Oleh: Mutiara Kasih
Politik memainkan peran krusial dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Melalui kebijakan yang tepat dan kepemimpinan yang bijaksana, politik menjadi alat penting untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita tahu bahwa generasi muda memiliki posisi strategis yang tidak hanya menjadi harapan masa depan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat membawa dinamika baru dalam politik.
Generasi muda, dengan idealisme yang tinggi dan semangat perubahan, memiliki potensi besar untuk menciptakan transformasi positif dalam sistem politik dan kebijakan publik. Sebagaimana yang dinyatakan dalam teori "youth bulge" tingginya proporsi populasi muda dalam sebuah negara dapat menjadi sumber inovasi politik yang signifikan.
Energi, keberanian, dan pemikiran mereka yang belum terbelenggu oleh konvensi politik memungkinkan generasi muda untuk menghadirkan pendekatan yang lebih segar dalam proses pengambilan keputusan.
Akan tetapi, keterlibatan generasi muda dalam politik sering kali menghadapi tantangan struktural. Dalam sistem politik yang kerap kali didominasi oleh elite mapan, partisipasi pemuda sering dipandang sebelah mata. Padahal, pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa partisipasi aktif pemuda mampu menciptakan gelombang perubahan signifikan.
Sebagai contoh, gerakan politik Bernie Sanders di Amerika Serikat berhasil menarik perhatian pemuda melalui pesan anti-establishment dan kebijakan progresif yang relevan dengan isu-isu kontemporer seperti pendidikan, lingkungan, dan keadilan sosial.
Di Indonesia, generasi muda memiliki harapan besar terhadap perubahan positif dalam politik, termasuk pemilu yang jujur dan adil, peningkatan kualitas pendidikan, akses kesehatan, keadilan hukum, dan kebijakan yang mendorong kesejahteraan masyarakat.
Namun, realitas yang dihadapi sering kali jauh dari harapan. Tantangan seperti maraknya hoaks dan propaganda di media sosial, politik uang, rendahnya kesadaran politik, dan kurangnya akses bagi pemuda untuk berpartisipasi dalam struktur kekuasaan politik menjadi hambatan signifikan.
Partai politik seharusnya menjadi sarana inklusif yang mampu memanfaatkan potensi generasi muda sebagai aktor perubahan. Namun, survei menunjukkan bahwa pemuda sering kali tidak merasa terdorong untuk terlibat aktif dalam proses politik. Hal ini diperparah oleh maraknya disinformasi yang memperkeruh iklim demokrasi, menciptakan perpecahan di masyarakat, dan merusak integritas politik itu sendiri.
Dalam konteks ini, Pierre Bourdieu, dalam teori modal sosialnya, menjelaskan pentingnya modal budaya, sosial, dan ekonomi dalam membangun partisipasi politik. Pemuda yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan politik cenderung kurang percaya diri untuk terlibat dalam proses demokrasi.
Selain itu, fenomena politik uang yang merajalela juga menjadi penghalang utama. Politik uang tidak hanya merusak kredibilitas proses pemilu, tetapi juga menegasikan suara murni generasi muda yang sebenarnya memiliki idealisme untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Kekhawatiran ini selaras dengan pendapat ilmuwan politik Robert Dahl, yang menekankan pentingnya kesetaraan akses dan partisipasi dalam demokrasi. Ketika pemuda terpinggirkan dari proses politik, sistem demokrasi menjadi rentan terhadap dominasi segelintir elite yang memiliki modal besar.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, beberapa langkah strategis perlu diambil. Pertama, pemerintah dan lembaga pendidikan harus berkolaborasi dalam memberikan edukasi politik kepada generasi muda. Pemahaman tentang proses demokrasi, pentingnya pemilu, dan etika politik akan meningkatkan kesadaran serta partisipasi pemuda.
Kedua, partai politik harus membuka ruang yang lebih inklusif bagi pemuda untuk berpartisipasi, baik melalui kaderisasi maupun penguatan peran pemuda dalam penyusunan kebijakan.
Ketiga, regulasi yang ketat terhadap disinformasi dan hoaks perlu diterapkan secara tegas. Media sosial sebagai ruang diskusi publik harus diawasi agar tidak menjadi alat propaganda yang merusak tatanan demokrasi. Dalam hal ini, teori agenda-setting yang dibawakan oleh McCombs dan Shaw menegaskan bahwa media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik. Dengan mengontrol arus informasi yang lebih sehat, generasi muda dapat memperoleh data yang akurat untuk mengambil keputusan politik yang rasional.
Keempat, pemberdayaan komunitas pemuda sebagai ruang diskusi dan aksi politik kolektif harus didukung. Alexis de Tocqueville dalam "Democracy in America" menyatakan bahwa kekuatan demokrasi terletak pada partisipasi aktif warganya dalam komunitas lokal. Dengan mendukung inisiatif pemuda di tingkat lokal, mereka dapat belajar berpolitik secara langsung dan membawa perubahan mulai dari akar rumput.
Generasi muda merupakan kekuatan besar yang dapat mengubah wajah politik Indonesia. Dengan idealisme dan semangat perubahan, mereka memiliki potensi untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif, adil, dan relevan dengan tantangan zaman.
Namun, untuk mewujudkan harapan tersebut, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, partai politik, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menciptakan ruang partisipasi yang lebih inklusif dan membangun kesadaran politik yang kuat. Hanya dengan demikian, demokrasi yang sehat dan berkelanjutan dapat tercapai.
Penulis: Mutiara Kasih (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)