Oleh: Maichel Firmansyah
Politik hadir sebagai wujud dari distribusi keadilan bagi masyarakat. Apabila dia tidak berjalan maka ada patologi politik yang merusak dari demokrasi Indonesia.
Patologi politik dapat diartikan sebagai sebuah penyakit yang terjadi dari perpolitikan, sehingga hal itu tidak sesuai dengan konstitusi yang ada, menyebabkan rusaknya moral, karena politik juga wujud dari moral bangsa.
Semakin buruk dunia politik berjalan oleh para aktornya, maka merepresentasikan rusaknya moral. Hal ini yang harus di perhatikan secara kompleks dan menyeluruh, karena bicara politik Indonesia maka dia bicara rakyat, karena demokrasi menjadikan rakyat sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dengan istilah kedaulatan berada di tangan rakyat.
Rusaknya iklim politik tidak hanya terjadi pada tiap proses pelaksanaan Pemilu, namun output dari hasil pemilu yaitu pejabat yang lahir dari proses pemilu, serta kebijakan (decision making) sebagai outcame bagi masyarakat menjadi satu kesatuan yang inheren di dalamnya untuk dapat dilihat.
Maka melihat itu dengan patologi politik. Apa itu patologi politik, maka dia adalah suatu ilmu yang mempelajari sebuah sakit yang timbul dari politik, yang melahirkan ihwal yang rusak, dapat terlihat dari adanya korupsi, nepotisme, serta perilaku pejabat atau penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Maka dia tidak jauh dari itu, sehingga outcame dari hal itu akan menyebabkan masyarakat akan tertindas dan diperlakukan tidak adil.
Berjalannya waktu, pasca terlaksananya pemilu sejak era reformasi, maka rusaknya moral bangsa disebabkan oleh pemimpin yang tidak pro rakyat. Hal ini menjadi deviasi dari amanah yang diberikan rakyat kepadanya.
Kondisi ini disebabkan bukan tanpa desain, semua ini dilakukan demi hasrat dan nafsu untuk menguasai. Hasrat dan keinginan yang bergejolak untuk memiliki kekuasaan akhirnya melahirkan cacat pemerintah dan cacat birokrasi.
Sebab dasar kekuasaan itu dapati bukan didasari oleh asas meritokrasi, tapi diperoleh lewat jaringan politik atau kedekatan emosional. Hadits “apabila suatu perkara tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran".
Pertanyaannya, sudahkan lembaga negara eksekutif, legislatif dan yudikatif diisi oleh mereka yang ahlinya? Jawabannya dapat lihat dari apakah kepemimpinan moral yang dilaksanakan atau kepentingan individu dan kelompok. Hal itu dapat terlihat dari hasil kebijakan dan keputusan-keputusan pemerintahan atau politik.
Maka hal ini yang menurut penulis menjadi salah satu cikal bakal dari lahirnya patologi politik. Jika proses yang dijalankan Pemilu tidak sesuai prinsip dan moral, maka yang lahir dari itu adalah pemimpin yang cacat moral dan decision making yang keluar bukan pro rakyat.
Maka pemimpin yang lahir dari proses demokrasi yang tidak bermoral akan dapat juga dilihat dari buruknya perilaku politik. Dimulai dari interaksi individu dengan kelompok dan negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang terjalin dengan tidak mengedepankan nilai-nilai, norma kebaikan, hidup rukun bertetangga, moral, hak milik, kebaikan, hukum formal dan lainnya.
Bila asas norma dan nilai universal ini tidak terjalin, seyogyanya akan melahirkan dari tindakan-tindakan sebaliknya, yang akhirnya melahirkan penyakit politik, yang merusak negara, pemerintah dan rakyat. Perilaku politik ini disebut dengan patologi politik, di mana maraknya penyakit politik seperti politik uang, kampanye hitam, curi star kampanye, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme serta masih banyak yang lainnya.
Produk dari itu akan melahirkan pemimpin yang rusak, membuat rusak tatanan politik (stabilitas politik) dan moral politik oleh aktor-aktor politik ini. Alhasil kausalitas terhadap sedikit demi sedikit merusaknya moral bangsa.
Masyarakat dan generasi penerus menjadi amoral hari ini apabila ada para pemimpin, birokrasi dan aktor politiknya menjalankan praktek-praktek politik yang tidak sesuai dengan konstitusi atau nilai dan norma kebaikan, jauh dari kata moral. Sehingga hasil dari demikian itu tentu melahirkan pemimpin yang juga tidak menjalankan aspirasi rakyat dan moral (non moral leadership).
