Oleh: Nayla Shafwa Meldi
Pengumuman darurat militer yang tiba-tiba terjadi di Korea Selatan beberapa waktu lalu menarik perhatian dunia internasional, termasuk masyarakat Indonesia. Kejadian ini menjadi sorotan tidak hanya karena konfliknya, tetapi juga karena respons cepat yang ditunjukkan oleh parlemen Korea Selatan.
Dalam kurun waktu kurang dari enam jam, status darurat militer tersebut dicabut karena dianggap tidak sah oleh parlemen. Ketua Parlemen Korea Selatan, Woo Won-Shik, menegaskan bahwa pengumuman tersebut dilakukan secara sepihak oleh Presiden Yoon Suk Yeol.
Tak lama setelah pengumuman itu, parlemen bergerak cepat menuju gedung majelis untuk mengadakan sidang darurat. Mereka segera merumuskan keputusan yang relevan demi melindungi kepentingan publik dan mencegah potensi krisis yang lebih besar. Efisiensi dan ketangkasan seperti ini menunjukkan bagaimana lembaga legislatif dapat berfungsi dengan optimal dalam menghadapi situasi darurat, tanpa mengorbankan kualitas pengambilan keputusan.
Peristiwa tersebut menjadi cermin yang menarik untuk membandingkan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia, yang kerap kali dinilai lamban dalam merespons situasi genting. Contoh nyata dari hal ini adalah penanganan pandemi Covid-19.
Di saat regulasi cepat sangat dibutuhkan, pembahasan di DPR justru berlarut-larut dan tidak memberikan hasil yang memadai. Selama lebih dari satu setengah tahun pandemi, DPR hampir tidak menghasilkan undang-undang yang komprehensif terkait penanganan pandemi. Fungsi pengawasan dan pengelolaan anggaran juga dinilai tidak maksimal.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) bahkan mengkritik bahwa DPR gagal hadir bersama rakyat pada saat-saat krisis yang paling membutuhkan kehadiran legislatif. Hambatan yang muncul sering kali bersumber dari konflik kepentingan politik yang memperlambat pengambilan keputusan dan mengurangi efektivitas pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan, serta penganggaran.
Sebaliknya, respons cepat parlemen Korea Selatan menunjukkan komitmen mereka terhadap kedisiplinan politik, efisiensi, dan pemahaman yang mendalam terhadap prioritas dalam situasi darurat. Dalam kondisi kritis, waktu adalah aset yang sangat berharga, dan setiap detik yang terlewatkan dapat menimbulkan dampak signifikan terhadap rakyat maupun krisis yang sedang berlangsung.
Dengan memprioritaskan kepentingan publik, parlemen Korea Selatan berhasil menunjukkan bahwa mereka adalah institusi legislatif yang benar-benar berfungsi sebagai garda depan dalam menjaga stabilitas nasional.
Di sisi lain, DPR RI sering kali lebih responsif terhadap agenda-agenda yang tidak selalu menjadi prioritas kebutuhan rakyat. Sebagai contoh, pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan dengan sangat cepat karena adanya tekanan, meskipun banyak krisis nasional lainnya, seperti bencana alam atau ancaman keamanan, yang juga membutuhkan respons legislatif yang cepat dan terarah.
Kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa DPR lebih mengutamakan agenda tertentu yang bersifat politis daripada kebutuhan mendesak masyarakat. Politisasi agenda legislatif ini memperlihatkan kurangnya kesadaran DPR terhadap fungsi strategisnya dalam menghadapi tantangan nasional.
DPR RI memerlukan reformasi mendalam untuk meningkatkan kapasitasnya dalam manajemen krisis. Dalam teori Decision-Making Under Stress, kita diberitahu bahwa pentingnya kemampuan adaptif, pengambilan tindakan cepat, dan fokus pada hasil relevan dalam situasi darurat.
Dengan mengadopsi teori di atas, DPR dapat belajar untuk merespons secara lebih tanggap terhadap krisis. Di samping itu, teori Institutional Change oleh North menggarisbawahi perlunya perubahan bertahap dalam kelembagaan untuk menciptakan sistem yang lebih efektif. Reformasi ini tidak hanya terkait dengan struktur organisasi, tetapi juga budaya kerja dan komitmen terhadap kepentingan publik.
Untuk menjadi lembaga yang tanggap, DPR perlu menanamkan etos kerja yang disiplin, efisiensi dalam pengambilan keputusan, serta komitmen untuk selalu belajar dari pengalaman masa lalu. Sebagai perwakilan rakyat, DPR harus mampu menunjukkan keberpihakan yang jelas kepada masyarakat, terutama dalam situasi darurat yang membutuhkan kehadiran legislatif. Tanpa komitmen untuk berubah, sulit membayangkan bagaimana DPR dapat menjalankan peran strategisnya secara maksimal di masa depan.
Ketangkasan dan kedisiplinan yang ditunjukkan oleh parlemen Korea Selatan dapat menjadi contoh konkret bagi DPR RI untuk berbenah. Dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama, DPR dapat memperkuat fungsinya sebagai institusi legislatif yang tidak hanya proaktif, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Momentum ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan, sehingga DPR tidak lagi hanya menjadi forum diskusi politik, tetapi juga menjadi institusi yang benar-benar hadir bagi rakyat di saat-saat genting.
Oleh karena itu, mari jadikan pengalaman ini sebagai pembelajaran berharga. Dengan reformasi dan komitmen terhadap perubahan, DPR RI dapat mewujudkan pemerintahan yang lebih tanggap, efisien, dan berpihak kepada rakyat. Respons cepat parlemen Korea Selatan bukan hanya inspirasi, tetapi juga tantangan untuk meningkatkan kinerja legislatif di Indonesia agar lebih relevan dan adaptif terhadap kebutuhan zaman. (*)
Penulis: Nayla Shafwa Meldi (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)