Oleh: Fauzul Ikhsan Dafiq
Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Islam datang dengan ajaran yang egaliter, mendorong persamaan tanpa diskriminasi gender, sehingga posisi seorang pria tidak lebih tinggi daripada seorang wanita.
Islam tidak membatasi siapa pun, baik pria maupun wanita, untuk berkarya dan mencapai potensi terbaik mereka. Akan tetapi faktanya, wanita merupakan bagian integral dari masyarakat. Secara biologis, pria dan wanita berbeda, tetapi dalam hak dan kewajiban, keduanya setara sebagai manusia.
Kenyataannya saat ini, wanita sering kali menghadapi ketidaksetaraan gender, dengan banyak peran yang dibatasi. Dalam sebuah filosofi Jawa, wanita sering disebut sebagai "konco wingking," yang memposisikan mereka hanya pada tiga peran utama: "macak" (berhias diri untuk menarik perhatian suami), "masak" (mengurus urusan dapur), dan "manak" (melahirkan).
Pandangan ini diperkuat oleh tafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW yang sering kali dipahami secara bias untuk kepentingan tertentu. Padahal, dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, hak-hak dan kewajiban pria dan wanita seharusnya tidak dibedakan.
Filsuf Italia Antonio Gramsci berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya terwujud dalam bentuk dominasi politik atau ekonomi, tetapi juga dalam dominasi budaya yang membentuk cara pandang masyarakat. Jikalau kita bawakan dalam hal ini, pemahaman yang salah terhadap peran wanita, seperti yang tercermin dalam filosofi "konco wingking," merupakan salah satu bentuk hegemoni budaya yang berakar pada pandangan patriarkal yang telah diwariskan turun-temurun.
Dengan kata lain, pemahaman tersebut lebih merupakan konstruksi sosial yang diciptakan untuk mempertahankan kekuasaan tertentu, bukan bagian dari ajaran Islam yang asli pastinya.
Padahal, wanita memiliki peran strategis dalam kepemimpinan dan perubahan sosial. Kepemimpinan perempuan dapat menciptakan lembaga atau organisasi yang lebih sehat, egaliter, dan menghasilkan keputusan yang inklusif. Wanita sering kali diasosiasikan dengan sifat-sifat yang penting untuk kepemimpinan, seperti empati, kesabaran, dan kemampuan untuk bekerja sama. Wanita dapat membawa perspektif yang berbeda dan lebih inklusif dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan, yang sangat penting dalam konteks masyarakat yang majemuk.
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan wanita dapat diterima selama memenuhi prinsip-prinsip keadilan, amanah, dan tanggung jawab. Muhammadiyah, misalnya, berpendapat bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.
Namun, beberapa cendekiawan Muslim klasik berpendapat sebaliknya, dengan alasan bahwa wanita tidak cocok memimpin karena sifat-sifat tertentu yang dianggap menghambat kemampuan mereka untuk memimpin, seperti emosi yang lebih mudah dipengaruhi. Pandangan ini, meskipun masih banyak dipertahankan, mulai banyak dipertanyakan seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang pentingnya keadilan gender dalam kepemimpinan.
Secara historis, banyak wanita yang telah memegang posisi kepemimpinan dan menunjukkan bahwa mereka mampu memimpin dengan baik. Contohnya adalah Madeleine Albright, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris, Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia ke-5, serta sejumlah wanita lainnya yang menjadi pemimpin di negara-negara dengan mayoritas Muslim.
Mereka telah membuktikan bahwa wanita mampu mengemban tugas kepemimpinan dengan bijaksana dan efektif. Kepemimpinan wanita ini telah menjadi bagian dari sejarah yang tak terbantahkan, yang turut berkontribusi pada pengaruh hukum Islam.
Di samping itu, menurut Bourdieu, kekuasaan simbolik beroperasi melalui kontrol terhadap simbol-simbol budaya, yang dalam hal ini terkait dengan pemahaman masyarakat tentang peran pria dan wanita. Nah, kepemimpinan perempuan, yang sering kali dilihat sebagai tantangan terhadap norma-norma patriarkal, sebenarnya memperlihatkan bagaimana perempuan dapat mengubah simbol-simbol sosial yang ada dan menegakkan nilai-nilai keadilan dan inklusivitas.
Walaupun banyak perbedaan pandangan di kalangan fuqaha, dan meskipun masih ada yang menentang kepemimpinan wanita berdasarkan tafsiran yang konservatif, kenyataannya kepemimpinan wanita telah menjadi bagian yang sah dari sejarah politik dunia. Para fuqaha dari berbagai mazhab mengemukakan pendapat yang beragam tentang kepemimpinan wanita, menjadikannya polemik yang terus berlanjut hingga kini.
Sebagai penutup tulisan ini, pandangan bahwa wanita tidak pantas menjadi pemimpin hanya karena gender mereka adalah pandangan yang ketinggalan zaman. Ajaran Islam sendiri menekankan pentingnya keadilan dan pertanggungjawaban, nilai-nilai yang tidak dibatasi oleh gender. Wanita telah membuktikan berulang kali bahwa mereka memiliki kualitas yang diperlukan untuk memimpin. Peran wanita dalam posisi kepemimpinan saat ini menunjukkan bahwa gender tidak seharusnya menjadi penghalang bagi seseorang untuk memimpin.
Islam, pada dasarnya, mendukung pemberdayaan baik pria maupun wanita untuk berkontribusi pada masyarakat dan dunia, tanpa memandang gender. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya wanita yang memegang posisi kepemimpinan di seluruh dunia, jelas bahwa pertanyaannya bukan apakah wanita dapat memimpin, tetapi bagaimana mereka dapat diberdayakan untuk melakukannya dengan efektif.
Seorang perempuan bernama Shirley Chisholm, yang merupakan perempuan pertama yang menjadi anggota Kongres Amerika Serikat dari kalangan Afrika-Amerika, pernah berkata :
"You don't make progress by standing on the sidelines, whimpering and complaining. You make progress by implementing ideas."
Semoga dapat dipahami.
Penulis: Fauzul Ikhsan Dafiq (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)