Oleh: Habibur Rahman
Prabowo Subianto, tokoh yang dulu dianggap abadi dalam oposisi itu, kini duduk di puncak kuasa negeri ini. Ia mewarisi warisan pemerintahan Jokowi, sebuah bangunan kokoh di luar, tetapi retak di dalam. Infrastruktur menjulang, jalan tol terbentang, tetapi dompet rakyat masih sering kosong.
Jokowi dulu datang membawa harapan, dan Prabowo kini menggenggam obor yang sama begitu kiranya ilustrasi itu terbentuk, meski dengan api yang tampaknya masih samar. Dalam hampir empat bulan pemerintahannya, rakyat masih menunggu sketsa yang lebih konkret dari Asta Cita, manifesto yang digadang-gadang sebagai kunci untuk menuntaskan kemiskinan.
Sayangnya, untuk saat ini, yang terlihat baru sebatas santapan gratis di sekolah-sekolah yang terkesan dipaksakan melalui efisiensi dan efisiensi di berbagai lini, dan janji pertumbuhan ekonomi yang, entah bagaimana, akan meroket hingga 8% itu masih nyaring.
Tentu, angka 8% itu terdengar manis. Itu seperti mengatakan bahwa suatu hari nanti semua masyarakat Indonesia bisa punya rumah dengan halaman luas dan anak-anak mereka bersekolah di institusi terbaik. Tapi jika pertumbuhan ekonomi di era Jokowi saja tak pernah menembus angka 7% bahkan di tahun-tahun terbaiknya, dari mana Prabowo mendapatkan optimisme semacam ini? Apakah ia memiliki strategi ajaib yang bisa mengubah struktur ekonomi yang selama ini lebih sering berpihak pada mereka yang sudah kaya?
Kemiskinan bukan sekadar soal pendapatan yang rendah, kita tahu itu. Amartya Sen, ekonom yang dikenal dengan teori "capability approach," memberikan insight kepada kita, bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu untuk menjalani kehidupan yang ia pilih karena keterbatasan akses terhadap sumber daya dan peluang, makanya hari ini kita temui tagar #KaburAjaDulu karena mereka tidak melihat sebuah peluang yang begitu berarti makanya mereka memutuskan untuk ke luar negeri. Maka, jika kebijakan Prabowo hanya berhenti pada distribusi makanan gratis dan bantuan sosial, serta pembagian susu oleh Wakilnya tentu ini bukan solusi.
Di sisi lain, ada hal yang menakutkan masih gentayangan di dunia kerja: Undang-Undang Cipta Kerja. Dulu, Jokowi membanggakan regulasi ini sebagai alat untuk menarik investasi dan mendorong fleksibilitas tenaga kerja. Namun, dalam praktiknya, UU ini lebih mirip surat cinta untuk para investor ketimbang jaring pengaman bagi para pekerja. Hak-hak tenaga kerja dipangkas, upah minimum semakin sulit dinegosiasikan, dan kontrak kerja menjadi semakin mudah diputus. Dengan kata lain, UU ini membuat pekerja semakin tak berdaya.
Padahal, lima tahun lalu, UU Cipta Kerja lahir dengan narasi spektakuler oleh pria berjuluk "carpenter" itu, saya ingat betul itu: investasi akan deras, ekonomi akan melesat, dan kesejahteraan akan merata. Sekarang, kita evaluasi sebentar, apakah yang tumbuh pesat itu investasi atau justru ketimpangan? Apakah ekonomi makin kuat atau justru pekerja makin terhimpit? Jika teori dan realitas tak kunjung bertemu, mungkin yang perlu direvisi bukan hanya regulasinya, tapi juga imajinasi pembuat kebijakannya yang kini berada di Solo.
Dan di sinilah Prabowo berhadapan dengan dilema fundamentalnya: Apakah ia akan terus memegang cetak biru ekonomi Jokowi, ataukah ia akan menawarkan sesuatu yang lebih substansial? Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan mencabut atau merevisi UU Cipta Kerja. Bahkan, alih-alih merancang kebijakan struktural yang lebih progresif, Prabowo tampaknya memilih jalan yang lebih mudah: memberikan makanan gratis.
Sedangkan Wakilnya, Gibran kembali memakai jurus andalan sang ayah, saat berkunjung ke kampung Malang Tengah, Tegalsari, Surabaya, Jawa Timur pada 28 Januari ia terlihat membagikan bansos berupa, kaus, buku, dan alat tulis kepada anak-anak, begitupun juga sebelumnya ia terlihat sering membagikan susu ke berapa tempat.
