IMF, Bank Dunia, dan Diamnya Kritik terhadap Sumber Tsunami Tarif Global

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.

Prof Dr Syafruddin Karimi SE MA (Foto: ist)

Dalam laporan-laporan terbaru mereka, baik International Monetary Fund (IMF) maupun Bank Dunia mengakui bahwa dunia tengah menghadapi ancaman perlambatan ekonomi besar. Ketegangan dagang, lonjakan tarif, ketidakpastian perdagangan, dan beban utang yang meningkat disebut sebagai faktor utama memburuknya prospek pertumbuhan global. Tetapi di tengah kesadaran itu, ada ironi yang mencolok: kedua lembaga multilateral ini enggan mengkritik langsung sumber ketidakstabilan tersebut, yakni kebijakan tarif sepihak Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.

Mengapa IMF dan Bank Dunia memilih sikap diam? Jawabannya berakar pada realitas politik dan struktur kekuasaan yang membelit dua institusi ini. Amerika Serikat adalah pendiri, pendonor terbesar, dan pemilik hak suara tertinggi di IMF dan Bank Dunia. Kritik langsung terhadap kebijakan ekonomi AS berisiko memicu ketegangan politik yang bisa melemahkan efektivitas operasional dan dukungan finansial terhadap kedua lembaga ini.

Dalam kondisi ini, IMF dan Bank Dunia memilih jalan diplomasi: mereka membingkai masalah sebagai “ketidakpastian perdagangan global” atau “risiko eksternal yang meningkat,” alih-alih menyebut terang-terangan bahwa tsunami tarif yang diluncurkan AS merupakan sumber utama guncangan global. Ini adalah strategi bertahan hidup, tetapi sekaligus menunjukkan dilema besar lembaga multilateral saat ini: mempertahankan posisi global, tetapi kehilangan keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran.

Di atas kertas, diplomasi ekonomis ini tampak masuk akal. Lembaga seperti IMF dan Bank Dunia mengandalkan legitimasi internasional untuk beroperasi di seluruh dunia. Terlalu keras terhadap satu negara, apalagi negara sebesar AS, bisa membuat peran mereka diabaikan dalam forum-forum global. Namun, pada saat yang sama, netralitas berlebihan justru membuat diagnosis mereka tidak utuh, dan rekomendasi kebijakan mereka kehilangan kekuatan politis yang diperlukan untuk mendorong perubahan.

Lebih ironis lagi, dalam laporan terbaru IMF (April 2025), disampaikan bahwa negara-negara berkembang berpenghasilan rendah (LIDCs) menghadapi tekanan berat: runtuhnya arus bantuan internasional, stagnasi pendapatan per kapita, dan perlambatan pertumbuhan perdagangan. Banyak dari negara ini kini mengalami kemunduran setelah bertahun-tahun perbaikan ekonomi. Dalam situasi ini, dorongan IMF agar negara berkembang fokus pada stabilitas internal, reformasi fiskal, dan liberalisasi pasar terasa jauh dari cukup.

Di satu sisi, IMF menyerukan stabilitas internal. Di sisi lain, mereka mengabaikan fakta bahwa banyak negara berkembang tidak hanya menghadapi ketidakstabilan internal, tetapi juga tekanan eksternal akibat proteksionisme negara-negara maju yang belum pernah sebesar ini dalam beberapa dekade terakhir. Di tengah tsunami tarif global, menyarankan negara berkembang untuk membuka pasar mereka sendiri — seperti didorong juga oleh pejabat Bank Dunia (Shalal, 2025) — adalah kontradiktif. Tanpa perlindungan dan kerja sama internasional yang efektif, liberalisasi sepihak bisa justru memperdalam kerentanan mereka.

Situasi ini memperlihatkan betapa asimetrisnya tatanan ekonomi dunia saat ini. Negara besar seperti Amerika Serikat bisa bebas mengadopsi kebijakan proteksionis tanpa konsekuensi serius dari komunitas internasional, sementara negara berkembang dituntut untuk tetap disiplin dalam stabilitas fiskal dan keterbukaan pasar.

Lebih jauh lagi, IMF dan Bank Dunia yang seharusnya menjadi penjaga prinsip perdagangan bebas dan kerja sama multilateral, justru terjebak dalam posisi kompromistis. Mereka menghindari kritik substantif terhadap negara-negara besar, bahkan ketika jelas bahwa praktik mereka memperburuk ketidakstabilan global.

Kritik ini bukan bertujuan meremehkan peran IMF dan Bank Dunia, yang tetap krusial dalam mendukung stabilitas makroekonomi banyak negara berkembang. Tetapi saat ini, dunia membutuhkan lebih dari sekadar analisis teknokratis. Dunia membutuhkan keberanian politik untuk menyebut masalah secara gamblang, mendorong reformasi arsitektur perdagangan internasional, dan membela negara-negara kecil dari dampak destruktif proteksionisme unilateral.

Jika tidak, kredibilitas lembaga multilateral akan terus terkikis. Negara berkembang akan semakin mempertanyakan keadilan sistem global. Dan multilateralisme, yang hari ini sedang rapuh, akan kehilangan relevansi di tengah dunia yang semakin terfragmentasi.

Kesimpulan

Diamnya IMF dan Bank Dunia dalam mengkritik tarif Trump bukan sekadar masalah diplomasi lembaga. Ini adalah cerminan dari krisis moral dalam tatanan ekonomi global. Jika lembaga-lembaga ini ingin tetap relevan, mereka harus berani tidak hanya mengelola krisis, tetapi juga menyuarakan kebenaran tentang sumber-sumber krisis itu sendiri.

Dunia tidak akan berubah hanya dengan retorika tentang kerja sama. Dunia hanya akan berubah ketika ada keberanian untuk melawan ketidakadilan, bahkan jika itu berarti menghadapi negara-negara besar sekalipun.

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

Tag:

Baca Juga

Demokrasi dan Kebisingan Politik
Demokrasi dan Kebisingan Politik
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
TikTok, Trump dan Tiongkok
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Dari Trump ke Tanah Air: Pukulan Ganda terhadap Konsumen Indonesia
Etos Kerja dan Risiko Ekonomi dalam ungkapan Minangkabau: Bajariah Mangko Kabuliah, Barugi Mangko Kabalabo
Etos Kerja dan Risiko Ekonomi dalam ungkapan Minangkabau: Bajariah Mangko Kabuliah, Barugi Mangko Kabalabo
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
America First: Strategi Negara Dagang
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Risiko Stagflasi Global: Apa Dampaknya bagi Rupiah dan Ekspor Indonesia?