Anonimitas Tokoh Publik

Anonimitas Tokoh Publik

Vitania Yulia, S.Sos, MA (Foto: Dok. Pribadi)

Penggunaan akun anonim di media sosial telah menjadi fenomena yang semakin marak dalam beberapa tahun terakhir. Dalam banyak kasus yang dilaporkan oleh media, akun anonim sering digunakan sebagai alat untuk melancarkan serangan cyberbullying, tidak hanya terhadap selebriti, tetapi juga terhadap masyarakat umum. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan di Indonesia, di mana akun-akun anonim kerap dimanfaatkan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan komentar merendahkan. Ketidakjelasan identitas pelaku membuat mereka merasa aman dari konsekuensi hukum maupun sosial, sehingga tindakan negatif ini semakin meningkat.

Selebritas Indonesia beserta keluarga mereka, sering menjadi korban utama serangan dari akun-akun anonim. Anak-anak selebriti, terutama, kerap menjadi sasaran hinaan dan kritik tajam tanpa alasan jelas, selain status orang tua mereka sebagai figur publik. Perilaku tidak bertanggung jawab ini menunjukkan sisi gelap dari anonimitas. Tanpa pengawasan atau regulasi yang ketat, anonimitas terus digunakan untuk merusak ekosistem media sosial.

Dari perspektif etika, perilaku semacam ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar interaksi di media sosial, yang seharusnya menekankan pentingnya saling menghormati, menjaga kesopanan, serta bertanggung jawab atas apa yang diucapkan di ruang maya. Sayangnya, tanpa adanya mekanisme yang jelas untuk menelusuri dan menghukum pelaku cyberbullying yang berlindung di balik akun anonim, dampak negatif dari fenomena ini terus meluas. Hal ini juga mengancam kesehatan mental para pengguna media sosial, terutama mereka yang menjadi korban serangan.

Anonimitas di media sosial sebenarnya dapat memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat, khususnya dalam situasi di mana kebebasan berbicara terancam atau terbatas. Namun, anonimitas juga ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia melindungi mereka yang ingin berbicara tentang isu-isu sensitif secara bebas. Di sisi lain, anonimitas memberikan peluang bagi perilaku destruktif seperti cyberbullying, penyebaran hoaks, hingga manipulasi opini publik.

Baru-baru ini, muncul isu di Twitter mengenai akun anonim "fufufafa" di Kaskus, yang diduga milik Wakil Presiden terpilih yang akan dilantik pada Oktober 2024. Hal ini mengejutkan banyak pihak karena akun tersebut diduga telah menyebarkan narasi yang tidak pantas serta terlibat dalam tindakan cyberbullying.

Kasus akun anonim "fufufafa", yang diduga berkaitan dengan Gibran Rakabuming, menggambarkan kompleksitas penggunaan anonimitas oleh tokoh publik. Akun ini dikenal sering menyuarakan opini politik dengan nada satir, namun keberadaannya justru mengaburkan identitas asli pengguna di baliknya. Ketika muncul dugaan bahwa Gibran berada di balik akun tersebut, pertanyaan terkait etika penggunaan akun anonim oleh tokoh publik pun mencuat. Apakah tokoh publik seharusnya diperbolehkan menggunakan akun anonim untuk menyuarakan opini mereka? Dan bagaimana kita seharusnya memandang perilaku ini dalam konteks etika?

Penggunaan anonimitas oleh tokoh publik jelas memiliki konsekuensi yang berbeda dibandingkan dengan orang biasa. Jika anonimitas digunakan untuk memanipulasi opini publik atau menyebarkan kebencian tanpa akuntabilitas, hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat. Seharusnya, tokoh publik lebih transparan dan bertanggung jawab atas setiap opini yang mereka sampaikan, terutama mengingat pengaruh mereka yang jauh lebih besar dibandingkan masyarakat umum.

Tokoh Publik dengan Akun Anonim: Beda atau Sama?

Perbedaan mendasar antara tokoh publik dan orang biasa yang menggunakan akun anonim terletak pada posisi dan pengaruh mereka di masyarakat. Tokoh publik, seperti politisi, selebriti, atau figur penting lainnya, memiliki audiens yang lebih luas dan dampak yang lebih besar atas tindakan dan perkataan mereka. Ketika tokoh publik membuat akun anonim, ada ekspektasi moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang biasa. Mereka dipandang sebagai panutan dan seringkali harus mempertimbangkan akuntabilitas dan transparansi dalam setiap tindakan.

Dalam konteks akun anonim, tokoh publik seperti Gibran berpotensi menggunakan anonimitas untuk menghindari tanggung jawab atas pernyataan atau tindakan yang mereka buat. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk manipulasi, terutama jika mereka menggunakan akun tersebut untuk menyampaikan opini yang kontroversial atau menyebarkan informasi yang bisa mempengaruhi opini publik. Transparansi menjadi isu utama di sini. Ketika audiens tidak tahu siapa yang berada di balik akun tersebut, kepercayaan mereka bisa terkikis, terutama jika mereka kemudian mengetahui bahwa orang yang mereka percayai adalah figur berpengaruh yang bersembunyi di balik identitas anonim.

