Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar

Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar

Yayuk Lestari, S.Sos, M.A. (Foto: Dok. Pribadi)

Di era digital saat ini, muncul sebuah fenomena yang disebut sebagai slacktivism—gabungan dari kata "slack" (malas) dan "activism" (aktivisme). Slacktivism didefinisikan sebagai bentuk aktivisme online yang melibatkan aktivitas yang membutuhkan sedikit keterlibatan, serta waktu dan usaha yang minimal, biasanya tanpa mobilisasi aktif untuk menyelesaikan suatu masalah sosial. Ini adalah bentuk aktivisme yang kerap ditemukan di dunia maya, di mana seseorang merasa telah berpartisipasi dalam sebuah gerakan tanpa harus melakukan aksi nyata.

Salah satu contoh platform yang paling sering diasosiasikan dengan slacktivism adalah Change.org, sebuah situs petisi online yang memungkinkan siapa pun untuk menggalang dukungan terhadap berbagai isu sosial, politik, dan lingkungan. Penandatangan petisi di Change.org adalah contoh nyata dari bagaimana orang merasa telah berbuat sesuatu untuk mendukung suatu isu hanya dengan memberikan tanda tangan digital, meski tanpa kontribusi lebih lanjut. Change.org telah menjadi platform populer bagi mereka yang ingin menyuarakan dukungan terhadap berbagai isu, dari hak-hak asasi manusia hingga perlindungan lingkungan. Banyak orang yang terlibat dalam Change.org merasa telah melakukan sesuatu yang signifikan hanya dengan menandatangani petisi, meskipun tindakan ini mungkin tidak berdampak langsung pada penyelesaian masalah.

Slacktivism membuat seseorang merasa telah berbuat banyak melalui partisipasi digital. Dalam petisi online di Change.org, penandatangan adalah orang-orang yang merasa peduli terhadap suatu permasalahan atau isu tertentu dan kemudian merasa telah membantu dan berbuat sesuatu setelah menandatangani petisi tersebut. Namun, sering kali, partisipasi ini berhenti di situ, tanpa dilanjutkan dengan aksi nyata lainnya seperti advokasi publik atau tindakan nyata untuk mendorong perubahan kebijakan.

Banyak anak muda saat ini cenderung tidak mengikuti isu-isu publik dan lebih memilih untuk mengonsumsi informasi yang bersifat hiburan. Ketertarikan mereka yang lebih tinggi terhadap konten hiburan ini seringkali mengalihkan perhatian dari masalah sosial yang lebih serius, sehingga mengurangi partisipasi mereka dalam aktivisme digital. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa penandatangan petisi online tetap memiliki dampak, walaupun mungkin tidak secara langsung. Penelitian menunjukkan bahwa tandatangan petisi online ini bisa membangkitkan kesadaran publik dan memberikan tekanan politik pada pembuat kebijakan, terutama ketika petisi tersebut berhasil menarik perhatian media atau memperoleh dukungan dalam jumlah besar.

Salah satu contoh terbaru yang sangat relevan adalah kasus Afif Maulana pada tahun 2023. Afif Maulana adalah seorang pemuda yang menjadi korban dalam kasus tawuran di Kota Padang. Setelah terjadinya insiden yang merenggut nyawanya, muncul petisi di Change.org yang menuntut keadilan untuk Afif. Petisi ini dengan cepat memperoleh ribuan tanda tangan, menarik perhatian media lokal dan menekan pihak kepolisian untuk menyelidiki kasus tersebut lebih lanjut.

Kasus ini menunjukkan bagaimana petisi online dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong perubahan. Setelah petisi ini menjadi viral, berbagai kelompok masyarakat ikut menyuarakan keprihatinan mereka di media sosial dan media massa. Hasilnya, pihak kepolisian melakukan investigasi yang lebih mendalam dan mengungkapkan komitmen untuk mencegah tawuran serupa di masa depan. Kasus Afif Maulana menegaskan bahwa slacktivism, meski sering dikritik, tetap memiliki potensi untuk membawa dampak nyata, terutama ketika didukung oleh perhatian media dan partisipasi publik yang masif.

