Oleh: Rehanda Galih Aprilio
Ada pepatah lama yang berbunyi, “Sedia payung sebelum hujan”. Sayangnya, bagi Generasi Z (GenZ), payung itu kadang terlupakan di tengah derasnya hujan notifikasi dari aplikasi aplikasi di genggaman tangan yang mulai menghitam.
WhatsApp, Instagram, Facebook, TikTok, dan entah berapa banyak lagi aplikasi lainnya, seolah-olah bukan lagi sekadar tempat singgah, melainkan sudah menjadi rumah kedua atau bahkan, jangan-jangan sudah menjadi rumah utama yang lebih sering mereka tinggali dibandingkan dunia nyata?
Dulu, orang tua kita mengenal istilah “dunia tak selebar daun kelor”. Tapi bagi Gen Z, dunia justru terasa seolah hanya selebar layar smartphone. Dalam satu genggaman, mereka bisa menjelajahi kemana saja, bertemu siapa saja, bahkan menciptakan dunianya sendiri. Media sosial menjadi panggung sandiwara kehidupan, tempat mereka tampil, mencari pengakuan, dan seringkali berlomba-lomba menjadi “sipaling".
Namun, bukankah api kecil jika dibiarkan bisa membakar ladang? Begitu pula media sosial. Apa yang awalnya sekadar “hiburan”, kini menjelma menjadi “candu”. Tak sedikit generasi muda yang terjebak dalam kebiasaan scroll tiada henti, sejak mata terbuka di pagi hari hingga mata kembali terpejam di malam hari.
WhatsApp yang dulunya sekadar alat komunikasi, kini telah berubah menjadi penjara tak terlihat. Setiap notifikasi seolah seperti bunyi alarm. Setiap dengar suara “ding” adalah alarm yang menandakan perintah bagi mereka untuk segera merespons. Tak balas pesan? Dicap sombong. Terlambat merespons? Dituduh cuek. Begitulah dunia digital bekerja, cepat, praktis, tapi menjerat tanpa terasa. Sebuah jebakan psikologis yang membuat merka selalu “on” setiap saat.
Sementara, Instagram dan TikTok memberikan ruang untuk mengekspresikan perasaan mereka untuk di konsumsi publik. Foto yang sudah dipercantik atau video yang dihiasi efek bisa menimbulkan pikiran orang, bahwa standar hidup orang lain lebih menarik untuk ditiru.
Di balik tipuan digital ini, tersimpan perasaan tidak percaya diri yang membuat mereka bertanya-tanya: “Apakah aku sudah cukup keren?”. Mereka lupa, hidup bukan tentang siapa yang paling keren, esthetic, paling viral, atau paling banyak mendapatkan like. Hidup sejatinya adalah perjalanan, bukan perlombaan foto atau vidio siapa yang terbaik.
Mereka pintar membangun image di dunia maya, tapi belum tentu mengenal dirinya sendiri di dunia nyata. Ironisnya, di tengah upaya mereka berlomba-lomba untuk menampilkan siapa yang paling terbaik, justru banyak dari mereka yang merasakan kesepian akut. Inilah yang disebut para ahli sebagai loneliness in the crowd “kesepian di tengah keramaian digital”.
Mengutip dari orasi bung karno “berikan aku 10 orang pemuda, maka akan aku guncang dunia”. Jika gen z ini dihadakan langsung pada Bung Karno maka, mungkin Bung Karno tidak memaksudkan orasi tersebut untuk mereka. Karna apa?? Karna kebanyak generasi z ini lembek secara karakter dan mental sehingga tidak termasuk sebagai pemuda yang dimaksudkan oleh bung karno tersebut. Mengingat bahwa zaman orde lama, dimana pemuda-pemuda pada masa itu tangguh secara fisik dan mental.
Kita sebenarnya tidak boleh sepenuhnya menyalahkan generasi ini, terkadang habit atau lingkungannya lah yang membentuk karakter mereka seperti itu, terutama parenting atau pola asuh orang tuanya lah yang perlu di pertanyakan. Apakah si anak ini bener-bener di asuh dengan didikan yang benar?
Kebanyakan orangtua sekarang tidak “becus” dalam mendidik anak mereka sendiri, dalam artian jika anak mereka rewel atau nangis maka akan dikasih pegang handphone dan dibiarkan untuk menonton vidio-vidio yang tidak mendidik atau membiarkan menonton vidio pendek secara terus menerus. Ini dapat merusak hormon dopamin mereka dan merusak keseimbangan otak si anak sehingga si anak tidak dapat fokus dalam memahami sesuatu yang sedang mereka pelajari; Sehingga membentuk karakter yang buruk sejak dini dan terbawa hingga dewasa.
Bukan berarti aplikasi-aplikasi itu harus dihapus dari ponsel. Seperti pisau, teknologi bisa menjadi alat bantu atau bahkan bisa mencelakakan, tergantung siapa yang memegangnya. Yang dibutuhkan Generasi Z bukanlah meninggalkan teknologi, tetapi mengasah literasi digital dan menata pola pikir.
Maka dari itu, untuk keluar dari “jebakan” digital ini, perlu untuk memberikan literasi digital yang baik. mereka perlu belajar bagaimana menyaring informasi digital yg baik dan benar, membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak.
Pendidikan formal dan informal harus mendampingi mereka untuk menggunakan teknologi secara bijak. Tujuannya, tidak hanya membantu menekan kecanduan, tetapi juga mendorong mereka untuk menggunakan media sosial sebagai alat pembelajaran yang positif.
Seperti pepatah lama mengatakan: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dan bumi itu bukan hanya layar smartphone. Bumi itu adalah dunia nyata, tempat kita belajar, tumbuh, jatuh, lalu bangkit kembali, tanpa perlu pengakuan dari tombol “like” ataupun “Komen”.
Penulis: Rehanda Galih Aprilio, Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang