Peran LSM dalam Gerakan Sosial: Aliansi atau Konfrontasi ?

Peran LSM dalam Gerakan Sosial: Aliansi atau Konfrontasi ?

Chinthia Azzahra. (Foto: Dok. Pribadi)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah entitas independen yang dibentuk secara sukarela oleh individu atau kelompok masyarakat untuk menjalankan misi di berbagai sektor, seperti pendidikan, lingkungan, kesehatan, serta hak asasi manusia. LSM berperan sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah, terutama dalam memperjuangkan kepentingan kelompok yang terpinggirkan atau isu-isu yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun sektor swasta. Dikenal karena independensinya, LSM tidak terikat secara langsung pada kontrol pemerintah atau korporasi, meskipun dalam situasi tertentu mereka dapat bermitra dengan keduanya untuk proyek-proyek tertentu. Sebagai organisasi nirlaba, tujuan utama LSM adalah menciptakan perubahan sosial yang konstruktif, bukan keuntungan finansial pribadi. Ruang lingkup aktivitas LSM sangat bervariasi, mulai dari permasalahan lokal hingga isu-isu global. Kebebasan dari pengaruh politik dan ekonomi memberikan LSM fleksibilitas untuk merespons dinamika sosial dengan cepat dan efektif. Namun demikian, LSM juga sering terlibat dalam proses legislasi dan kebijakan publik untuk mendorong perubahan struktural yang lebih luas. Kombinasi antara independensi dan keterlibatan aktif di dalam arena kebijakan menjadikan LSM sebagai aktor strategis dan berpengaruh dalam gerakan sosial.

            Gerakan sosial adalah usaha bersama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi untuk mendorong perubahan dalam masyarakat, baik itu di bidang sosial, politik, atau ekonomi. Biasanya, gerakan ini muncul karena adanya ketidakadilan, kesenjangan, atau masalah sosial yang dirasa perlu diatasi. Faktor-faktor seperti situasi sosial, ekonomi, dan politik yang tidak memuaskan sering kali menjadi latar belakang lahirnya gerakan ini, misalnya pelanggaran hak asasi manusia, ketidaksetaraan gender, masalah lingkungan, atau kemiskinan. Gerakan sosial bisa dipicu oleh berbagai hal, seperti kejadian penting, kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil, atau meningkatnya kesadaran masyarakat tentang suatu masalah melalui media dan teknologi komunikasi.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sering menjadi bagian penting dari gerakan sosial, dan beberapa bahkan mereka memimpinnya. LSM biasanya memiliki jaringan yang luas, pemahaman yang mendalam tentang masalah yang mereka perjuangkan, dan sumber daya yang cukup untuk mendorong aksi bersama. Melalui aksi damai, kampanye, atau upaya lobi politik, mereka mendukung kepentingan masyarakat, mendukung advokasi, dan mendorong perubahan kebijakan. Salah satu contoh gerakan sosial di mana LSM berperan penting adalah gerakan penolakan terhadap tambang emas di Solok Selatan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia).

            LSM memiliki peran yang bervariasi dalam hubungannya dengan pemerintah, yang bisa bersifat sebagai aliansi strategis atau sebagai bentuk konfrontasi yang lebih langsung. Dalam banyak kasus, LSM berupaya untuk menjalin kemitraan dengan pemerintah demi mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, LSM dapat memberikan informasi berharga dan pengalaman langsung dari komunitas yang mereka wakili, sehingga membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.

Disamping itu, ketika kebijakan pemerintah dianggap tidak adil atau merugikan, LSM tidak segan-segan untuk mengambil sikap konfrontatif. Mereka sering kali menjadi suara kritis yang menyoroti ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan pemerintah. Dalam situasi seperti ini, LSM menggunakan berbagai cara, seperti advokasi publik, kampanye di media, dan aksi protes, untuk menarik perhatian pada isu-isu penting yang sering diabaikan. Misalnya, jika ada kebijakan yang dapat merusak lingkungan atau mengancam hak asasi manusia, LSM akan berusaha menggalang dukungan masyarakat dan mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Dinamika antara LSM dan pemerintah menunjukkan bahwa peran LSM sangat tergantung pada kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang ada. Dengan demikian, LSM bisa berperan sebagai mitra yang konstruktif dalam proses pengambilan keputusan, sekaligus sebagai pengawas yang kritis ketika kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menggambarkan pentingnya LSM dalam masyarakat, di mana mereka tidak hanya berkontribusi untuk mendorong perubahan, tetapi juga bertindak sebagai penghubung antara aspirasi masyarakat dan kekuasaan pemerintah.

