Dusta Atas Nama Beasiswa

Dusta Atas Nama Beasiswa

Salman Shiddiq. (Foto: Dok. Pribadi)

Beasiswa, kata sederhana namun memiliki arti mendalam bagi setiap pelajar di dunia. Berdasarkan Cambridge Dictionary, beasiswa adalah sejumlah uang yang diberikan oleh sekolah, perguruan tinggi, universitas, atau organisasi lain untuk membiayai studi seseorang yang memiliki kemampuan tinggi tetapi tidak memiliki banyak uang. Beasiswa dianggap sebagai suatu hal yang suci karena tidak semua orang bisa mendapatkannya dengan mudah. Ironinya, mendapatkan beasiswa bisa menaikkan tingkatan sosial di kehidupan masyarakat.

Umumnya beasiswa yang ditawarkan dari berbagai lembaga pasti memiliki syarat yang ketat. Setiap lembaga memiliki perbedaan kriteria masing-masing dalam menentukan penerima beasiswanya. Salah satu syarat yang paling populer bagi penerima beasiswa adalah kondisi finansial keluarga yang kurang mampu, biasanya disertakan dengan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Sangat banyak penyedia beasiswa menjadikan kriteria ini sebagai salah satu pilihan beasiswanya.

Dilansir dari fkip.umko.ac.id (6/21) Echo Pramono mengatakan bahwa sebenarnya pandangan beasiswa untuk “orang-orang yang kurang mampu” merupakan pernyataan yang kurang tepat. Beasiswa merupakan penyaluran bantuan biaya sehingga seorang pelajar bisa mengikuti kegiatan belajar dengan biaya yang lebih ringan. Semua orang memiliki peluang untuk mendapatkan beasiswa yang diberikan kepada penerima selama syarat terpenuhi. Ada syarat dengan prestasi akademik, prestasi non-akademik maupunn prestasi dari jalur aktif berorganisasi.

Di Indonesia sendiri, beasiswa untuk orang-orang yang kurang mampu sangat populer. Dikutip dari Puslapdik Kemendikbudristek (Pusat Pelayanan Pembiayaan Pendidikan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi) pada tahun 2023, Kemendikbudristek telah membiayai sebanyak 700 ribu lebih mahasiswa penerima beasiswa kurang mampu. Sebagian besar pasti menganggap bahwa jalur ini merupakan ide yang sangat brilian karena orang-orang yang kurang mampu dari segi finansial mampu merasakan pendidikan yang semestinya hak bagi seluruh warga negara. Namun demikian, cara ini juga memiliki resiko yang tinggi terhadap kecurangan. Beasiswa kurang mampu banyak dijadikan sebagai ladang dalam pemenuhan kepuasan ekonomi. Faktanya banyak mahasiswa yang melakukan kecurangan dengan pemalsuan data demi mendapatkan SKTM dan dijadikan sebagai syarat untuk menerima beasiswa ini.

Apakah kebijakan ini adil? Dalam Islam, prinsip keadilan adalah hal dasar. Memberikan beasiswa kepada para pelajar yang belum membutuhkan dukungan finansial sama saja dengan mengabaikan hak orang lain yang memang benar-benar membutuhkan bantuan dalam pendidikannya. Dari perspektif etika Islam, tindakan ini dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan sumber daya yang Allah berikan. Dalam Surah Al-Baqarah (2:188), Allah melarang kita untuk memakan harta sesama dengan cara yang tidak benar. Jika beasiswa, yang seharusnya menjadi alat untuk membantu yang membutuhkan, malah jatuh ke tangan orang yang mampu, maka kita sedang menciptakan ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Sejatinya, ilmu yang diperoleh dengan cara yang salah atau tidak adil dapat mengurangi keberkahan dari ilmu tersebut. Dalam Islam, niat yang baik adalah pondasi dari setiap amal. Ketika seorang pelajar menerima beasiswa bukan karena kebutuhan, tetapi karena sistem yang tidak adil, niat penuntut ilmu bisa terpengaruh. Ilmu yang seharusnya menjadi ladang amal dan keberkahan dapat berubah menjadi beban moral. Pada akhirnya hal ini memudarkan nilai-nilai spiritual yang seharusnya melekat pada diri seorang pelajar.

Sebagaimana kaidah dalam ushul fiqh bahwa “nikmat atau hak itu tidak boleh diperoleh dengan cara yang laknat. Jika dilakukan dengan demikian, maka nikmat itu menjadi haram baginya. Dalam Surah Al-Ma'idah (5:8), Allah memerintahkan kita untuk bersikap adil, bahkan terhadap diri sendiri. Ini menunjukkan bahwa keadilan harus dijunjung tinggi dalam setiap aspek, termasuk dalam pemberian beasiswa.

Sehingga penyelenggaraan beasiswa harus mengedepankan prinsip keadilan dan keseimbangan. Institusi pendidikan perlu mengevaluasi kembali kriteria penerima beasiswa, dengan mempertimbangkan baik aspek finansial maupun prestasi akademis. Pendekatan ini tidak hanya memastikan bahwa mereka yang benar-benar membutuhkan mendapatkan akses, tetapi juga menghargai usaha dan prestasi bagi setiap pelajar. Islam juga mendorong kita untuk berbagi rezeki, karena setiap orang sudah ditentukan kadar rezekinya. Sehingga lembaga yang memiliki sumber daya seharusnya lebih aktif dalam mendukung program-program pendidikan yang benar-benar fokus pada mereka yang membutuhkan. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjalankan kewajiban sosial, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

*Penulis: Salman Shiddiq (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Imam Bonjol Padang)

Baca Juga

Orientalisme telah lama menjadi topik diskusi dalam kajian keislaman, terutama ketika dikaitkan dengan motif-motif politik dan misionaris
Kritik Orientalisme: Membongkar Bias Barat terhadap Dunia Islam
Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian,
OTT Itu Penting: Sebuah Bantahan untuk Capim KPK Johanis Tanak
Pada tahun 2024 ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar di 10.846 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah pemilih
Menolak Politik Uang: Menjaga Integritas Demokrasi di Sumatra Barat
Konsep multiverse atau "alam semesta jamak" telah lama menarik perhatian ilmuwan dan filsuf sebagai cara untuk memahami potensi keberadaan
Multiverse: Dimensi Paralel dalam Sains dan Budaya Populer
Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh
Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat
Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat
Amarah Tan Malaka: Umpatan dalam Bahasa Minang kepada Kolonial Belanda