Kampus Non-Literat: Rusaknya Lumbung Produksi Kaum Intelektual Hari Ini

Oleh: Habibur Rahman

Literasi merupakan fondasi penting dalam dunia pendidikan, terutama di tingkat perguruan tinggi. Namun, di banyak kampus di Indonesia, budaya literasi tampak kurang berkembang.

Fenomena ini seringkali disebut sebagai kampus non-literat, yang ditandai dengan rendahnya minat membaca mahasiswa, minimnya kebiasaan membaca kritis, serta lingkungan akademis yang tidak memberikan cukup dorongan untuk mengembangkan kecintaan pada literatur.

Pada tulisan ini penulis akan mengkaji lebih dalam tentang kondisi kampus non-literat, mengapa budaya membaca begitu asing bagi mahasiswa, serta berbagai teori ilmiah yang dapat menjelaskan situasi ini.

Kampus non-literat, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai institusi pendidikan tinggi yang tidak mampu atau tidak berupaya untuk membudayakan kebiasaan literasi di kalangan mahasiswanya.

Meskipun secara fisik perpustakaan mungkin ada, dan sumber-sumber bacaan mungkin tersedia, mahasiswa tidak terdorong untuk memanfaatkannya secara optimal. Sering kali, mahasiswa hanya membaca untuk memenuhi tuntutan akademis, seperti menyiapkan diri menghadapi ujian atau menyelesaikan tugas kuliah (makalah).

Fenomena ini menjadi gambaran umum di banyak kampus di mana budaya membaca tidak mengakar kuat, bahkan di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pusat perkembangan intelektual.

Menurut teori konstruktivisme dari Jean Piaget, pembelajaran yang bermakna terjadi ketika seseorang secara aktif membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya.

Dalam konteks pendidikan tinggi, salah satu cara terbaik untuk memperkaya pengalaman belajar adalah dengan membaca secara mendalam, apapun itu bahan bacaan nya, buku, jurnal ilmiah, serta artikel hingga terbangunnya mahasiswa yang kritis.

Namun, di kampus non-literat proses ini sering kali terhenti karena mahasiswa hanya terlibat dalam membaca secara pasif dan dangkal.

Membaca tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk mengembangkan kapasitas intelektual, melainkan sekadar alat pemenuhan tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas atau mencapai nilai akademis yang baik, dengan harapan capaian cumlaude, dengan menghiraukan proses membaca secara penuh dan tentunya mendalam.

Budaya membaca yang asing di kalangan mahasiswa juga bisa ditelusuri dari pola pembentukan kebiasaan di masa-masa sebelumnya.

Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang habitus, menjelaskan bahwa kebiasaan seseorang dibentuk oleh lingkungan sosial dan pengalaman sehari-hari. Mahasiswa yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak menekankan pentingnya literasi akan membawa kebiasaan tersebut hingga dirinya tamat dan terjun ke masyarakat, dan menjadi dilema tersendiri. Mereka yang tidak terbiasa membaca sejak dini akan lebih sulit untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan literasi di perguruan tinggi yang begitu melimpah.

Di banyak kasus, budaya membaca yang lemah di sekolah menengah turut berperan dalam menciptakan mahasiswa yang tidak memiliki ketertarikan terhadap bacaan yang lebih kompleks saat masuk ke ranah perguruan tinggi.

Selain itu, rendahnya budaya membaca juga dapat dikaitkan dengan teori motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam psikologi kognitif. Mahasiswa yang membaca hanya karena tuntutan eksternal, seperti mendapatkan nilai bagus atau menyelesaikan tugas, cenderung tidak mengembangkan minat baca secara alami hingga menjadikannya hobi apalgi tahap pada level yang tertinggi yaitu menganggap membaca sebagai kebutuhan.

Mereka tidak memiliki motivasi intrinsik yang mendorong mereka untuk membaca demi pengayaan intelektual atau rasa ingin tahu pribadi. Akibatnya, membaca hanya menjadi kegiatan yang dilakukan sesaat dan tidak berkelanjutan.

Padahal, mahasiswa dengan motivasi intrinsik biasanya lebih terdorong untuk membaca secara sukarela, mengeksplorasi berbagai topik yang menarik perhatian mereka, dan juga mendapatkan kepuasan dari proses belajar itu sendiri.

Terdapat beberapa faktor yang mendasari fenomena kampus non-literat dan mengapa budaya membaca tampak begitu asing bagi mahasiswa. Salah satu faktor utama adalah pengaruh teknologi dan distraksi digital.

Di era modern ini, teknologi informasi yang berkembang pesat menawarkan banyak kemudahan sekaligus distraksi. Mahasiswa lebih sering terlibat dalam aktivitas digital seperti bermain game, menonton video, atau berselancar di media sosial daripada membaca buku atau artikel ilmiah.

Menurut Marshall McLuhan, media digital telah mengubah cara kita berpikir dan berkomunikasi. Dengan semakin maraknya media yang menawarkan hiburan instan, mahasiswa menjadi kurang tertarik dengan bacaan yang memerlukan pemikiran mendalam atau refleksi.