Saya jadi teringat, dalam politik ada sebuah istilah 'bread and circuses' strategi lama yang digunakan untuk meredam kritik dengan pemberian materi dan hiburan. Karena populisme instan justru lebih menarik karena menghasilkan citra yang mudah dikonsumsi publik. Kalau kepemimpinan hanya diukur dari pembagian sembako dan kaus, maka peradaban kita telah merosot menjadi sekadar urusan logistik elektoral, bukan tata kelola negara yang berpihak pada kesejahteraan nyata, tapi ternyata itu yang dilakukan oleh Wapres yang tidak suka membaca ini.
Sarkasme sejarah tak pernah sejelas ini. Indonesia telah mengalami berbagai bentuk bantuan sosial dari era Orde Baru hingga Reformasi. Namun, jika kemiskinan tetap bertahan, bukankah ini pertanda bahwa pendekatan kita selama ini salah? Bansos memang bisa meringankan beban rakyat, tetapi jika kebijakan tenaga kerja masih menekan buruh, jika harga-harga kebutuhan pokok masih melambung tanpa kontrol, dan jika akses terhadap pekerjaan yang layak masih terbatas, maka bansos hanyalah anestesi untuk rasa sakit yang lebih dalam.
Kalau kita coba bawa perspektif Karl Marx, sistem ekonomi yang tidak menjamin kesejahteraan kelas pekerja hanya akan memperpanjang kontradiksi kapitalisme itu sendiri. Prabowo, dengan citra patriotismenya, tampaknya ingin menyelamatkan "rakyat kecil," tetapi bagaimana mungkin ia bisa melakukannya jika struktur ekonomi yang ada masih menempatkan mereka dalam ketidakpastian?
Selain itu, ada jurang ketimpangan yang semakin menganga. Di Jakarta, di antara gedung-gedung pencakar langit, ada perkampungan kumuh yang hidup dalam bayang-bayangnya. Di dalam mal-mal megah, ada pekerja yang gajinya hanya cukup untuk bertahan, tetapi tidak untuk berkembang. Ini bukan sekadar masalah distribusi kekayaan, tetapi soal akses terhadap pilihan hidup.
Prabowo seharusnya memahami bahwa redistribusi ekonomi yang sejati tidak hanya tentang memberikan, tetapi juga tentang memberdayakan. Jika ia serius ingin mengentaskan kemiskinan, maka ia harus mengubah paradigma pembangunan. Pendidikan dan kesehatan bukan hanya sektor pelengkap, melainkan investasi jangka panjang yang menentukan mobilitas sosial.
Akan tetapi sekali lagi, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa perubahan struktural memerlukan lebih dari sekadar niat baik. Jika kebijakan ekonomi masih didominasi oleh kepentingan segelintir elite, maka harapan untuk mengurangi kemiskinan hanya akan menjadi janji yang terlupakan.
Mungkin masih terlalu dini untuk menilai arah pemerintahan Prabowo secara keseluruhan. Tetapi jika hampir empat bulan ini menjadi indikasi, maka kita patut khawatir bahwa perubahan yang dijanjikan hanyalah repetisi dari apa yang sudah pernah kita lihat sebelumnya.
Dalam mitologi Yunani, ada kisah Sisyphus, sosok yang dikutuk untuk mendorong batu besar ke puncak bukit hanya untuk melihatnya menggelinding kembali. Apakah Indonesia sedang menjalani kutukan serupa dalam siklus kebijakan yang terus mengulang kesalahan yang sama?
Prabowo masih punya waktu untuk membuktikan bahwa pemerintahannya bukan sekadar babak baru dalam cerita lama. Tapi untuk itu, ia harus berani melampaui populisme dangkal dan merancang kebijakan yang benar-benar bisa mengangkat rakyat dari kubangan ketidakpastian.
Bukan hanya makanan gratis, bukan hanya janji pertumbuhan ekonomi yang fantastis, tetapi sebuah sistem yang memungkinkan rakyatnya untuk bermimpi dan, lebih penting lagi, mewujudkan mimpi itu. Jika tidak, maka kepemimpinannya hanya akan menjadi satu lagi episode dalam sejarah panjang janji-janji yang tak pernah benar-benar ditepati, oke gas.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.