuhnya layanan kesehatan hanyalah sebagian dari tragedi kemanusiaan yang tak boleh diabaikan. Dalam situasi seperti ini, media sosial bukan sekadar ruang ekspresi, melainkan alat perjuangan.
Hashtag seperti #freepalestina telah menjelma menjadi suara kolektif yang menembus batas geografi dan politik, menjadi bukti bahwa aksi digital memiliki makna dan kekuatan untuk membangun kesadaran serta solidaritas global.
Gerakan kecil dengan menyisipkan #freepalestina di setiap postingan sosial media kita berdampak besar terhadap kondisi Palestina. Jangan biarkan lini masa media sosial hanya dipenuhi oleh konten velocity yang tidak bernilai. Biarkan gaungan #freepalestina mendominasi beranda kita sebagai bentuk kepedulian yang nyata.
Alah palingan juga fomo-fomoan. Fomo (Fear of Missing Out) atau tren ikut-ikutan dalam sosial media tidak masalah kalau untuk kebaikan, karena itu lebih baik daripada diam dan tidak ada aksi sedikit pun walau hanya sekedar share informasi dari orang lain. Sudah saatnya kita memaknai media sosial lebih dari sekadar ruang untuk hiburan dan eksistensi diri.
Gerakan di media sosial untuk Palestina ibarat gema di tengah lembah sunyi. Meskipun satu teriakan mungkin terdengar kecil dan cepat hilang, namun ketika jutaan suara bersatu dan menggema bersama, suaranya menggetarkan dunia. Setiap unggahan, setiap hashtag #freepalestina, setiap share, adalah seperti batu kecil yang dilempar ke danau tenang, ia menciptakan riak. Dan jika cukup banyak riak yang muncul, maka permukaan danau itu akan berguncang. Begitu pula dengan media sosial, satu suara mungkin terasa tidak berarti, tapi ketika jutaan orang bersuara serempak, mereka bisa mengguncang kesadaran global dan memaksa dunia untuk memperhatikan.
Dengan menyuarakan isu-isu penting dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan melalui unggahan kita, media sosial bisa menjadi ladang kebermanfaatan. Konflik Israel dengan Palestina bukan soal agama, tapi soal kemanusiaan. Maka dari itu, cukup jadi manusia untuk peduli dengan Palestina. Gunakan teknologi digital yang ada di genggaman kita untuk kebermanfaatan.
*Penulis: Zahara Srimardani (Mahasiswa Jurusan KPI Fakultas Dakwah UIN Imam Bonjol Padang)