Telaah Kritis: Hari Kesaktian Pancasila dan Pilkada Sumatera Barat 2024

Pilkada di Sumatra Barat tahun 2024 telah menghidupkan kembali diskursus panjang tentang demokrasi dan oligarki, sebuah ironi di tengah

Dharma Harisa.

Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tahun dengan gema retorika yang tak kunjung usang: ideologi bangsa, penjaga persatuan, dan penolak radikalisme. Setiap 1 Oktober, pidato-pidato berisi glorifikasi nilai-nilai luhur Pancasila menggema dari panggung politik, menyelubungi realitas sosial yang semakin kompleks. Tapi di balik itu, dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumatera Barat 2024, apakah Pancasila masih sakti? Ataukah, seperti yang dikritik oleh para filsuf politik, kita terjebak dalam siklus politik yang tidak lebih dari permainan kekuasaan oligarki dengan topeng ideologi negara?

Dalam konteks ini, tulisan ini akan mencoba menelaah lebih dalam makna Pancasila dalam lanskap politik kontemporer Sumatera Barat dengan sentuhan filsafat, mengkritisi demokrasi lokal, dan menelusuri bagaimana demokrasi yang sejatinya adalah instrumen rakyat, justru terperangkap dalam narasi kekuasaan elit dan oligarki. Dengan meminjam teori kritis dari Karl Marx, Antonio Gramsci, dan Michel Foucault, serta filsafat politik kontemporer, kita akan melihat apakah Pilkada Sumatera Barat 2024 benar-benar menjadi cerminan nilai Pancasila, atau sekadar arena kekuasaan oligarkis yang menghisap energi rakyat.

Secara filosofis, Pancasila diletakkan sebagai dasar ideologi negara yang mengandung lima sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun, dalam praktik politik, apakah sila-sila ini sungguh dijunjung tinggi, atau justru dijadikan sekadar retorika politik untuk meraih suara?

Salah satu kritik mendasar terhadap implementasi Pancasila dalam politik modern, termasuk dalam Pilkada 2024, adalah bagaimana Pancasila sering kali digunakan secara selektif. Kandidat sering menggunakan retorika "Kesaktian Pancasila" untuk mengklaim diri sebagai pembela nilai-nilai bangsa. Namun, jika kita kembali pada Gramsci dan teori hegemoninya, elit politik sering kali menciptakan narasi yang membuat rakyat percaya bahwa mereka (elit) adalah perwakilan sejati dari kepentingan rakyat. Padahal, seperti dikatakan oleh Gramsci, hegemoni adalah alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mendorong perubahan struktural yang sejati.

Dalam konteks Pilkada Sumatera Barat, kita mungkin akan menyaksikan para kandidat berbicara tentang pembangunan berbasis keadilan sosial—janji yang seolah diambil langsung dari sila kelima Pancasila. Namun, benarkah mereka berkomitmen pada cita-cita tersebut? Di sinilah kita perlu kembali pada teori kritis Marx tentang kelas sosial. Dalam demokrasi kapitalistik, elite politik bukanlah representasi rakyat, melainkan kepanjangan tangan dari kelas kapitalis yang berkuasa. Pilkada menjadi panggung di mana oligarki lokal saling bertarung, sementara rakyat hanya menjadi alat untuk mencapai kekuasaan.

Keadilan sosial, sebagaimana diatur dalam sila kelima Pancasila, menuntut distribusi sumber daya yang adil dan merata di antara seluruh warga negara. Namun, jika kita melihat realitas sosial Sumatera Barat, kita menyaksikan ketimpangan sosial yang semakin tajam. Data BPS Sumatera Barat menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi, yang diukur dengan Gini Ratio, berada di angka yang mengkhawatirkan. Bahkan, ketimpangan akses terhadap sumber daya ekonomi dan pendidikan menjadi akar permasalahan yang memperparah kemiskinan di pedesaan.

Dalam konteks Pilkada 2024, para kandidat mungkin akan menjanjikan pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi inklusif. Namun, seperti yang dicatat oleh John Rawls dalam karyanya A Theory of Justice (1971), keadilan tidak hanya ditentukan oleh hasil yang adil, tetapi juga oleh proses yang adil. Di Sumatera Barat, proses politik sering kali dibayangi oleh praktik politik uang, di mana keadilan sosial menjadi jargon yang hampa makna. Rakyat dipaksa memilih calon yang tidak sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan mereka, karena kandidat yang memiliki akses pada sumber daya finansial yang besar hampir selalu menjadi pemenang.

Ini membawa kita kembali pada kritik Foucault tentang relasi kuasa. Dalam setiap Pilkada, termasuk di Sumatera Barat, kuasa tidak hanya mengalir secara vertikal dari atas ke bawah, tetapi juga melibatkan praktik-praktik mikro kekuasaan yang memengaruhi cara rakyat berpartisipasi dalam politik. Rakyat mungkin merasa memiliki kebebasan memilih, tetapi kebebasan ini sering kali termanipulasi oleh media, narasi politik identitas, dan kampanye yang dibiayai oligarki.

Di Sumatera Barat, politik identitas berbasis agama dan etnisitas telah menjadi alat yang efektif untuk meraih dukungan. Sejarah panjang hubungan erat antara agama Islam dan adat Minangkabau menjadikan identitas ini sangat mudah dipolitisasi. Dalam setiap kontestasi Pilkada, para kandidat cenderung menonjolkan identitas keislaman mereka untuk mengamankan suara mayoritas Muslim. Sayangnya, seperti yang diingatkan oleh Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations (1996), politik identitas cenderung memperdalam polarisasi dan mengabaikan isu-isu fundamental, seperti keadilan ekonomi dan sosial.

