Oleh: Habibur Rahman
Harta pusaka tinggi merupakan salah satu elemen penting dalam struktur adat Minangkabau, karena berfungsi sebagai warisan turun-temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagaimana dikatakan dalam falsafah adat Minangkabau, "dari niniak ke mamak, dari mamak turun ke kamanakan", harta ini menjadi simbol keberlanjutan dan identitas kaum.
Pada prinsipnya, harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang diatur oleh adat. Hal ini menunjukkan komitmen masyarakat Minangkabau terhadap pelestarian aset bersama yang menjadi pilar stabilitas sosial dan ekonomi.
Harta pusaka tinggi umumnya diperoleh dari hasil jerih payah nenek moyang, seperti kegiatan membuka lahan atau dalam istilah masyarakat Minangkabau dikenal dengan (mamancang dan malateh). Jenis harta ini meliputi sawah, ladang, atau tanah perumahan yang dikelola bersama oleh anggota kaum untuk meningkatkan kesejahteraan kolektif, khususnya para anak kemenakan.
Dalam sistem matrilineal Minangkabau, mamak sebagai pemimpin kaum memegang peranan penting dalam mengelola dan menjaga keberlanjutan harta pusaka ini. Tidak hanya sebagai kebanggaan suku, harta pusaka juga mencerminkan status sosial suatu kaum. Semakin banyak harta yang dimiliki, semakin tinggi pula penghormatan yang diberikan oleh masyarakat sekitar. Sebaliknya, kaum yang kehilangan atau tidak memiliki harta pusaka akan mengalami penurunan status sosial.
Secara adat, prinsip utama pengelolaan harta pusaka adalah menjaga agar aset ini tetap utuh, tidak berkurang, dan terus diwariskan kepada generasi mendatang. Namun, pada kenyataannya, tantangan modernitas telah mengakibatkan terjadinya penyusutan harta pusaka. Salah satu faktor penyebabnya adalah praktik penggadaian, yang meskipun diperbolehkan oleh adat, berpotensi menimbulkan risiko hilangnya hak atas tanah.
Dalam konteks ini, penggadaian dilakukan dengan memberikan aset seperti sawah atau ladang kepada pihak kedua sebagai jaminan atas pinjaman emas atau uang. Selama utang belum dilunasi, hak pengelolaan tetap berada di tangan pihak kedua. Adat menetapkan bahwa proses ini harus melalui persetujuan mamak sebagai pemimpin kaum. Tanpa persetujuan tersebut, transaksi penggadaian dianggap tidak sah.
Pengurangan harta pusaka juga dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah anggota keluarga, yang memerlukan lahan tambahan untuk permukiman. Meskipun mamak tetap memiliki wewenang untuk menentukan lokasi permukiman baru, perubahan sosial di daerah perkotaan telah menggeser peran ini.
Di wilayah perkotaan, kepemilikan tanah tidak lagi berbasis kolektif seperti di desa, melainkan telah beralih menjadi milik individu. Hal ini mengakibatkan peran mamak dalam pengelolaan tanah semakin terbatas, hanya sebatas pemberitahuan atau dukungan simbolis, sementara anak kemenakan cenderung mengandalkan diri sendiri.
Lebih lanjut, mamak juga memainkan peran penting dalam penyelesaian perselisihan yang berkaitan dengan harta pusaka. Perselisihan dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti konflik internal kaum atau sengketa dengan pihak luar, misalnya ketika pemerintah hendak menggunakan tanah pusaka untuk proyek pembangunan. Dalam kasus seperti ini, mamak bertindak sebagai mediator yang akan bermusyawarah dengan anggota kaum untuk mencapai kesepakatan.
Sayangnya, pada masa kini, degradasi nilai adat dan melemahnya peran mamak telah menyebabkan banyak harta pusaka diperjualbelikan secara bebas. Fenomena ini terutama terjadi di kawasan pinggir jalan atau daerah yang mengalami urbanisasi, di mana tingginya nilai ekonomi tanah menggoda para pemilik untuk melepas aset mereka. Kehilangan harta pusaka ini mencerminkan pergeseran nilai budaya di tengah tekanan modernitas dan globalisasi.
Dalam kajian antropologis, teori fungsi sosial dari Emile Durkheim dapat digunakan untuk memahami pentingnya harta pusaka sebagai alat solidaritas kolektif. Durkheim menekankan bahwa struktur sosial tradisional bertumpu pada praktik kolektivitas yang memelihara integrasi sosial. Ketika aset seperti harta pusaka berfungsi sebagai simbol kebersamaan dan identitas bersama, pelepasan atau hilangnya aset ini dapat memicu disintegrasi sosial.
Sementara itu, teori perubahan sosial dari Anthony Giddens seorang sosiolog Inggris yang terkenal karena teori strukturasi dan pandangan menyeluruh tentang masyarakat modern, pernah menyoroti bagaimana modernitas dan urbanisasi membawa transformasi struktural yang memengaruhi pola relasi sosial, yang mana dalam hal ini memiliki relevansi dengan pengelolaan aset kolektif seperti harta pusaka.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Minangkabau untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian nilai-nilai adat dengan tuntutan perkembangan zaman. Penguatan kembali peran mamak, reformasi adat yang relevan, dan peningkatan kesadaran generasi muda terhadap pentingnya harta pusaka adalah langkah-langkah strategis untuk memastikan warisan budaya ini tetap terjaga dan relevan di masa mendatang.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.