Dalam menentukan apakah mereka akan bersikap sebagai aliansi atau mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah, LSM umumnya mempertimbangkan sejumlah faktor penting, seperti:

Pertama, Stabilitas politik dan kondisi sosial sangat memengaruhi keputusan LSM untuk bekerja sama dengan pemerintah atau bersikap menentang. Ketika politik stabil dan pemerintah terbuka untuk berinteraksi, LSM biasanya lebih memilih untuk bermitra. Namun, jika pemerintah bersikap represif, tidak transparan, atau tidak mendengarkan aspirasi masyarakat, LSM merasa perlu untuk menjadi lebih kritis dan menantang kebijakan tersebut. Dalam situasi ini, LSM tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tetapi juga sebagai suara oposisi yang menyoroti ketidakadilan. Ketegangan antara pemerintah dan masyarakat mendorong LSM untuk mengadvokasi hak-hak warga secara lebih agresif, menggelar kampanye, dan bahkan mengorganisir protes untuk menuntut perubahan. Dengan demikian, pilihan LSM antara berkolaborasi atau berkonfrontasi mencerminkan keadaan yang lebih luas dalam masyarakat, termasuk tingkat ketidakpuasan warga dan seberapa jauh pemerintah mau mendengarkan suara rakyat.

Kedua, LSM yang dapat berinteraksi dengan pengambil kebijakan cenderung lebih memilih strategi kolaboratif, karena memungkinkan mereka untuk berbicara dan bernegosiasi untuk mempengaruhi secara langsung kebijakan. Dalam keadaan seperti ini, mereka memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menyampaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Sebaliknya, LSM yang terpinggirkan dan tidak memiliki akses seringkali menggunakan taktik konfrontatif. Mereka cenderung melakukan protes atau kampanye untuk menarik perhatian pada masalah yang dianggap penting ketika suara mereka diabaikan. Oleh karena itu, strategi yang dipilih oleh LSM bergantung pada seberapa banyak akses yang mereka miliki dan keadaan sosial di sekitar mereka.

Ketiga, ada sejumlah LSM yang didirikan untuk menantang keadaan saat ini dan berjuang untuk mengubah sistem yang dianggap tidak adil. Dalam kebanyakan kasus, LSM ini terlibat aktif dalam aksi protes dan kampanye untuk menarik perhatian pada isu-isu penting. Sebaliknya, ada LSM lain yang lebih suka berkonsentrasi pada reformasi dari dalam sistem. Mereka bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga lainnya untuk mendorong perubahan kebijakan secara bertahap dengan tujuan menghasilkan perbaikan yang efektif tanpa menghancurkan sistem yang sudah ada.

Di Sumatera Barat, LSM berhasil menerapkan strategi aliansi dalam gerakan sosial melalui rehabilitasi Pasar Raya Padang. LSM seperti PBHI Sumbar dan AMPEPARA aktif berperan sebagai mediator antara pedagang dan pemerintah kota yang terlibat dalam konflik terkait kebijakan pembangunan pasar pascagempa bumi 2009. Dalam situasi ini, LSM menggalang dukungan dari berbagai pihak, termasuk DPRD dan Komnas HAM, untuk memperjuangkan hak-hak pedagang yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil. Melalui serangkaian aksi protes dan proses negosiasi, mereka menciptakan ruang bagi pedagang untuk menyampaikan tuntutan mereka dan berupaya mengubah kebijakan yang merugikan secara ekonomi. Meskipun masih ada tantangan, kolaborasi antara LSM dan komunitas pedagang menunjukkan bagaimana strategi aliansi dapat memperkuat posisi masyarakat sipil dalam menghadapi pemerintah.

LSM juga pernah berhasil menggunakan strategi konfrontasi di Sumatera Barat, yaitu oleh Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB). Koalisi ini, yang terdiri dari LSM, mahasiswa, akademisi, dan pers, aktif membongkar kasus korupsi di daerah tersebut antara 2010-2013. Pada 18 Februari 2016, Aliansi Masyarakat Sipil Sumbar mengadakan demonstrasi di depan gedung DPRD Sumatera Barat, menuntut pemerintah untuk serius menangani korupsi. Meskipun tidak semua LSM terlibat, aksi ini menunjukkan kesiapan LSM di Sumatera Barat untuk menerapkan strategi konfrontasi demi memperjuangkan hak masyarakat dan melawan korupsi.

*Penulis: Chinthia Azzahra (Mahasiswi Depertemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian,
OTT Itu Penting: Sebuah Bantahan untuk Capim KPK Johanis Tanak
Pada tahun 2024 ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar di 10.846 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah pemilih
Menolak Politik Uang: Menjaga Integritas Demokrasi di Sumatra Barat
Konsep multiverse atau "alam semesta jamak" telah lama menarik perhatian ilmuwan dan filsuf sebagai cara untuk memahami potensi keberadaan
Multiverse: Dimensi Paralel dalam Sains dan Budaya Populer
Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh
Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat
Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat
Amarah Tan Malaka: Umpatan dalam Bahasa Minang kepada Kolonial Belanda
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad berkembang di tengah masyarakat Arab Jahiliah yang akidah dan moralnya sangat rusak, sehingga
Kejayaan Ilmu Pengetahuan Islam: Inspirasi dari Masa Lalu untuk Kebangkitan Masa Kini