Mahatma Gandhi dikenal sebagai simbol kepemimpinan yang mengedepankan integritas dan etika. Prinsip prinsip yang ia perjuangkan selama perjuangannya untuk kemerdekaan India menjadi pelajaran penting dalam dunia kepemimpinan. Gandhi menekankan bahwa pemimpin yang sejati tidak perlu menggunakan kekerasan atau kekuasaan yang menindas.
Gandhi percaya bahwa kepemimpinan yang bagus harus didasarkan pada cinta, kesederhanaan, dan keteguhan pada nilai-nilai moral yang benar. Di tengah banyaknya pemimpin yang terjebak dalam korupsi dan ketidakadilan, nilai-nilai yang diajarkan Gandhi sangat bagus untuk dijadikan panduan. Terutama kita sedang berada di era yang penuh dengan ketidakpastian, di mana banyak orang mulai meragukan kemampuan para pemimpin untuk membawa perubahan positif.
Mahatma Gandhi sangat dikenal dengan prinsip prinsip etika yang menjadi dasar kepemimpinannya. Nilai nilai seperti kejujuran, anti kekerasan (ahimsa), kesederhanaan, dan komitmen terhadap kebenaran (satya) adalah sebuah prinsip dalam setiap tindakannya. Kejujuran bagi Gandhi bukan hanya sekadar berkata jujur, tetapi juga berlaku adil dan transparan dalam segala hal. Konsep ahimsa, atau non-kekerasan, mengajarkan bahwa perjuangan yang dilakukan tidak boleh mengandalkan kekerasan, melainkan harus dengan cara damai dan penuh kasih sayang.
Contohnya ketika Gandhi memimpin perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Inggris melalui aksi mogok makan dan kampanye non-kooperasi, Gandhi tetap menghindari kekerasan meski mendapat tekanan. Ia tidak hanya berbicara tentang keadilan, tetapi juga membuktikannya dalam tindakan. Gandhi juga menekankan hidup sederhana sebagai bentuk kedekatannya dengan rakyat dan untuk menghindari kehidupan yang serba materi dan berlebihan. Gandhi menunjukkan pengorbanan yang besar untuk tetap konsisten dengan prinsip moralnya.
Salah satunya adalah ketika ia memilih untuk meninggalkan gaya hidup mewah yang sempat ia nikmati, dan memilih hidup sederhana dengan pakaian dari kain yang dipintal sendiri. Ini adalah bentuk komitmennya untuk tidak terikat pada kemewahan dan untuk lebih dekat dengan rakyat jelata yang hidup dalam kesederhanaan. Saya melihat pengorbanan semacam ini sebagai contoh integritas yang sejati.
Gandhi mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang baik tidak hanya berbicara tentang nilai moral, tetapi juga siap mengorbankan kenyamanan pribadi untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Prinsip ini sangat relevan bagi kita yang ingin menjadi pemimpin yang tidak hanya berbicara, tetapi juga berbuat dengan hati yang tulus. Yang menjadi pilar penting dalam filosofi Gandhi adalah komitmennya terhadap kebenaran, yang ia sebut sebagai satya.
Gandhi percaya bahwa setiap keputusan yang diambil seorang pemimpin harus didasarkan pada kebenaran dan keadilan, meskipun hal itu kadang kadang membawa kesulitan. Dan dalam setiap langkah perjuangannya, Gandhi selalu menempatkan prinsip moral di atas keuntungan pribadi atau kepentingan politik. Ia percaya bahwa seorang pemimpin sejati harus berpegang pada nilai nilai moral yang kuat, bahkan jika harus mengorbankan kepentingan diri sendiri atau ambisi politik.
Kepemimpinan yang baik tidak hanya diukur dari kemampuan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan, tetapi juga dari sejauh mana ia dapat mempertahankan etika dan prinsip yang benar dalam setiap tindakannya. Kepercayaan adalah hal yang sangat rapuh dan mudah hilang jika pemimpin tidak jujur dan tidak konsisten dengan prinsip-prinsipnya.
Meskipun zaman sudah berubah, etika kepemimpinan yang mengutamakan kejujuran dan integritas tetap menjadi kunci dalam membangun hubungan yang kuat antara pemimpin dan rakyat. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga untuk kita semua yang ingin menjadi pemimpin di masa depan. Pemimpin masa kini harus lebih berani untuk bertindak sesuai dengan prinsip moral, meskipun itu berarti harus menghadapi tekanan atau tantangan besar.
Di tengah dunia yang semakin kompleks dan penuh godaan, banyak pemimpin cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau politis demi menghindari konflik atau untuk mempertahankan kekuasaan. Kita harus ingat keberanian untuk tetap teguh pada nilai nilai yang benar adalah hal yang sangat dibutuhkan. Pemimpin yang berani menegakkan kejujuran, keadilan, dan integritas akan mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari masyarakat.
Di sinilah peran penting pemimpin masa depan, kepemimpinan bukan hanya soal mengambil keputusan yang mudah atau yang menguntungkan, tetapi tentang mempertahankan prinsip yang adil dan membawa dampak positif bagi banyak orang. Kita harus mulai berani menunjukkan bahwa etika dan moralitas tetap menjadi hal utama dalam setiap langkah kepemimpinan. Dan kita harus bisa mendorong para pemimpin kita untuk lebih berani bertindak sesuai prinsip moralnya, agar kita dapat menciptakan perubahan yang lebih baik.
Para pemimpin kita perlu diingatkan untuk tidak melupakan nilai-nilai dasar yang telah terbukti membangun kepemimpinan yang bagus dan dihormati, seperti yang ditunjukkan oleh Mahatma Gandhi. Gandhi mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah soal kekuasaan atau jabatan, tetapi tentang kejujuran, kesederhanaan, dan keteguhan pada prinsip moral.
Nilai-nilai ini membuatnya dihormati tidak hanya oleh pengikutnya, tetapi juga oleh dunia. Dalam perjuangannya, Gandhi selalu mengutamakan kebenaran (satya) dan non-kekerasan (ahimsa), bahkan ketika menghadapi tantangan yang sangat besar. Saya percaya bahwa nilai-nilai seperti ini masih relevan hingga kini.
Dalam dunia yang sering kali dikuasai oleh ambisi dan kepentingan pribadi, pemimpin yang memegang teguh prinsip keadilan dan integritas akan menjadi cahaya harapan bagi masyarakat. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu bertindak dengan tulus demi kebaikan bersama.
Di akhir tulisan ini, saya ingin menyerukan kepada semua pemimpin, baik yang sekarang maupun masa depan, untuk meneladani nilai nilai dasar yang diajarkan oleh Gandhi. Jangan abaikan kejujuran, moralitas, dan komitmen untuk melayani masyarakat. Dengan kembali ke nilai-nilai ini, kita bisa menciptakan dunia yang lebih adil dan penuh kepercayaan.
*Penulis: Giska Amelia Irvi (Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)