Pemerintah sering mengangkat isu redenominasi rupiah sebagai salah satu upaya penyederhanaan sistem moneter. Namun, di tengah rencana besar Presiden Prabowo untuk memperkuat perekonomian Indonesia, pertanyaannya muncul: apakah redenominasi rupiah menjadi langkah yang relevan? Mari kita telusuri lebih dalam apakah redenominasi ini memang memberikan manfaat yang nyata atau sekadar kosmetik ekonomi.
Redenominasi rupiah berarti menyederhanakan nominal mata uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Harga barang, upah, dan segala transaksi ekonomi akan turun secara proporsional sebesar seribu persen. Meskipun demikian, secara riil tidak ada yang berubah. Daya beli tetap sama, harga relatif tidak bergerak, dan tidak ada dampak signifikan pada alokasi sumber daya. Namun, apakah benar redenominasi ini akan se-netral itu dalam praktiknya?
Jika kita mengingat pengalaman Indonesia di tahun 1965, saat pemerintah melakukan redenominasi dengan memangkas tiga digit nol dari mata uang rupiah, hasilnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Saat itu, setiap mata uang Rp 1.000 lama berubah menjadi Rp 1 baru. Namun, perilaku pasar tetap berjalan sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Konsumen sering kali terjebak dalam money illusion, di mana mereka merasa barang-barang lebih murah hanya karena angka yang terlihat lebih kecil. Hal ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian, dan harga-harga terus naik akibat inflasi yang tidak terkendali.
Redenominasi rupiah yang direncanakan saat ini juga tidak jauh berbeda dari rencana sebelumnya. Apakah benar kita memerlukan redenominasi di saat kita sedang berusaha memperbaiki produktivitas ekonomi dan daya saing global? Mata uang kita yang sekarang, dengan denominasi 100, 500, hingga 100.000, sebenarnya tidak menimbulkan masalah dalam transaksi sehari-hari. Bahkan, dengan kemajuan teknologi keuangan, masyarakat semakin jarang menggunakan uang tunai. Penggunaan kartu debit, kartu kredit, dan dompet digital telah menggantikan peran uang tunai dalam banyak transaksi, sehingga jumlah uang fisik yang dibawa pun semakin berkurang.
Dalam praktiknya, tidak ada pelaku ekonomi yang mengeluhkan denominasi mata uang yang ada sekarang. Rupiah dengan denominasi besar justru memiliki keuntungan dalam konteks pencegahan korupsi dan gratifikasi. Uang dalam jumlah besar sulit digunakan sebagai alat suap karena volumenya yang besar dan mudah dilacak. Mata uang dengan denominasi besar sering kali membuat transaksi ilegal, seperti suap, menjadi lebih rumit, dan inilah salah satu alasan mengapa pelaku korupsi lebih memilih menggunakan mata uang asing, seperti dolar AS.
Jika kita melihat biaya yang diperlukan untuk melakukan redenominasi, angka tersebut tidaklah kecil. Dari mulai persiapan teknis, kajian akademik, hingga penyusunan dan pengesahan undang-undang, semua ini memerlukan biaya besar yang akan dibebankan kepada negara. Tidak hanya itu, biaya tidak langsung seperti perubahan label harga pada barang, penyesuaian kontrak, dan perubahan sistem akuntansi juga akan membebani dunia usaha. Bahkan, proses penyesuaian ini diperkirakan memakan waktu hingga tiga tahun. Apakah kita benar-benar ingin menghabiskan sumber daya sebesar itu untuk sesuatu yang dampaknya tidak terlalu signifikan?
Dari segi pertumbuhan ekonomi, redenominasi rupiah tidak menawarkan solusi untuk masalah yang mendesak. Indonesia saat ini memerlukan peningkatan produktivitas dan perbaikan infrastruktur ekonomi agar dapat bersaing di pasar global. Langkah-langkah seperti meningkatkan kualitas jalan, listrik, irigasi, dan sumber daya manusia akan jauh lebih bermanfaat daripada sekadar mengubah angka pada mata uang.
Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Prabowo akan memprioritaskan redenominasi rupiah dalam kebijakan ekonominya? Sejauh ini, agenda ekonomi beliau lebih berfokus pada perbaikan infrastruktur dan peningkatan produktivitas nasional. Dengan latar belakang beliau yang pragmatis, tampaknya Presiden Prabowo akan lebih memilih kebijakan yang langsung berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi riil daripada sekadar langkah simbolik seperti redenominasi.
Redenominasi memang dapat memberikan kesan stabilitas moneter, tetapi stabilitas tidak bisa dicapai hanya dengan menyederhanakan angka. Stabilitas rupiah lebih bergantung pada pengendalian inflasi, perbaikan produktivitas, dan peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global. Jika inflasi kita lebih rendah dibandingkan negara-negara lain, nilai tukar rupiah akan semakin kuat. Hal ini tentu akan meningkatkan daya saing ekspor kita dan mengurangi ketergantungan pada impor. Redenominasi, sebaliknya, tidak memiliki dampak langsung terhadap faktor-faktor ini.
Selain perbaikan produktivitas, stabilitas ekonomi juga membutuhkan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang terkoordinasi dengan baik. Kebijakan fiskal yang efisien, seperti pengelolaan anggaran negara yang bijak, serta kebijakan moneter yang stabil, seperti pengendalian suku bunga dan inflasi oleh Bank Indonesia, jauh lebih efektif dalam menjaga kekuatan rupiah. Upaya menjaga defisit anggaran yang terkendali serta peningkatan pendapatan negara melalui reformasi perpajakan juga merupakan elemen penting dalam memastikan ekonomi kita tetap stabil. Tanpa adanya stabilitas dari sisi fiskal dan moneter, redenominasi hanyalah langkah teknis yang tidak memberikan dampak riil terhadap perekonomian.
Pelaku usaha yang kini masih berjuang untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar global tentu tidak membutuhkan beban tambahan dari proses redenominasi. Mengubah denominasi mata uang hanya akan menambah biaya dan kerumitan bagi pelaku bisnis, terutama UMKM yang mungkin tidak memiliki sumber daya untuk menyesuaikan diri dengan cepat. Ditambah lagi, di tengah upaya Indonesia untuk menjadi bagian dari Komunitas Ekonomi ASEAN, kita seharusnya fokus pada upaya-upaya yang meningkatkan efisiensi dan daya saing, bukan menambah kompleksitas melalui redenominasi.
Stabilisasi nilai tukar rupiah lebih baik dicapai melalui kebijakan ekonomi yang fokus pada penguatan fundamental ekonomi, bukan melalui manipulasi angka nominal. Produktivitas harus terus meningkat, inflasi harus ditekan, dan infrastruktur harus diperbaiki. Dalam konteks ini, redenominasi rupiah justru menjadi pengalihan perhatian yang tidak perlu dari masalah-masalah yang lebih mendesak.
Sebagai penutup, Presiden Prabowo seharusnya berpikir dua kali sebelum memutuskan apakah redenominasi rupiah layak untuk dilanjutkan. Banyak tantangan ekonomi yang harus dihadapi, dan redenominasi tidak akan memberikan solusi nyata untuk memperkuat ekonomi kita. Jika pemerintah benar-benar ingin memperkuat rupiah, maka fokusnya harus pada stabilitas inflasi, peningkatan produktivitas, kebijakan fiskal yang terukur, serta reformasi moneter, bukan pada mengubah angka pada mata uang.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)