InfoLanggam - Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat gelar kuliah umum “Politik Hukum Sumber Daya Alam Bidang lingkungan Hidup, Perspektif Pasca UU Cipta Kerja”, Rabu (5/2/2025) di Convention Hall Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MAg, Kampus III Bukittinggi.
Kuliah umum ini menghadirkan narasumber guru besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surakarta, Prof Absori SH MHum.
Dekan Fakultas Hukum UM Sumatera Barat, Dr Wendra Yunaldi SH MH mengharapkan kuliah umum kali ini agar dapat menginspirasi dan memberi warna bagi Fakultas Hukum UM Sumatera Barat.
"UMS telah mencoba memperkenalkan aliran atau konsep pemikiran hukum profetik dan presidensial," ujarnya.
Beberapa dosen Universitas Muhammadiyah, kata Wendra, termasuk Prof Absori, menggaungkan tentang nilai travender dalam berhukum, membahas lingkungan dan sumber daya alam dalam kurikulum.
"Oleh karena itu, perspektif tambang dan sumber daya alam sangat menarik untuk dibahas. Terlebih bagaimana posisi politik hukum UU Sumberdaya alam Pasca UU Cipta Kerja yang kontroversial,” ucapnya.
Sementara itu, Prof Absori SH MHum dalam awal kuliah umum memaparkan MPR yang mengeluarkan TAP MPR No.VI/2002 tentang rekomendasi kepada presiden untuk menyiapkan penyusunan peraturan perundangan mengatur pengelolaan sumber daya alam dan menyediakan berbagai konflik sumber daya alam.
Namun rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti waktu itu, sebaliknya pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang SDA yang sarat kepentingan asing dan pemilik modal.
Menurut Absori, kebijakan hukum mengundangkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi yang menginginkan adanya kepentingan percepatan investasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan bagaimana kebijakan hukum seharusnya dibuat menurut kaidah/tata cara/ketentuan hukum yang seharusnya.
Karena itu, kata Absori, ketika UU Cipta Kerja diundangkan mendapat banyak protes, termasuk demokrasi hampir seluruh komponen masyarakat. Setelah sekian lama masyarakat melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada 25 Desember 2021 MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Yakni selama tidak dilakukan perbaikan dalam 2 tahun setelah putusan dibacakan maka secara otomatis UU tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Ia mengatakan, Peppu No. 2 Tahun 2022 ditetapkan dengan UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja dinilai mengabaikan kepentingan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Alasannya kemudahan perizinan berusaha dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk kepentingan investasi dan ekonomi.
"Padahal dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha/kegiatan, disusun oleh pemakarsa dengan melibat masyarakat," bebernya.
Absori menyebutkan, ketentuan Pidana Lingkungan dalam UU No. 23 Tahun 2009 mencantum ketentuan sanksi pidana dengan hukuman berat.
Perbuatan pidana berupa perusakan terhadap SDA yang dilakukan korporasi dikategorikan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang dikenal White collar crime, pelakunya orang terhormat atau badan hukum atau pelaku usaha yang terpandang dan sulit dikenali masyarakat umum.
Ia mengatakan, dalam melakukan penanganan hukum sanksi pidana perusakan SDA sifatnya baru ultimum remidium, yakni menganggap perbuatannya belum persoalan serius.
"Beberapa pihak mengusulkan premium remidum yakni menjadikan sanksi pidana sebagai instrument yang diutamakan dalam perbuatan perusakan SDA dan lingkungan," tuturnya.
"Sehingga dapat disimpulkan politik hukum mengundangkan UU No. 11Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang di antaranya mengatur SDA dan lingkungan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan inkontitusional bersyarat," sambungnya.
Ia menyebutkan, pemerintah mengeluarkan Perppu No. 2 tahun 2022 dan menetapkan dengan UU No. 6 Tahun 2023 dengan alasan perubahan iklim investasi dan ekonomi sebagai kegentingan yang memaksa. (*)