"Dalam Bungo Lado, uang yang diberikan berupa sedekah, sifatnya suka rela," tutur Rasul Hamidi Tuanku Sidi, seorang tuanku nagari di Parit Malintang dalam film dokumenter berjudul Bungo Lado.
Dalam film berdurasi lebih kurang 22 menit tersebut, Bungo Lado disebutkan sebagai sebuah tradisi yang dilakukan dalam rangkaian peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di daerah Kabupaten Padangpariaman, Sumatra Barat.
Tradisi Bungo Lado adalah cara mengumpulkan sedekah oleh masyarakat setempat, uniknya, uang sedekah tersebut digantung pada sebuah ranting kayu selama lebih kurang satu minggu jelang peringatan hari kelahiran Rasul.
Di Nagari Parit Malintang, setiap korong memiliki Bungo Lado masing-masing, nantinya Bungo Lado tersebut akan dikumpulkan di masjid nagari saat hari puncak peringatan Maulid Nabi.
Film karya Andri Maijar itu seolah ingin menyampaikan betapa Minangkabau memiliki keragaman tradisi, terutama yang berkaitan dengan keagamaan.
"Bungo Lado tidak hanya sebatas tradisi yang berkaitan dengan keagamaan, akan tetapi juga berkaitan dengan sosial kemasyarakatan," ujar Andri.
Tradisi tersebut, menurutnya tidak hanya digunakan untuk bersedekah, akan tetapi melalui tradisi ini setiap masyarakat akan saling berlomba untuk berbuat kebaikan.
Dipajangnya seluruh uang yang terkumpul bukan semata bertujuan untuk memamerkan pada masyarakat banyak, akan tetapi hal itu merupakan bentuk transparansi oleh panitia yang bertugas mengumpulkan uang.
Hal itu ditekankan oleh Rasul Tuanku Sidi pada menit-menit terakhir film tersebut, dipajang maupun diumumkan, tidak bertujuan untuk bersifat riya dan bukan berdasarkan permintaan orang yang bersedekah.
Tradisi mulai ada semenjak tahun 1970 an. Sebelumnya, pengumpulan sedekah menggunakan tabuik, akan tetapi karena semakin berkurangya orang yang memiliki kepandaian membuat tabuik, maka diganti kepada ranting kayu yang kemudian disebut dengan Bungo Lado.
Lain dengan Andri Maijar yang memilih tradisi, Elfit Fahriansyah lebih memilih isu lingkungan untuk diangkat ke dalam film dokumenter.
Hutan Adat adalah judul yang dipilihnya untuk menceritakan bagaimana masyarakat Nagari Paru Kabupaten Sijunjung dengan kesadaran sendiri menjaga hutan sebagai bagian dari masyarakat adat.
Melalui film tersebut, Elfit menyampaikan kelestarian hutan yang dilindungi oleh aturan adat, akan terjaga dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia, sebab akan ada sanksi tegas bagi yang melanggar.
Berbicara tentang isu lingkungan, pada film tersebut Elfit memperlihatkan bagaimana hutan yang dijaga bersama-sama dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Sebelum bercerita tentang hutan adat yang dikelola masyarakat, pada bagian awal film ia menampilkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan liar pada salah satu sungai di kabupaten yang sama.
Sayangnya, dalam film ini Elfit mengambil perbandingan antara hutan dengan sungai, sementara sungai yang mengalami kerusakan tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan hutan, melainkan akibat aktivitas penambang liar.
Sekalipun demikian, sebuah kontradiksi terlihat sangat jelas dari dua bagian tersebut, sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi penonton apakah akan menjaga atau merusak lingkungan.
Sementara alasan di balik produksi film berdurasi 31 menit tersebut lantaran keunikan yang ada pada masyarakat Nagari Paru.
Sebenarnya, kata Elfit, masyarakat bisa saja memanfaatkan beragam jenis kayu yang tersimpan di dalam hutan, akan tetapi karena adanya aturan adat, akhirnya tidak ada satu pun masyarakat yang berani menebang pohon.
Tak tanggung-tanggung, menurutnya, sanksi bagi masyarakat yang melanggar aturan adat tersebut adalah satu ekor sapi untuk satu batang pohon, sehingga hingga saat ini hutan yang menjadi sumber kehidupan tersebut tetap bertahan.
Lois Giannetti pada buku Understanding Movie menuliskan, film dokumenter ialah film yang berurusan dengan fakta, baik itu manusia, tempat maupun peristiwa.
Menurut professor yang mengajar perfilman di Case Western Reverse University itu, para pembuat film dokumenter percaya mereka menciptakan film sebagaimana adanya.
Pada film Bungo Lado, misalnya, Andri sengaja menunggu momen pelaksanaan peringatan Maulid Nabi oleh masyarakat Parit Malintang, Padangpariaman.
Selain itu, tokoh-tokoh yang terlibat dalam film tersebut adalah pihak-pihak yang menjadi pelaku dalam tradisi Bungo Lado, seperti wali korong, ulama serta masyarakat.
Lokasi yang digunakan pun berada di Nagari Parit Malintang, sebab dalam pengambilan gambar ia terus mengikuti rangkaian prosesi, mulai dari pengambilan ranting kayu, pengumpulan uang hingga puncak peringatan Maulid Nabi yang dilaksanakan di masjid nagari.
Tidak berbeda dengan Andri, Elfit yang mengambil tema hutan adat pun demikian, beberapa tokoh yang ada dalam filmnya adalah mereka yang sehari-hari berurusan dengan hutan adat, salah satunya ialah Tuo Rimbo yang dipercaya menjadi penjaga kawasan hutan tersebut.
Selain dua film dokumenter sebelumnya, film ketiga yang ditayangkan pada ujian tugas akhir Pascasarjana ISI Padang Panjang pada Rabu Malam (6/2/2019) itu bertajuk perempuan Minangkabau.
Sebuah film fiksi karya Ella Angel tersebut bercerita tentang kehidupan seorang perempuan di Minangkabau dengan tokoh Kawa.
Pada sebuah rumah gadang di Nagari Sumpu Batipuh yang dijadikan lokasi pengambilan gambar, diperlihatkan bahwa jati diri seorang perempuan Minang berangkat dari pendidikan nonformal di lingkungan rumah tangga.
Film yang hanya melibatkan empat orang pemain tersebut, memiliki banyak pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol, baik itu simbol yang dihadirkan melalui laku, dialog tokoh serta setting properti.
Sementara itu, alasan Ella memilih perempuan Minang sebagai tema film berdurasi 18 menit itu berangkat dari fenomena perempuan Minang yang pergi merantau.
Beberapa dari mereka beranggapan bahwa rantau merupakan tempat untuk merubah nasib. Akan tetapi di balik itu ada keresahan dari seorang ibu ketika anak gadisnya pergi merantau.
"Siapa yang akan menggantikannya sebagai bundo kanduang di rumah gadang dan bagaimana nasib rumah gadang jika tiangnya sudah tidak ada," kata Ella.
Pentingnya posisi perempuan di Minangkabau diibaratkan dengan tiang rumah gadang, sebagai penyangga utama, dengan kata lain perempuan adalah sosok penting yang akan menjaga kelestarian adat dan budaya.
"Ndak ado padusi Minang nan pai marantau," dialog sosok ibu pada bagian ketika Kawa meminta izin untuk pergi merantau.(SR)