Di samping itu, dalam di dunia yang semakin dipenuhi oleh distraksi digital ini, mengabaikan buku adalah seperti memotong jalur akses ke bentuk pemikiran yang mendalam, reflektif, dan inovatif.

Sedangkan kita tahu bahwa membaca buku adalah latihan kognitif yang mengasah kemampuan berpikir kritis dan analitis, sementara konsumsi konten audiovisual pasif, seperti podcast, cenderung memperkuat ketergantungan pada narasi yang disederhanakan.

Faktor lainnya adalah sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada hasil akhir daripada proses belajar. Di banyak kampus, pembelajaran cenderung lebih fokus pada nilai akademis dan prestasi kuantitatif daripada pengembangan keterampilan berpikir kritis dan literasi mendalam.

Paulo Freire, dalam teorinya tentang pendidikan, menekankan bahwa pendidikan yang hanya menekankan transfer pengetahuan tanpa memberi ruang bagi pengembangan kritisisme akan menghasilkan siswa yang pasif dan kurang kreatif.

Dalam lingkungan ini, mahasiswa hanya terdorong untuk membaca sejauh yang diperlukan untuk mencapai nilai yang diinginkan, bukan untuk membangun pemahaman yang lebih luas.

Selain itu, keterbatasan akses terhadap sumber bacaan berkualitas juga menjadi salah satu penyebab rendahnya minat membaca. Di beberapa kampus, perpustakaan mungkin tidak dilengkapi dengan koleksi yang memadai, atau akses ke jurnal-jurnal ilmiah dibatasi.

Menurut teori aksesibilitas informasi dari Luciano Floridi, akses terhadap informasi yang memadai dan relevan sangat penting untuk pengembangan literasi. Ketika mahasiswa tidak memiliki akses ke sumber daya yang berkualitas, motivasi untuk membaca menjadi semakin rendah.

Untuk membalikkan situasi kampus non-literat, berbagai langkah perlu diambil. Salah satunya adalah dengan meningkatkan akses terhadap sumber-sumber bacaan yang berkualitas, baik dalam bentuk fisik maupun digital.

Kampus harus mengembangkan perpustakaan yang menyediakan beragam bacaan yang relevan dan menarik bagi mahasiswa. Di era digital, perpustakaan juga harus menyediakan akses ke jurnal-jurnal ilmiah internasional yang dapat menunjang penelitian mahasiswa.

Pendekatan pengajaran di kampus juga perlu diubah. Dosen dan pengajar sebaiknya lebih mendorong mahasiswa untuk membaca secara kritis dan memperluas cakrawala intelektual mereka.

Metode pembelajaran berbasis penelitian atau proyek yang memerlukan riset literatur mendalam dapat menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan minat baca. Dengan demikian, mahasiswa akan terlibat lebih aktif dalam proses belajar dan tidak hanya bergantung pada materi yang diberikan di kelas, dan lebih menikmati proses yang berjalan.

Selain itu, kampus dapat membangun komunitas literasi yang mendorong mahasiswa untuk membaca lebih banyak. Diskusi buku, seminar literasi, dan klub membaca dapat menjadi wadah yang efektif untuk menumbuhkan budaya membaca di kalangan mahasiswa. Dengan adanya komunitas yang mendukung, mahasiswa dapat termotivasi untuk menjadikan membaca sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari.

Pada akhirnya, kampus non-literat adalah tantangan besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Untuk menciptakan generasi mahasiswa yang cerdas, kritis, dan kompetitif di kancah global, budaya literasi harus dikuatkan.

Kampus harus bertransformasi menjadi ruang yang tidak hanya berfokus pada nilai akademis, tetapi juga mendorong pengembangan literasi yang mendalam.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Baca Juga

Dampak Melemahnya Partisipasi Politik Masyarakat Sumatra Barat Terhadap Keberlangsungan Demokrasi
Dampak Melemahnya Partisipasi Politik Masyarakat Sumatra Barat Terhadap Keberlangsungan Demokrasi
Media Sosial: Berkah atau Bencana bagi Gerakan Sosial?
Media Sosial: Berkah atau Bencana bagi Gerakan Sosial?
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasannya, alangkah baiknya kita mengetahui arti dari mitologi terlebih dahulu. Apa itu mitologi? Mitologi
Mitologi Yunani: Dari Khaos hingga Kekuasaan Olympians
Partisipasi politik merupakan bentuk kegiatan atau aktivitas warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan politik pada suatu
Tantangan Partisipasi Politik di Era Digital
Feodalisme yang umumnya dalam diskursus selalu dikaitkan pada struktur sosial abad pertengahan, di mana kekuasaan dan hak istimewa
Parasit di Perguruan Tinggi Itu Bernama Feodalisme
Kita sering mendengar tokoh-tokoh seperti Snouck Hurgronje, Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery dan lain-lain, dalam diskursus yang kita lakukan
Orientalisme: Penelitian atau Hegemoni Terselubung atas Dunia Timur?