Di tengah pelaksanaan pesta demokrasi lokal di Sumatera Barat saat ini ada baiknya menengok sekelumit kiprah kepala daerah-kepala daerah yang pernah memimpin propinsi ini di masa silam sebagai salah satu sumber inspirasi untuk menapaki perjalanan dari masa kini ke masa depan. Dengan menengok sejarah, sikap kritis-konstruktif terhadap kondisi kekinian tetap bisa dipertahankan.
Salah satu kepala daerah yang historisitasnya layak diungkap (kembali) untuk kepentingan kekinian dan ke depan adalah Harun Zain, Gubernur Sumbar dua periode di awal Orde Baru, yakni 1966-1972 dan 1972-1977. Harun mulai memimpin Sumbar di masa sangat sulit: transisi era Orde Lama Soekarno ke Orde Baru Soeharto.
Sejarah mencatat, masa pasca-peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang meletus di akhir 1950-an hingga munculnya Orde Baru dianggap periode “kelam” dalam sejarah kontemporer suku Minangkabau. Dari sisi daerah, penumpasan secara keras pemberontakan yang berpusat di Sumbar itu tidak hanya menyebabkan kehancuran berbagai infrastruktur fisik, tetapi juga mental masyarakat lokal.
Tidak heran, sejak diangkat sebagai Gubernur Sumbar berdasarkan SK Presiden Soekarno pada awal 1966, Harun Zain harus membangun daerah ini seolah dari “nol” lagi. Pemulihan dan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak parah, seperti jalan, jembatan, irigasi, sekolah dan kampus merupakan agenda utama dan itu sangat tidak mudah, terutama karena keterbatasan dana pemerintah daerah.
Namun memulihkan keterpurukan mental masyarakat sebagai akibat kalah perang, hegemoni militer dan tekanan golongan kiri selama masa pra-Orde Baru jauh lebih sulit. Perasaan trauma yang berhimpitan dengan meluasnya gejala apatisme sosial tidak kondusif bagi pemulihan dan mengejar ketertinggalan daerah. Pada masa itu banyak anggota masyarakat, terutama lapisan mudanya, meninggalkan Sumbar karena alasan politik, keamanan dan ekonomi. Pasca PRRI merupakan masa di mana terjadi eksodus besar-besaran puak Minang ke berbagai wilayah lain, termasuk Jakarta (Naim, 1982).
Corak Kepemimpinan Lokal
Setiap zaman ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada zamannya. Barangkali tamsil yang bersifat umum itu "pas" juga dilekatkan pada sosok Harun Zain yang baru efektif menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah ketika tongkat kekuasaan di pusat sudah beralih ke tangan penguasa politik Orde Baru.
Pada mulanya Harun Zain sempat diragukan. Putera Pariaman yang lahir di Jakarta, besar di Jawa Timur dan kuliah ekonomi di Universitas Indonesia hingga Berkeley, Amerika Serikat itu tidak begitu dikenal di daerah ini. Harun sendiri bahkan sempat ragu juga, karena ia kurang mengenal daerah leluhurnya, walaupun sejak beberapa tahun sebelumnya sudah menjadi “dosen terbang” di Unand dan baru menjabat rektor di kampus tersebut. Namun ingatan pada pesan almarhum ayahnya, Profesor Sutan M Zain, agar ia mengabdi di Minang meluluhkan keraguannya itu.
Singkat cerita, setelah melewati ragam tantangan sulit dan berat selama tahun-tahun awal periode pertamanya, Harun Zain secara umum mampu memimpin proses pemulihan daerah, tidak hanya secara fisik, tetapi secara relatif juga rasa kepercayaan diri masyarakat dan aparatur sipil. Semua langkah dan upaya itu dirangkum dan dikenal sebagai strategi “harga diri.”
