Konservatif dan Sentimen Membuat Islam Tidak Progresif?

Islam pernah mencapai puncak kejayaan yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam pada abad ke-8 hingga abad ke-13. Pada masa itu, dunia Islam

Yuwanda. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Yuwanda

Islam pernah mencapai puncak kejayaan yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam pada abad ke-8 hingga abad ke-13. Pada masa itu, dunia Islam menjadi pusat kemajuan ilmu pengetahuan, budaya, dan ekonomi.

Ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina dengan filsafat dan kedokterannya, Ibnu Rusyd dengan pemikiran filsafatnya, serta Imam Al-Ghazali dengan teologinya adalah beberapa contoh tokoh besar yang menjadikan peradaban Islam sebagai kiblat ilmu pengetahuan dunia.

Namun, realitas umat Islam saat ini menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sebagian besar umat Islam terlihat tidak siap menerima pembaharuan yang datang, baik dari pemikir Muslim maupun dari orientalis, yaitu para sarjana Barat yang mengkaji dunia Islam.

Ketidaksiapan ini disebabkan oleh salah satu faktor mendasar, yakni konservatisme. Konservatisme adalah sikap yang terlalu mempertahankan kebiasaan dan tradisi tanpa mempertimbangkan perubahan zaman. Meski sikap ini tidak sepenuhnya salah, penerapannya yang berlebihan justru menghambat umat Islam untuk berkembang.

Kehidupan modern terus bergerak maju dengan segala kompleksitas sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi, tetapi banyak umat Islam masih terpaku pada pola pikir lama. Hal ini terjadi karena sebagian besar umat Islam menjadi Muslim hanya karena faktor warisan, bukan karena pencarian kebenaran atau pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam.

Pengalaman saya sebagai mahasiswa menjadi contoh nyata bagaimana sikap konservatif ini muncul dalam lingkungan akademik. Dalam sebuah kelas, ketika dosen menjelaskan surah Al-Baqarah ayat 2, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” beliau menafsirkan ayat tersebut secara literal tanpa memberikan konteks sebab turunnya ayat atau relevansinya dalam kehidupan.

Ketika saya mencoba mengutarakan pandangan berbeda dengan pendekatan skeptis, saya justru dibatasi. Padahal, skeptisisme dalam filsafat adalah metode untuk menguji kebenaran suatu klaim.

Teori Karl Popper, misalnya, menjelaskan pentingnya falsifikasi dalam proses pencarian kebenaran, di mana setiap klaim harus diuji melalui keraguan untuk mendapatkan validitasnya.

Pendekatan skeptis terhadap ayat tersebut, seperti mempertanyakan mengapa Al-Qur’an tidak boleh diragukan atau apa kebenaran yang terkandung di dalamnya, justru merupakan upaya mendalami maknanya, bukan untuk menyangkal keimanannya.

Namun, respons dosen dan mahasiswa lainnya menunjukkan masalah lain: diamnya mahasiswa bisa diartikan sebagai bentuk persetujuan terhadap pandangan konservatif, ketidakmampuan berpikir kritis, atau bahkan ketakutan untuk membahas hal-hal yang dianggap sensitif seperti Al-Qur’an.

Ketakutan ini menggambarkan pola pikir umat Islam secara umum, di mana perbedaan pandangan sering kali dianggap sebagai ancaman. Akibatnya, tidak ada ruang untuk diskusi yang sehat, dan perkembangan pemikiran menjadi terhambat.

Pengalaman lain yang saya alami sebagai garin di Musala juga menunjukkan pola pikir eksklusif di kalangan umat Islam. Jamaah musala yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok tarbiyah kerap menunjukkan sikap sentimentil terhadap kelompok lain, seperti Muhammadiyah.

Ketika saya membaca buku “Tasawuf Modern” karya Buya Hamka, mereka menegur saya hanya karena penulisnya berasal dari Muhammadiyah. Sikap seperti ini mencerminkan ketidaksiapan untuk menerima perbedaan sebagai peluang memperkaya wawasan.

John Hick, seorang Teolog kelahiran Scarborough, Yorkshire Utara, Inggris, menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah cara untuk memahami bahwa perbedaan dalam interpretasi agama mencerminkan keragaman perspektif terhadap nilai-nilai universal. Oleh karena itu, membaca buku dari berbagai perspektif justru dapat memperluas pengetahuan kita, bukan sebaliknya.

Masalah ini tidak hanya terletak pada individu, tetapi juga pada pola pikir kolektif umat Islam. Ketika pembaharuan datang, sering kali responsnya adalah penolakan tanpa argumen yang logis.

Edward Glaser, salah satu tokoh yang mempopulerkan teori "critical thinking", menjelaskan bahwa berpikir kritis melibatkan analisis, evaluasi, dan pengembangan argumen berdasarkan bukti, sejatinya apabila ada pendekatan ini di tengah-tengah umat islam seharusnya dapat menyikapi pembaharuan secara lebih bijaksana, bukan dengan penolakan mentah-mentah.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk membuka diri terhadap pemikiran baru. Menutup diri dari pembaharuan bukan hanya bentuk kebodohan, tetapi juga menunjukkan ketakutan yang tidak beralasan terhadap tantangan intelektual.

Jika umat Islam ingin kembali ke masa kejayaannya, mereka harus mampu menerima perubahan dengan sikap kritis dan argumentasi yang kuat. Perbedaan pandangan tidak seharusnya dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk memperkuat pemahaman dan membangun peradaban yang lebih maju.

Dengan demikian, umat Islam dapat menghadapi tantangan zaman dengan lebih baik, tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai yang menjadi inti ajaran Islam.

Penulis: Yuwanda (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Orientalisme telah lama menjadi topik diskusi dalam kajian keislaman, terutama ketika dikaitkan dengan motif-motif politik dan misionaris
Kritik Orientalisme: Membongkar Bias Barat terhadap Dunia Islam
Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian,
OTT Itu Penting: Sebuah Bantahan untuk Capim KPK Johanis Tanak
Pada tahun 2024 ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar di 10.846 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah pemilih
Menolak Politik Uang: Menjaga Integritas Demokrasi di Sumatra Barat
Konsep multiverse atau "alam semesta jamak" telah lama menarik perhatian ilmuwan dan filsuf sebagai cara untuk memahami potensi keberadaan
Multiverse: Dimensi Paralel dalam Sains dan Budaya Populer
Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh
Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat
Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat
Amarah Tan Malaka: Umpatan dalam Bahasa Minang kepada Kolonial Belanda