Kedua contoh di atas menunjukkan bagaimana Change.org mampu memobilisasi massa untuk berpartisipasi dalam bentuk dukungan digital. Namun, pada kenyataannya, aksi lanjutan atau tindak nyata dari pihak-pihak yang berwenang sering kali tetap diperlukan untuk menghasilkan perubahan yang substansial.

Slacktivism sering dikritik karena dinilai hanya menawarkan bentuk dukungan yang dangkal. Namun, meskipun partisipasi ini tampak minim usaha, beberapa petisi di Change.org telah berhasil membawa perubahan, meskipun tidak selalu secara instan atau dalam skala besar. Contohnya adalah beberapa petisi yang telah memaksa perusahaan atau instansi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan mereka setelah adanya tekanan dari publik.

Dalam beberapa kasus, Change.org berperan penting dalam mengangkat isu-isu yang selama ini terabaikan. Petisi yang mendapatkan banyak dukungan sering kali menjadi perhatian media dan dapat mempengaruhi opini publik. Petisi-petisi ini mampu mendorong diskusi lebih luas di masyarakat, meskipun perubahan kebijakan yang diharapkan mungkin membutuhkan waktu dan aksi lanjutan dari masyarakat sipil. Kritik utama terhadap slacktivism adalah bahwa bentuk aktivisme ini sering kali menghilangkan kebutuhan untuk terlibat lebih jauh dalam aksi nyata. Orang merasa sudah cukup membantu hanya dengan menandatangani petisi atau membagikan tautan di media sosial, tanpa merasa perlu untuk melakukan lebih banyak lagi.

Namun, slacktivism tidak selalu harus dipandang negatif. Petisi di Change.org bisa menjadi langkah awal bagi seseorang untuk mulai peduli terhadap suatu isu. Menurut sebuah studi oleh Pew Research Center (2021), sekitar 50% pengguna media sosial yang menandatangani petisi online melaporkan bahwa mereka merasa lebih terlibat dalam isu-isu sosial setelah melakukan tindakan tersebut. Ini menunjukkan bahwa partisipasi digital dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong individu untuk melakukan tindakan lebih lanjut. Kesadaran yang ditumbuhkan melalui partisipasi digital ini dapat menjadi titik awal bagi mereka untuk mengambil tindakan lebih lanjut, seperti bergabung dengan gerakan advokasi atau berpartisipasi dalam kampanye nyata.

Media sosial sering digunakan untuk mendukung berbagai bentuk keterlibatan, baik online maupun offline, sebagai bagian dari "repertoar keterlibatan" yang saling terhubung. Dengan kata lain, media sosial berfungsi untuk membagikan informasi mengenai aksi dan kampanye offline, sehingga platform digital ini menjadi alat yang efektif dalam memfasilitasi aksi nyata. Oleh karena itu, aksi online di platform seperti Change.org tidak seharusnya berdiri sendiri; aksi tersebut harus diikuti dengan tindakan nyata di dunia offline untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada. Kombinasi antara aksi online dan offline dapat menciptakan perubahan yang lebih efektif dan meningkatkan peluang untuk mendorong kebijakan serta perubahan sosial yang diinginkan. (*)

Yayuk Lestari, S.Sos, MA, merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas

Baca Juga

Kominfo Bakal Bentuk Dewan Media Sosial 
Kominfo Bakal Bentuk Dewan Media Sosial 
Gerai coffee shop menyuguhkan berbagai keunikan, mulai dari konsep tata ruang sampai dengan menu yang disajikan. Di Kota Padang,
Optimalisasi Media Sosial Sebagai Tools Promosi di Era Marketing 5.0
Gosip Online
Gosip Online
Keamanan Data Digital
Keamanan Data Digital
Orang Tua dan Berita Hoaks
Orang Tua dan Berita Hoaks
Peran Media Sosial dalam Diskursus Human Capability di Indonesia
Peran Media Sosial dalam Diskursus Human Capability di Indonesia