Dua puluh tahun lalu. Tepatnya, 18 Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan 19 Desember sebagai hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Karena pada tanggal tersebut, terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (PDRI).
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2006, Presiden SBY menegaskan, bahwa dalam upaya lebih mendorong semangat kebangsaan dalam bela negara, dalam rangka mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, dipandang perlu untuk menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Namun, dalam Keppres ini tidak dinyatakan Hari Bela Negara sebagai hari libur nasional.
Maka jangan heran, meski sudah 18 tahun lamanya tanggal 19 Desember ditetapkan sebagai Hari Bela Negara di Indonesia. Tapi, selama dua dasawarsa itu pula peringatan Hari Bela Negara, hanya terasa hangat di Sumatera Barat sebagai basis utama perjuangan PDRI. Itupun belumlah di seluruh kabupaten/kota.
Sedangkan di penjuru lain di Indonesia, pesona peringatan Hari Bela Negara belum terpancar. Terasa datar-datar saja dan hambar-hambar saja.
Malahan, ada daerah yang ditengarai tidak memperingati sama sekali Hari Bela Negara. Jangankan daerah, kementerian atau lembaga negara juga banyak yang belum menaruh perhatian terhadap Hari Bela Negara.
Mudah-mudahan, pada era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang patriotik sejati, peringatan Hari Bela Negara, lebih semarak. Bukan untuk gagah-gagahan. Tapi untuk memperkuat identitas dan jati diri bangsa. Apalagi, untuk mewujudkan 8 misi Asta Cita, 17 program prioritas, dan 8 program hasil terbaik, Prabowo-Gibran perlu menyalakan api semangat bela negara dan patriot merah putih yang pantang menyerah kepada segenap anak bangsa.
Selain itu, kita berharap pemerintahan Prabowo-Gibran, termasuk menteri-menteri dalam Kabinet Merah Putih, menaruh perhatian terhadap daerah-daerah yang pernah menjadi basis perjuangan PDRI di Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Ini patut menjadi catatan, karena daerah-daerah yang dulu menjadi saksi sejarah bela negara, kecuali Kota Bukittinggi, kondisinya masih "darurat":
Kita lihat saja kondisi Nagari Halaban di Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota. Dalam sejarah panjang PDRI di Sumatera Tengah, Nagari Halaban tercatat sebagai lokasi deklarasi PDRI dan pengumuman Kabinet PDRI pada 22 Desember 1948. Akan tetapi, peran Halaban yang besar dalam menyambung nafas republik nyaris terlupakan.
Masyarakat Halaban yang nenek moyangnya ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan republik semasa Agresi II Belanda, belum sepenuhnya mendapat akses layanan dasar memadai. Tengoklah kondisi infrastruktur jalan provinsi penghubung Payakumbuh-Lintau di Nagari Halaban yang bertahun-tahun rusak parah dan tak kunjung diperbaiki. Janji ke janji saja.
Tempat PDRI dideklarasikan di Halaban, persisnya di Dangau Yahya, kawasan Tadah, juga terlupakan. Bahkan, sampai hari ini, belum ada tanda-tanda bahwa di kawasan perkebunan itu dulunya pernah dideklarasikan Kabinet PDRI. Yang muncul ke permukaan baru kawasan Tegalrejo dan Paraklubang. Padahal, faktanya, PDRI itu dideklarasikan di kawasan Tadah, dalam wilayah perkebunan teh Halaban pada zaman itu.
Bergeser sedikit dari Halaban, tepatnya di Nagari Labuahgunuang dan Nagari Ampalu, tempat pemancar PDRI pernah disiarkan dan tempat Oeang (Uang) PDRI pernah dicetak, rakyatnya juga masih belum merasakan, bedanya ada peringatan Hari Bela Negara dan tidak adanya peringatan Hari Bela Negara. Karena memang belum ada perubahan signifikan.
Pernah di Nagari Ampalu, hendak didirikan Surau Mr. Syafruddin Prawiranegara. Namun, dengungnya saja yang besar. Setelah itu, tenggelam dalam berbagai keriuhan. Sementara, bukti uang zaman PDRI yang pernah dicetak di Ampalu, kini tak diketahui, apakah masih tersimpan aman, atau justru sudah bergeser dari satu kolektor ke kolektor lain.
Masih di Kabupaten Limapuluh Kota, nagari lain yang menjadi basis PDRI, juga belum merasakan buah dari peringatan Hari Bela Negara. Misalnya saja di Kecamatan Situjuah Limo Nagari. Sejarah mencatat, sepanjang perjalanan PDRI di Sumatera Tengah dari 1948 sampai 1949 itu, korban gugur terbanyak terjadi dalam Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. Dimana, 69 pejuang dan rakyat sipil tak berdosa, dibunuh Agresor II Belanda yang dibantu tentara hitam atau KNIL.
Dari 69 orang yang gugur dalam Peristiwa di Lurah Kincia, Situjuah Batua, 15 Januari 1949 itu, terdapat sejumlah nama besar. Seperti, Chatib Soelaiman yang namanya diabadikan sebagai nama jalan utama dan nama lapangan di Kota Padang, Kota Padangpanjang, Kota Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, dan Kabupaten Tanah Datar.
Hanya saja, sampai kini, Chatib Soelaiman yang tidak hanya memberikan tenaga dan sumbangsih pemikiran, tapi juga mengorbankan nyawanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, belum kunjung diakui sebagai Pahlawan Nasional. Walau sudah dua kali diusulkan Pemprov Sumbar ke Dewan Gelar di Jakarta.