Bahkan lebih jauh, politik identitas di Sumatera Barat sering kali digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu krusial seperti kemiskinan, korupsi, dan kerusakan lingkungan. Dengan menggunakan simbol agama, para politisi berusaha membungkus diri dalam kesucian moral, padahal praktik mereka bertentangan dengan prinsip keadilan sosial Pancasila. Seperti yang dikatakan oleh Erich Fromm dalam Escape from Freedom (1941), manusia cenderung mencari "pelarian" dari kebebasan dengan mengikat diri pada identitas kolektif yang memberi mereka rasa aman, meskipun hal itu sering kali memanipulasi kesadaran mereka.

Salah satu isu yang hampir selalu dilupakan dalam setiap kontestasi politik adalah isu lingkungan hidup. Di Sumatera Barat, krisis ekologis seperti deforestasi, degradasi lahan, dan perubahan iklim semakin memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat adat dan pedesaan. Menurut lembaga pemantau, lebih dari 50% hutan di Sumatera Barat telah rusak akibat pembalakan liar dan ekspansi perkebunan. Para politisi jarang, jika pernah, menyentuh isu ini dalam kampanye mereka.

Dalam konteks Pancasila, ini menjadi paradoks besar. Sila kedua yang menekankan "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" seharusnya menuntut perhatian yang lebih besar terhadap isu lingkungan. Dalam pandangan filsafat ekologi, yang dipopulerkan oleh Arne Naess dengan konsep deep ecology, manusia adalah bagian dari ekosistem, bukan penguasa atasnya. Jika para politisi sungguh-sungguh menjunjung tinggi Pancasila, mereka seharusnya menempatkan keadilan ekologis sebagai agenda utama. Namun, sekali lagi, politik pragmatis lebih sering mengesampingkan isu ini demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Pada intinya, Pilkada Sumatera Barat 2024 adalah ujian bagi demokrasi lokal. Namun, demokrasi yang seharusnya menjadi instrumen partisipasi rakyat kerap kali dibajak oleh oligarki. Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) menyebut bahwa oligarki bukan sekadar dominasi ekonomi, tetapi juga kontrol politik. Dalam konteks Sumatera Barat, kita dapat melihat bagaimana oligarki lokal mendominasi Pilkada dengan kekuatan finansial yang luar biasa.

Pancasila, dalam gagasan idealnya, menuntut kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (sila keempat). Namun, demokrasi Indonesia, termasuk di Sumatera Barat, telah bertransformasi menjadi plutokrasi—sistem di mana kekuasaan dikendalikan oleh segelintir orang kaya. Rakyat dipaksa memilih di antara calon yang tidak benar-benar mewakili mereka, tetapi mewakili kepentingan para oligark.

Pada akhirnya, Hari Kesaktian Pancasila harus menjadi momen refleksi kritis tentang arah politik kita. Apakah Pancasila masih sakti, atau hanya tersisa dalam retorika yang menutupi realitas ketimpangan, polarisasi, dan krisis lingkungan? Pilkada Sumatera Barat 2024 akan menjadi cerminan dari sejauh mana kita telah tersesat dari nilai-nilai luhur Pancasila. Fakta bahwa kita masih bergumul dengan oligarki, politik identitas, dan ketidakadilan sosial menunjukkan bahwa Pancasila, dalam realitas politik kita, telah kehilangan kesaktiannya. Jika kita tidak segera menyadari ini, Pancasila hanya akan menjadi mitos, sebuah simbol tanpa substansi yang terus dirayakan tanpa benar-benar dipraktikkan.

Baca Juga

Patuhi Regulasi Netralitas, ASN Pemprov Sumbar Diminta jadi Contoh Jaga Suasana Kondusif Pilkada
Patuhi Regulasi Netralitas, ASN Pemprov Sumbar Diminta jadi Contoh Jaga Suasana Kondusif Pilkada
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang bersama komunitas-komunitas kolektif di Kota Padang menggelar "Climate Fest" untuk mengangkat suara
"Pilah Tu Piliah": Suara Anak Muda Padang untuk Pilkada Berkeadilan Lingkungan
Sebanyak 1.109 personel gabungan Polda Sumatra Barat diberangkatkan ke polres jajaran untuk mengamankan Tempat Pemungutan Suara (TPS)
Polda Sumbar Kerahkan 1.109 Personel Amankan TPS Pilkada Serentak 2024
Bawaslu Padang Siap Tertibkan APK Selama Masa Tenang Pilkada 2024
Bawaslu Padang Siap Tertibkan APK Selama Masa Tenang Pilkada 2024
Tercatat ada 665.126 daftar pemilih tetap (DPT) akan memberikan suaranya di 1.487 TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang tersebar di 11 kecamatan
KPU Padang Targetkan Partisipasi Pemilih 77,5 Persen di Pilkada 2024
Perihal Peningkatan Transformasi Digital, Annisa Suci Ramadhani: Memastikan Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi Setiap Nagari di Dharmasraya
Perihal Peningkatan Transformasi Digital, Annisa Suci Ramadhani: Memastikan Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi Setiap Nagari di Dharmasraya