Perbedaan utama dengan orang biasa adalah bahwa tokoh publik tidak menggunakan anonimitas untuk melindungi diri dari ancaman atau stigma, tetapi sering kali untuk mengontrol narasi tanpa harus bertanggung jawab secara langsung. Sementara anonimitas orang biasa cenderung didorong oleh kebutuhan akan privasi, tokoh publik bisa menggunakan anonimitas sebagai alat untuk menyebarkan pengaruh secara terselubung, yang tentunya menimbulkan masalah etika yang lebih besar.

Masyarakat cenderung menilai lebih kritis terhadap tokoh publik yang menggunakan anonimitas karena dampak dari opini atau tindakan mereka jauh lebih signifikan. Ketika opini politik atau pernyataan kontroversial disampaikan secara anonim oleh figur publik, masyarakat bisa merasa dikhianati atau dimanipulasi, karena tokoh tersebut bersembunyi di balik identitas palsu, menghindari tanggung jawab sosial atas ucapan mereka.

Dampak Negatif Anonimitas di Media Sosial

Anonimitas sering kali menciptakan ruang bagi perilaku anti-normatif, anti-sosial, dan bahkan agresif. Tanpa harus mempertanggungjawabkan identitas asli, pengguna akun anonim merasa bebas untuk bertindak di luar norma-norma sosial yang biasanya mengatur perilaku mereka di kehidupan nyata. Fenomena ini bisa terlihat jelas dalam tindakan cyberbullying, di mana individu atau kelompok menggunakan akun anonim untuk menyerang orang lain secara verbal dan emosional tanpa takut dikenali.

Kasus cyberbullying di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh akun-akun anonim, telah menjadi masalah serius. Selebriti dan figur publik, serta anggota keluarga mereka, sering kali menjadi sasaran komentar tidak pantas dan ujaran kebencian. Misalnya, anak-anak selebriti sering kali menjadi target empuk bagi para pengguna akun anonim yang melontarkan hinaan atau ancaman tanpa berpikir panjang tentang dampak psikologisnya. Dampak dari tindakan seperti ini bisa sangat merusak, terutama bagi korban yang merasa tak berdaya karena serangan datang dari identitas yang tidak jelas.

Perilaku anti-sosial dan agresif ini diperburuk oleh kemampuan untuk bersembunyi di balik anonimitas. Para pelaku merasa aman dan kebal dari konsekuensi hukum atau sosial. Ini memberikan mereka kebebasan untuk menyerang orang lain tanpa rasa bersalah, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan media sosial yang toksik. Anonimitas dalam konteks ini sering kali berfungsi sebagai perisai bagi perilaku yang tidak etis.

Perlu ditekankan bahwa penggunaan akun anonim oleh tokoh publik memiliki konsekuensi yang lebih besar dibandingkan dengan orang biasa. Orang biasa menggunakan akun anonim untuk melindungi privasi atau menjaga diri dari ancaman, sedangkan tokoh publik, dengan kekuasaan dan pengaruh mereka, dapat menggunakan anonimitas untuk tujuan yang berbeda—seringkali untuk memanipulasi opini atau menyebarkan pandangan tanpa ingin terikat pada konsekuensinya.

Ketika seorang tokoh publik menggunakan anonimitas, ekspektasi dari masyarakat adalah mereka tetap harus menjaga standar etika yang tinggi. Ini karena tindakan dan perkataan mereka memiliki dampak luas. Orang biasa tidak memiliki pengaruh yang sama, sehingga ketika mereka menggunakan anonimitas, dampaknya lebih terbatas. Namun, bagi seorang tokoh publik, anonimitas bisa menjadi alat untuk menghindari pertanggungjawaban publik, yang pada akhirnya menciptakan kebingungan di kalangan audiens.

Tokoh publik harus lebih berhati-hati dalam menggunakan anonimitas. Mereka berada di posisi yang lebih kuat dan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar. Penggunaan akun anonim oleh mereka, jika tidak dilakukan dengan transparansi, bisa dilihat sebagai bentuk manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan. (*)

Vitania Yulia, S.Sos, MA adalah Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas

Baca Juga

Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Gosip Online
Gosip Online
Orang Tua dan Berita Hoaks
Orang Tua dan Berita Hoaks
Cegah Stunting dengan Gizi Tepat: Mengapa Anak Butuh Makanan Berkualitas Sejak Dini
Cegah Stunting dengan Gizi Tepat: Mengapa Anak Butuh Makanan Berkualitas Sejak Dini
Daya Tarik Makanan Berwarna-Warni: Indah Dipandang, Bahaya Tak Terduga
Daya Tarik Makanan Berwarna-Warni: Indah Dipandang, Bahaya Tak Terduga
Paling tidak kita dapat mengetahui partai politik mana yang memiliki mesin politik yang tangguh di akar rumput.
Mesin Partai vs Relawan Calon Kepala Daerah