Sudahlah Chatib Soelaiman belum ditetapkan jadi Pahlawan Nasional. Makamnya di Situjuah Batua, juga belumlah layak disebut sebagai makam pahlawan. Tahun ini, ada bantuan Pemprov Sumbar kurang dari Rp100 juta, tapi itu belum sesuai dengan janji Gubernur Sumbar Buya Mahyeldi Ansharulah yang hendak merevitalisasi Makam Pahlawan Lurah Kincia, dan hendak membuat diaroma perjuangan Peristiwa Situjuah.
Tak hanya makam pahlawan di Lurah Kincia, Situjuah Batua. Kondisi makam Syuhada PDRI di Nagari Situjuah Gadang dan Nagari Situjuah Banda Dalam, juga membutuhkan perhatian dari pemerintah provinsi dan kabupaten. Karena ini menyangkut dengan nilai-nilai kepahlawanan.
Idealnya, makam pahlawan Peristiwa Situjuah itu, baik di Lurah Kincia, Situjuah Batua. Maupun di Nagari Situjuah Banda Dalam dan Nagari Situjuah Gadang, dapat direvitalisasi oleh pemerintah dan pemerintah provinsi, karena pemerintah kabupaten kewalahan dalam pembiayaan. Dibangun serupa Makam Pahlawan Nasional Muhammad Yamin di Talawi, Sawahlunto.
Beranjak dari Situjuah Limo Nagari, kita tengok pula kondisi basis perjuangan PDRI di Kecamatan Guguak dan Kecamatan Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota. Di Kecamatan Guguak, nyata-nyata tercatat dalam sejarah, bahwa rapat-rapat tokoh PDRI itu, termasuk rapat pengembalian mandat PDRI ke pemerintah pusat, digelar di Padangjopang dan Kotokociak.
Namun, Museum PDRI di Padangjopang itu belum terurus dengan baik. Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumbar, pernah kelabakan, melihat kondisi museum yang memprihatinkan. Bahkan, museum PDRI di Padangjopang itu juga belum terdata dalam daftar registrasi museum nasional. Padahal, DAK Fisik Pendidikan itu tahun 2025, banyak diarahkan untuk museum.
Tak hanya di Kecamatan Guguak, di Kecamatan Harau, tepatnya di Nagari Kototuo, tempat warga juga menyalakan api revolusi Bela Negara dalam Peristiwa Koto Tuo Lautan Api pada masa Agresi II Belanda, perhatian pemerinta juga masih belum terlalu fokus. Begitu pula, terhadap peristiwa pencegatan Belanda di Jembatan Titiandalam, Nagari Pandamgadang. Memang sudah diperingati setiap tahun, namun nafasnya masih sebatas seremonial. Seperti peringatan 6 peristiwa Bela Negara lainnya di Limapuluh Kota.
Kondisi yang hampir sama, juga ditemukan pada hampir seluruh daerah atau kawasan yang pernah menjadi kantong-kantong PDRI di Sumatera Barat. Seperti, di Nagari Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh. Kemudian, kawasan Abai Sangir dan Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan. Selanjutnya, Pulau Punjung di Dharmasraya, dan Silantai, Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.
Maka, menyikapi kondisi masih terabaikannya daerah-daerah yang pernah menjadi basis perjuangan PDRI. Tidak ada cara lain paling tepat dilakukan pemerintah dari pusat, provinsi, sampai ke daerah, selain memberi perhatian total.
Salah satunya, bisa dilakukan lewat intervensi program dan kegiatan. Misalnya, dengan menjadikan, mengusulkan, dan menetapkan daerah-daerah basis perjuangan PDRI itu disatukan sebagai Kawasan Cagar Budaya/Sejarah tingkat Nasional. Sebab, ini belum pernah dilakukan otoritas terkait.
Paling tidak, di setiap kabupaten, ada kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya/Sejarah Bela Negara. Seperti, kawasan Halaban, Ampalu, Labuah Gunuang, Situjuah Batua, Situjuah Banda Dalam, Situjuah Gadang, Padang Mangateh Mungo, Koto Kociak, Padang Jopang, Suliki, Pandam Godang, sampai Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota.
Itu semua perlu disatukan sebagai Kawasan Cagar Budaya/Sejarah Bela Negara yang dimulai dari tingkat kabupaten, untuk selanjutnya diteruskan ke provinsi dan nasional. Apabila Kawasan Bela Negara atau Kawasan Basis PDRI ini sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional, maka dampaknya, akan sangat luas bagi daerah.
Paling tidak, bisa memenuhi tematik DAK yang dibutuhkan. Dan bisa, membantu pembiayaan daerah untuk percepatan pembangunan di kawasan-kawasan yang pernah menjadi basis perjuangan PDRI bela negara. Karena, kalau hanya mengandalkan APBD kabupaten saja, daerah tak akan kuat. Perlu intervensi APBD provinsi dan dari APBN.
Semoga saja, gagasan membentuk Kawasan Cagar Budaya/Sejarah Bela Negara ini dapat direspons positif semua pihak. Perlu diingat, tanpa PDRI, tak akan pernah ada NKRI. PDRI di Sumatera Barat adalah penyambung nafas republik. Daerah-daerah atau nagari-nagari yang dilalui pejuang PDRI, langsung berperan sebagai Ibukota Negara saat itu. Seperti layaknya Jogyakarta, Jakarta, dan IKN sekarang. Maka, celaka, kalau sejarah melupakanya. (***)
*Penulis adalah Anggota DPRD Limapuluh Kota. Pernah menulis buku "Tambiluak, Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuah.