Potensi Ego Sektoral dalam Trias Politika di Era Kepemimpinan Prabowo

Potensi Ego Sektoral dalam Trias Politika di Era Kepemimpinan Prabowo

Nurul Fadhilah Susantri. (Foto: Dok. Pribadi)

Jadi apakah yang di maksud dengan ego sektoral? Ego sektoral adalah sikap individu atau kelompok dalam suatu sektor tertentu yang hanya mementingkan kepentingan sektoral (kelompoknya sendiri) dari pada kepentingan yang lebih luas. Ego sektoral dalam trias politika merujuk pada munculnya kepentingan atau agenda kelompok tertentu dalam struktur pemerintahan yang mengutamakan kepentingan sektoral mereka di atas kepentingan umum atau prinsip-prinsip dasar trias politika itu sendiri.

Trias politika adalah teori pembagian kekuasaan dalam pemerintahan yang mengelompokkan kekuasaan negara menjadi tiga cabang utama: legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (menjalankan pemerintahan), dan yudikatif (menegakkan hukum).

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang berdasarkan pada triastika politika, dalam implementasinya ego sektoral bisa muncul ketika salah satu cabang kekuasaan (atau lebih) mengedepankan kepentingan dan tujuan sektoral atau kelompok tertentu, ketimbang tujuan nasional yang lebih luas. Hal ini dapat mengganggu keseimbangan antara ketiga cabang kekuasaan yang seharusnya saling mengawasi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan pemerintahan yang adil dan demokratis.

Ego sektoral dalam trias politika dapat mengancam stabilitas dan efektivitas pemerintahan, karena hal tersebut mengurangi kolaborasi antar lembaga, menambah ketegangan, dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.

Potensi ego sektoral di era kepemimpinan Prabowo Subianto, fenomena ini semakin menarik perhatian, terutama mengingat dinamika politik yang melibatkan berbagai sektor dan individu dalam pemerintahan. Dalam periode kepemimpinan Prabowo, sejumlah kebijakan dan keputusan menunjukkan adanya potensi ego sektoral, di mana kelompok atau individu tertentu memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan arah kebijakan, yang terkadang bertentangan dengan prinsip trias politika yang seharusnya menyeimbangkan kekuasaan antar cabang negara.

Kasus Luhut Binsar Pandjaitan

Salah satu contoh yang menunjukkan potensi ego sektoral adalah peran besar yang dimainkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan Penasihat Khusus Presiden Bidang Investasi. Dua jabatan strategis pemerintahan ini, berpotensi memunculkan kekhawatiran terkait ego sektoral dalam konteks trias politika, terutama dalam dinamika eksekutif dan legislatif. Luhut yang memiliki peran ganda memberikan pengaruh besar dalam pengambilan keputusan ekonomi dan investasi.

Hal ini dapat mempertegas sentralisasi kekuasaan di lingkaran eksekutif, yang jika tidak diimbangi, bisa mengesampingkan fungsi legislatif dan yudikatif dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah. Hal ini dapat dianggap mengurangi ruang checks and balances, di mana kebijakan ekonomi strategis mungkin menjadi keputusan eksekutif semata tanpa pengawasan yang memadai. Ketika seorang pejabat memegang terlalu banyak jabatan strategis, dapat terjadi gesekan dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Keuangan atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang juga berwenang dalam bidang serupa.

Dalam konsep trias politika, setiap cabang kekuasaan harus menjalankan fungsi dengan independen. Jika jabatan ganda ini tidak dijalankan dengan transparan, bisa menimbulkan persepsi bahwa eksekutif memiliki dominasi yang lebih besar dibandingkan legislatif dan yudikatif.

Dinamika legislatif

DPR sebagai pengawas kebijakan ekonomi mungkin merasa sulit mengimbangi kebijakan Luhut, mengingat reputasi dan kedekatannya dengan presiden.

Yudikatif

Dalam hal terjadi sengketa hukum terkait investasi, independensi pengadilan bisa dipertanyakan jika ada persepsi bahwa keputusan terlalu didominasi eksekutif.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang tumpang tindih kekuasaan antara sektor-sektor yang ada, yang seharusnya memiliki batasan yang jelas dan independen. Pengangkatan Luhut mencerminkan pola kepercayaan terhadap individu ketimbang institusi. Di era Presiden Prabowo, pola ini dapat memperlebar ketimpangan struktural dalam trias politika. Jika terjadi ketergantungan pada individu tertentu, mekanisme pengambilan keputusan berbasis sistem menjadi lemah.

Pembukaan Layanan Pengaduan oleh Gibran Rakabuming

Dalam langkah yang cukup kontroversial, Gibran Rakabuming, membuka layanan pengaduan langsung di Istana Wakil Presiden. Layanan ini bertujuan untuk menampung keluhan masyarakat dan memberi respon langsung dari pemerintahan. Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan mengenai tumpang tindih sektor, mengingat pengaduan dan interaksi dengan publik seharusnya menjadi ranah dari lembaga negara yang lebih terstruktur dan sesuai dengan aturan yang ada. Layanan ini berisiko memperkuat dominasi sektor eksekutif, yang dapat merusak prinsip independensi antar lembaga dalam sistem trias politika, serta mengaburkan pembagian kekuasaan antara eksekutif dan lembaga-lembaga lain yang memiliki peran dalam pengawasan dan pembuatan kebijakan.

Potensi Ketegangan dalam Pembagian Kekuasaan

Keberadaan ego sektoral ini berpotensi menambah ketegangan dalam pembagian kekuasaan yang idealnya dijaga dalam trias politika. Misalnya, legislatif yang seharusnya memiliki fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif, bisa terhambat dalam menjalankan tugasnya ketika sektor eksekutif terlalu dominan. Selain itu, yudikatif, yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum secara independen, juga dapat terpengaruh apabila terlalu banyak campur tangan dari pihak eksekutif yang lebih mengedepankan kepentingan sektoral mereka.

Potensi ego sektoral dalam trias politika Indonesia di era kepemimpinan Prabowo Subianto mencerminkan ketegangan antara kekuasaan eksekutif dan lembaga-lembaga negara lainnya. Fenomena ini dapat menurunkan efektivitas pemerintahan dan merusak prinsip-prinsip dasar yang ada dalam sistem pembagian kekuasaan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap sektor dan cabang pemerintahan tetap mempertahankan fungsinya secara independen, agar tercipta pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kepentingan rakyat.

*Penulis: Nurul Fadhilah Susantri (Mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Perilaku merendahkan orang lain dengan ejekan biasanya terjadi ketika seseorang tidak mampu membantah pendapat lawan melalui argumen rasional
Respon Bijak terhadap Argumentum Ad Hominem: Telaah Al-Qur'an dan Teladan Nabi
Politik uang, atau dalam istilah yang populer di masyarakat dikenal sebagai “serangan fajar,” adalah fenomena yang hampir menjadi tradisi.
Harga Suara, Harga Diri: Catatan Krisis Tentang Politik Uang
Menganalisis Kesehatan Mental di Era Digital
Menganalisis Kesehatan Mental di Era Digital
Media Sosial dan Kesehatan Mental Gen Z
Media Sosial dan Kesehatan Mental Gen Z
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyalahgunaan atau penyelewengan uang negara, perusahaan, organisasi, yayasan
Korupsi, Kekuasaan dan Rakyat yang Hanya Bisa Tertawa Pahit
K-Pop dan K-Drama Sebagai Alat Diplomasi Budaya Korea di Indonesia
K-Pop dan K-Drama Sebagai Alat Diplomasi Budaya Korea di Indonesia