Media Sosial: Berkah atau Bencana bagi Gerakan Sosial?

Media Sosial: Berkah atau Bencana bagi Gerakan Sosial?

Yulia Dwijayanti (Foto: Fok. Pribadi)

 

 
Dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform-platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok tidak hanya menghubungkan individu secara personal, tetapi juga berfungsi sebagai alat penting dalam mobilisasi gerakan sosial.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah media sosial benar-benar menjadi berkah bagi gerakan sosial, atau justru bencana yang mengancam efektivitasnya? Salah satu keuntungan terbesar media sosial adalah kemampuannya untuk menyebarkan informasi dengan cepat dan luas.

Gerakan-gerakan sosial yang dulunya terbatas pada lingkup lokal kini dapat menjangkau audiens global dalam hitungan detik. Contoh nyata adalah gerakan Black Lives Matter[4]  yang berhasil menarik perhatian dunia terhadap isu ketidakadilan rasial di Amerika Serikat. Dengan hashtag yang tepat, pesan-pesan penting dapat menjadi viral dan menggerakkan banyak orang untuk berpartisipasi dalam aksi nyata.

Media sosial juga memberikan platform bagi suara-suara yang terpinggirkan. Individu dan kelompok yang sebelumnya tidak memiliki akses ke media tradisional kini dapat berbagi cerita mereka dan membangun solidaritas. Ini menciptakan ruang bagi diskusi yang lebih inklusif dan beragam, memungkinkan berbagai perspektif untuk saling bertukar. Misalnya, gerakan #MeToo telah memberikan kesempatan bagi banyak korban pelecehan seksual untuk berbicara dan mendapatkan dukungan, sehingga meningkatkan kesadaran tentang isu tersebut secara global.

Lebih jauh lagi, media sosial memfasilitasi pengorganisasian aksi secara efisien. Melalui grup atau halaman khusus, para aktivis dapat merencanakan acara, mengumpulkan dana, dan menyebarkan informasi tentang kegiatan mereka dengan mudah. Kecepatan dan kemudahan ini membuat mobilisasi massa menjadi lebih mungkin daripada sebelumnya.

Namun, dibalik manfaat tersebut, ada sisi gelap dari media sosial yang tidak bisa diabaikan. Salah satu tantangan utama adalah penyebaran informasi yang salah atau hoaks. Dalam konteks gerakan sosial, informasi yang tidak akurat dapat merusak reputasi dan tujuan dari gerakan itu sendiri. Misalnya, berita palsu tentang suatu aksi protes dapat memicu kekacauan dan merugikan citra gerakan.

Selain itu, media sosial sering kali menciptakan "aktivisme jari" (slacktivism), di mana individu merasa telah berkontribusi hanya dengan membagikan atau menyukai sebuah pos tanpa mengambil tindakan nyata di dunia fisik. Ini dapat mengurangi dorongan untuk melakukan perubahan yang lebih substansial dan berkelanjutan. Aktivisme semacam ini sering kali hanya menghasilkan kepuasan instan tanpa dampak nyata.

Secara keseluruhan, media sosial merupakan pedang bermata dua bagi gerakan sosial. Di satu sisi, ia menawarkan peluang luar biasa untuk mobilisasi dan penyebaran informasi; disisi lain, ia juga membawa resiko penyebaran informasi yang salah dan aktivisme yang dangkal. Oleh karena itu, penting bagi para aktivis untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan strategis.

Dengan pendekatan yang tepat seperti memverifikasi informasi sebelum membagikannya dan mendorong tindakan nyata media sosial dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam memperjuangkan keadilan dan perubahan sosial. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, tantangan dan peluang yang ditawarkan oleh media sosial harus dikelola dengan cermat agar gerakan sosial dapat mencapai tujuan mereka secara efektif dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, perilaku dalam penggunaan media sosial juga harus sejalan dengan norma-norma atau kode etik yang telah berlaku sebagai suatu landasan hukum yang tetap. Sehingga informasi-informasi yang bersifat universal hingga mengerucut kepada suatu topik tertentu tidak dapat dengan mudah memberikan pengaruh atau dorongan tertentu kepada setiap pengguna aktif maupun pasif dalam setiap platform media sosial yang dapat berpotensi mengakibatkan kekacauan pada dunia digital.
 

*Penulis: Yulia Dwijayanti (Mahasiswi Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)
 

Baca Juga

Orientalisme telah lama menjadi topik diskusi dalam kajian keislaman, terutama ketika dikaitkan dengan motif-motif politik dan misionaris
Kritik Orientalisme: Membongkar Bias Barat terhadap Dunia Islam
Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian,
OTT Itu Penting: Sebuah Bantahan untuk Capim KPK Johanis Tanak
Pada tahun 2024 ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar di 10.846 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah pemilih
Menolak Politik Uang: Menjaga Integritas Demokrasi di Sumatra Barat
Konsep multiverse atau "alam semesta jamak" telah lama menarik perhatian ilmuwan dan filsuf sebagai cara untuk memahami potensi keberadaan
Multiverse: Dimensi Paralel dalam Sains dan Budaya Populer
Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh
Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat
Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat
Amarah Tan Malaka: Umpatan dalam Bahasa Minang kepada Kolonial Belanda