Pemimpin yang diharapkan bukan hanya sekedar mengurusi persoalan administrasi dan teknis, akan tetapi pemimpin yang diharapkan dia lahir dan tumbuh dengan dasar kepemimpinan moral, menggunakan hati bukan hanya pikiran. Yaitu yang mengedepankan nilai-nilai kebaikan, solidaritas, keadilan, kepentingan bersama dan lainnya.
Kepemimpinan moral tak sekadar menjunjung tinggi norma-norma etik, tetapi juga cara pengambilan keputusan dan memilih kebijakan, yang mengedepankan keadilan dan kemakmuran untuk semua (Longmire, 2024).
Pemimpin yang lahir dari proses demokrasi yang baik, maka dia akan menjadi pemimpin yang bermoral. Hal itu akan terlihat dari prinsip dan kinerjanya yang mengutamakan integritas, komitmen, kepentingan masyarakat, dan berani menahan dari kepentingan pribadi atau kelompok.
Proses Pemilu/Pilkada yang terlaksana dengan cacat prosedur dan mekanisme akan melahirkan pemimpin yang mementingkan pribadi atau kelompoknya, dan hal itu yang dilakukan atas dasar kepentingan individu atau kelompok, menjadi hambatan dari cita-cita yang hendak dicapai masyarakat dan juga tujuan negara. Di dalam ilmu sosiologi mereka disebut deviant (orang yang menyimpang).
Maka pemimpin yang pada dasarnya melahirkan kebijakan dan keputusan yang akhirnya menyengsarakan rakyat dan berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok, pasti lahir dari proses dan cara yang juga buruk dan cacat. Sehingga pemimpin ini bukan kepemimpinan moral, tetapi kepemimpinan menyimpang yang lahir dari patologi politik, atau yang telah membuat sakitnya politik.
Masyarakat tidak dapat berharap lebih dari proses pemilu yang sakit, tetapi masyarakat adalah determinasi dari hasil pemimpin. Pemimpin itu Benchmark dari rakyat sendiri, ketika rakyat sudah memilih berdasarkan penyakit pemilu atau tindakan-tindakan curang, maka standar pemimpin itu adalah tidak bermoral.
Maka ekspektasi rakyat terhadap pemimpin yang dapat membawa keadilan, kebaikan, kemajuan dan nilai-nilai moral lainnya tidak akan dapat terwujud selama masyarakat memilih dengan dasar patologi politik, bukan kepemimpinan moral.
Patologi politik atau penyakit politik yang pada akhirnya melahirkan pemimpin yang tidak baik, maka hal itu dapat terlihat dari interaksi yang telah dilakukannya sebelumnya individu dengan masyarakat, individu dengan kelompok dan individu dengan negara.
Selama interaksi yang dibangunnya didasari atas penyakit seperti money politik, black campaign, politik identitas pada saat pemilu/pilkada, maka dia bukanlah yang membawa kepemimpinan moral. Seharusnya masyarakat sebagai aktor penentu dari pemimpin ini menyadari, sehingga seleksi pemimpin yang ada adalah mereka yang memiliki kepemimpinan moral, membawa kepentingan bersama dari pada pribadi atau kelompok.
Kepemimpinan moral di tingkat lokal ini diperlukan. Proses itu dimulai dari pemilihan kepala daerah (Pilkada), keberhasilan kepemimpinan lokal dapat diperoleh dari proses-proses yang demokratis tanpa adanya celah penyakit yang lahir di masyarakat, seperti malapraktik Pemilu atau kecurangan pemilu (elektoral Freud).
Beberapa contoh pemimpin moral yang dapat kita banggakan seperti Gus Dur, Nelson Mandela, Jusuf kalla, Lee Kuan Yew, dan lainnya. Setidaknya belajar dari kepemimpinan mereka yang memimpin tanpa memikirkan kepentingan kelompok atau pribadi, tapi benar-benar didasari oleh etos masyarakat dan spirit bangsa dan negara yang dipimpin di tingkat lokal.
Pemimpin harapan rakyat seharusnya dia yang dilahirkan dari demokrasi yang baik, sehingga muncul kepemimpinan moral, yang didasari pada meritokrasi dan integritas, bukan pemimpin cacat yang lahir dari patologi politik yang muncul di tengah-tengah perpolitikan Indonesia. (*)
Penulis: Maichel Firmansyah (Ketua Umum PW KMTI Sumbar)