Vox Populi, Vox Dei: Harapan Luhur di Tengah Manipulasi Realitas

Ungkapan "suara rakyat, suara Tuhan" sering kita dengar untuk menggambarkan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi.

Rabiatun Nisa. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Rabiatun Nisa

Ungkapan "suara rakyat, suara Tuhan" sering kita dengar untuk menggambarkan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi. Namun, apakah ungkapan ini benar-benar mencerminkan kebenaran mutlak? Ataukah hanya sekadar cita-cita luhur yang sulit diwujudkan?

Frasa ini berasal dari ungkapan Latin "Vox Populi", Vox Dei yang pertama kali dicatat oleh Alcuin dari York pada abad ke-8. Alcuin, yang saat itu menjadi penasihat Raja Charlemagne, justru memberikan peringatan bahwa suara rakyat tidak selalu mencerminkan kehendak Tuhan: "Jangan selalu anggap suara rakyat sebagai suara Tuhan, karena sering kali massa bisa terjebak dalam kegilaan."

Peringatan ini tetap relevan hingga saat ini, khususnya di era demokrasi modern. Meskipun suara mayoritas menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan, kenyataannya sering kali jauh dari sempurna. Informasi yang dimanipulasi, emosi massa, dan kepentingan tertentu kerap menutupi apa yang sebenarnya menjadi kehendak rakyat.

Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."

Ketentuan ini menegaskan bahwa keputusan politik harus berangkat dari kehendak rakyat.

Menurut Jean-Jacques Rousseau, seorang yang dikenal dengan teori kontrak sosialnya, kehendak umum "general will" adalah perwujudan tertinggi dari kepentingan rakyat. Jika diterapkan dengan benar, suara mayoritas dapat mencerminkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.

Sejarah telah memberikan bukti nyata tentang hal ini. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat pada tahun 1960-an menunjukkan bagaimana suara kolektif rakyat mampu mendorong perubahan sosial yang lebih adil.

Di Indonesia, Reformasi 1998 menjadi bukti nyata bahwa aspirasi rakyat dapat membawa perubahan besar. Dalam konteks ini, ungkapan "suara rakyat, suara Tuhan" tampak sesuai, karena aspirasi yang muncul mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang dekat dengan kehendak Tuhan.

Namun, tidak selalu demikian. Plato dalam "The Republic" telah memperingatkan risiko "tirani mayoritas," yaitu ketika kehendak mayoritas mengabaikan hak-hak minoritas atau menghasilkan keputusan yang tidak adil.

Di era modern, suara rakyat sering kali terjebak dalam hoaks, propaganda, dan manipulasi. Data Statista tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 70% pengguna internet di Indonesia pernah terpapar berita palsu, terutama tentang politik. Salah satu contohnya adalah referendum Brexit pada 2016 di Inggris. Banyak pemilih mengaku membuat keputusan tanpa pemahaman penuh tentang dampaknya.

Bahkan, studi dari London School of Economics (2019) menemukan bahwa 40% pemilih memilih keluar dari Uni Eropa karena informasi yang salah atau keputusan emosional, bukan berdasarkan pertimbangan rasional.

Hal ini menunjukkan bahwa suara rakyat tidak selalu mencerminkan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan atau kebenaran. Keputusan sering kali lebih didorong oleh emosi, kepentingan sesaat, atau popularitas semata.

Dalam pandangan agama, suara Tuhan adalah kehendak Ilahi yang mutlak dan tidak bergantung pada pendapat mayoritas. Imam Al-Ghazali pernah berkata: "Kebenaran bukanlah apa yang diinginkan mayoritas, tetapi apa yang sesuai dengan hukum-hukum Tuhan."

Pandangan ini sejalan dengan filsuf Immanuel Kant yang menekankan bahwa keputusan moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal, bukan kehendak mayoritas yang cenderung berubah-ubah.

Jadi, apakah "suara rakyat, suara Tuhan" itu benar? Jawabannya bergantung pada konteksnya. Frasa ini bisa menjadi kenyataan jika suara rakyat mencerminkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Namun, dalam praktiknya, sering kali hal tersebut jauh dari harapan. Demokrasi yang sehat membutuhkan pendidikan politik, media yang netral, dan pemimpin dengan visi yang jelas.

Seperti yang diungkapkan Abraham Lincoln, demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Namun, cita-cita ini hanya dapat terwujud jika suara rakyat didasari oleh kesadaran moral yang tinggi dan informasi yang benar, memang ini adalah tantangan yang berat. Namun, dengan demikian, demokrasi harus dijalankan dengan hati-hati agar kedaulatan rakyat tidak sekadar menjadi cita-cita, tetapi benar-benar membawa manfaat bagi semua pihak.

Penting bagi kita untuk memahami bahwa ungkapan Vox Populi, Vox Dei tidak hanya sekadar menjadi narasi idealis, tetapi juga perihal memikul tanggung jawab bersama bagi seluruh elemen masyarakat. Demokrasi bukanlah sekadar sistem politik yang mengutamakan suara mayoritas, melainkan sebuah mekanisme yang menuntut partisipasi aktif dan kesadaran moral dari setiap individu.

Rakyat hendaknya tidak sebatas pada memiliki hak untuk menyuarakan pendapat mereka, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara tersebut mencerminkan kepentingan kolektif yang berbasis pada keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan, dan itu harusnya menjadi catatan atau benang merah.

Pendidikan politik menjadi kunci utama untuk mewujudkan tanggung jawab bersama ini. Rakyat perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis sehingga mereka dapat memilah informasi yang benar dan memahami konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil.

Selain itu, media sebagai pilar keempat demokrasi juga memiliki peran strategis dalam menyediakan informasi yang objektif dan berimbang. Media yang netral dan independen dapat membantu menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat, di mana rakyat dapat menyuarakan aspirasi mereka dengan didasarkan pada data yang valid dan akurat.

Lebih jauh, para pemimpin politik juga memikul tanggung jawab moral untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang bersih dan transparan. Dengan sinergi antara rakyat, media, dan pemimpin, Vox Populi, Vox Dei dapat terwujud sebagai realitas, bukan sekadar idealisme yang sering kita gaungkan disaat genting. (*)

Penulis: Rabiatun Nisa (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Langgam.id - KPK RI menetapkan Nagari Kamang Hilia, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam masuk 10 besar Desa Antikorupsi 2022.
Mencegah Korupsi Sejak Dini: Pentingnya Peran Pendidikan
Sebelum memahami hubungan antara misionarisme, orientalisme, dan kolonialisme, penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan masing
Dinamika Tiga Poros: Misionarisme, Orientalisme, dan Kolonialisme di Dunia Timur
Stop Korupsi, Bangun Perilaku Antikorupsi Demi Masa Depan yang Lebih Baik
Stop Korupsi, Bangun Perilaku Antikorupsi Demi Masa Depan yang Lebih Baik
Integritas Kepemimpinan Mahatma Gandhi: Panduan Bagi Pemimpin Masa Kini
Integritas Kepemimpinan Mahatma Gandhi: Panduan Bagi Pemimpin Masa Kini
Pentingnya Pendidikan Integritas Sejak Dini
Pentingnya Pendidikan Integritas Sejak Dini
Pengumuman darurat militer yang tiba-tiba terjadi di Korea Selatan beberapa waktu lalu menarik perhatian dunia internasional, termasuk
Refleksi Ketangkasan Legislatif: Pelajaran dari Korea Selatan untuk DPR RI