Pemulihan aspek mental ini sangat fundamental sebagai modal awal untuk bangkit dan membangun daerah secara keseluruhan. Harun Zain selalu meyakinkan rakyat dan bawahannya bahwa mereka harus menegakkan kepala karena puak mereka memiliki sejarah gemilang dan budaya yang unik.
Dalam konteks ini Gubernur Harun tidak sekedar berpidato penuh semangat di berbagai kesempatan turun langsung ke masyarakat. Secara politik, salah satu upaya keras Harun Zain terkait pemulihan harga diri dimaksud tercermin dari pengangkatan pejabat-pejabat lokal dari kalangan "putera daerah" dan "sipil" di tengah dominasi pejabat militer dan sipil dari Jawa.
Selanjutnya, dalam rangka membangunkan kembali martabat aparat sipil dan rakyat, dalam sejumlah kesempatan, Gubernur Harun bahkan juga menunjukkan sikap "tidak takut" pada militer, sehingga sikapnya itu sempat disalahpahami sejumlah aparat keamanan di daerah. Untuk menghapus trauma masa lalu di kalangan rakyat, Harun juga berhasil meyakinkan penguasa militer untuk meruntuhkan tugu-tugu "pembebasan" di banyak nagari yang dibangun di masa penumpasan PRRI.
Walaupun harus berhadapan dengan "tembok" struktur Orde Baru yang kokoh dan tantangan apatisme-skeptisme dari kalangan masyarakatnya sendiri, tetapi ia secara relatif mampu beradaptasi dengan pelbagai kendala dan tantangan dimaksud. Ia memiliki agilitas dalam arti kemampuan untuk bergerak cepat, tangkas, lincah dan fleksibel tanpa kehilangan keseimbangan antara kepentingan kedaerahan dan keindonesiaan.
Dengan demikian, ikhtiar perubahan "nasib" daerah yang diusung Harun Zain tidak bermodalkan pada intensi yang kuat saja, tetapi juga kapasitas, kompetensi, kesungguhan dan integritas kepemimpinan. Dengan begitulah Harun Zain secara perlahan berhasil menarik dukungan rakyat dan sekaligus mendapatkan kepercayaan, terutama dalam arti dukungan pendanaan dan sumber daya lainnya, dari kalangan penguasa politik dan ekonomi di tingkat pusat yang sebagian kebetulan merupakan teman-temannya juga semasa perjuangan revolusi dan saat menempuh pendidikan tinggi.
Tentu tidak ada pemimpin yang sempurna. Kritik atas kepemimpinan Harun Zain bukan tidak ada. Namun sorotan atas seorang pemimpin mesti diletakkan dalam konteks suasana zamannya, bukan serta merta dengan menggunakan lensa masa sekarang. Umpamanya kalau kita mengkritik terjadinya proses “pembiaran” hancurnya corak politik Islamis yang pernah berjaya pada masa sebelumnya di Minang, maka hal itu mesti diletakkan dalam konteks pilihan sistem politik sentralistis Orde Baru di seluruh wilayah negara yang justru juga telah mendapatkan "justifikasi" dari banyak kalangan intelegensia masa itu.
Namun dalam konteks kepentingan daerah yang terpuruk dan tertinggal jauh saat itu, apa yang dilakukan Harun Zain, terutama dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah yang mampu menjadi “jangkar” antara kepentingan daerah dan corak politik pemerintah pusat (apapun penilaian atasnya) bisa dianggap sebagai prestasi luar biasa pada masanya.
Dengan caranya itu, Harun Zain dapat dikenang sebagai salah satu pemimpin dengan reputasi: meletakkan fondasi bagi perkembangan signifikan daerah ini untuk masa-masa Orde Baru selanjutnya, terutama ketika estafet kepemimpinan lokal diserahkan kepada Azwar Anas dan selanjutnya Hasan Basri Durin yang masing-masing dan berturut-turut juga dipercaya elit lokal dan nasional untuk memangku jabatan Gubernur Sumbar selama dua periode.