Presiden Joko Widodo akan segera mengakhiri masa jabatannya setelah dua periode menjabat "orang nomor satu" di Indonesia. Bagaimanapun, Jokowi telah menjadi salah satu "pembesar" dalam sejarah Republik ini.
Jokowi adalah presiden ketujuh dalam sejarah kepresidenan Indonesia; presiden kelima dalam kurun reformasi; dan presiden kedua hasil pemilihan langsung. Sepuluh tahun memimpin negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, Jokowi sudah tentu tidak hanya meninggalkan cukup banyak warisan monumental, tetapi juga setumpuk kontroversi, termasuk yang disorot publik pada masa belakangan ini. Tidak terkecuali dalam pandangan masyarakat Sumatera Barat.
Sumbar dan Jokowi
Berbeda dengan kondisi sepuluh tahun sebelumnya, dalam satu dasawarsa terakhir, daerah ini terkesan "beroposisi" dengan pemerintah pusat (Jokowi). Hal itu terutama karena perbedaan lanskap politik antara Sumbar dan nasional dan para aktor politik gagal memainkan peran sebagai "jembatan" atau "perantara" relasi konstruktif daerah-pusat.
Alih-alih menjembatani, menjemput dan mengakses secara maksimal kepentingan daerah ke pusat, para aktor politik (lokal) malah seolah dalam posisi "mati langkah" karena terjebak pada pilihan politik dalam corak permainan kekuasaan tertentu yang dalam sembilan atau sepuluh tahun terakhir justru "menjauhkan" Sumbar dan bahkan Minang dari pusaran kekuasaan di pusat.
Dalam retrospeksi, pada Pilpres 2014, rakyat Sumbar memilih Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa. Prabowo diasosiasikan dekat dengan Islam berbanding Jokowi (yang berpasangan dengan Jusuf Kalla) yang dipersepsi "jauh" dari corak politik orang Minang. Prabowo mendapatkan sekitar 77 persen suara, sedangkan Jokowi yang menang secara nasional, hanya memperoleh 23 persen suara di Sumbar.
Selama lima tahun itu, Sumbar memilih jalan yang "agek lain" dengan penguasa politik di pusat, tidak hanya karena Prabowo memilih berada di luar pemerintahan Jokowi-JK, tetapi juga karena (pilihan) sikap kontra elit lokal pasca Pilpres 2014. Sebagaimana bisa dibaca dari berbagai jejak digital, sikap-sikap elit PKS, Gerindra, dan PAN di tingkat lokal (bahkan Gubernur sendiri) dan nasional, misalnya, mencerminkan corak politik "antitesa" Sumbar dan bahkan Minang pada Jokowi atau pemerintah pusat.
Kontestasi politik Pilkada Jakarta 2017 saja bahkan juga mempengaruhi suasana "kebatinan" politik orang Minang. Kondisi polarisasi yang ditandai penguatan politik identitas turut mempengaruhi "psikologi" (sosial politik) orang Minang, termasuk di Sumbar. Mereka, termasuk kalangan ulama, bahkan turut berduyun-duyun ke Ibukota memprotes Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dianggap telah menista Islam, sementara rezim berkuasa dinilai tidak mengutuknya dan PDIP bahkan membelanya.
Tidak heran, pada saat itu, Ahok-Jokowi-PDIP dianggap sebagai satu paket politik yang tidak "nyambung" dengan spektrum politik Minang dan Islam politik pada umumnya.
Pada Pilpres 2019, sikap "oposisi" masyarakat Sumbar pada penguasa politik di pusat makin kuat. Prabowo yang menjadi capres unggulan mereka menang mutlak di daerah ini. Suara Jokowi (berpasangan dengan Ma'ruf Amin) tersisa 14 persen saja di Sumbar. Prabowo (berpasangan dengan Sandiaga Uno) sapu bersih hampir semua kabupaten dan kota, kecuali Kepulauan Mentawai. Partai Gerindra, PKS dan PAN pun mendapat efek elektoral signifikan.
Suasana menjadi berubah ketika di tingkat nasional Prabowo justru bergabung ke dalam Kabinet Jokowi yang menang Pilpres 2019 untuk jabatan periode keduanya. Ketua Gerindra itu menjadi Menteri Pertahanan. Banyak orang Minang -- sebagaimana banyak pendukung Prabowo di daerah lainnya --kecewa dan menganggapnya sebagai "pengkhianat".
Menariknya, secara koinsidensi muncul Anies Baswedan sebagai tokoh baru di tingkat nasional yang dianggap dekat dengan spektrum politik "antitesa" terhadap pemerintah pusat . Tampilnya Anies sejak menjadi Gubernur Jakarta dan terutama pasca Pilpres 2019 seolah memberikan harapan pada kelompok "oposisi," termasuk di daerah ini. Pasca 2019, secara perlahan, popularitas Anies melewati Prabowo di Sumbar.
Puncaknya pada Pilpres 2024. Tampilnya tiga pasangan calon, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, turut mengkristalkan pilihan orang Minang. Mayoritas warga Sumbar memilih Anies dan meninggalkan Prabowo karena dianggap sebagai "proxy" Jokowi. Tapi lagi-lagi pilihan utama rakyat Minang kalah secara nasional. Prabowo-Gibran unggul dalam satu putaran.
Menariknya, ada argumen baru yang seolah mendasari pilihan Minang dalam Pilpres 2024. Mereka tak lagi terpaku pada isu politik identitas sebagaimana pada dua pilpres sebelumnya. Argumen-argumen bercorak universal terkait isu politik dinasti, politik uang, pembegalan konstitusi dan utang luar negeri (umpamanya) telah pula dijadikan dasar menggugat koalisi Prabowo-Jokowi. Para aktivis setempat, bahkan hingga Pilpres usai, masih terus memberi tajuk "Sumbar Melawan" atas segala bentuk kemerosotan demokrasi pada fase akhir pemerintahan Jokowi.
Warisan Fisik
Bagaimanapun, presiden ketujuh itu telah meninggalkan sejumlah jejak penting di daerah ini, kalau jejak dimaksud dimaknai sebagai peninggalan pembangunan fisik. Hal itu terutama terlihat pada periode pertama Jokowi. Di antaranya kawasan wisata Mandeh, Kereta Api Bandara Minangkabau, Bandara Mentawai, jalan tol Padang Sicincin sebagai bagian dari proyek tol Padang-Pekanbaru dan rehabilitasi jalan Lembah Anai.
Jalan tol Padang-Sicincin, umpamanya, tentu akan menjadi proyek memorial Jokowi di masa depan, walaupun proses penyelesaiannya jauh di bawah target. Inilah jalan tol pertama di Sumbar terlepas bahwa sejak semula banyak pihak di daerah ini menolak salah satu proyek unggulan pemerintah pusat itu.
Kalau saja proyek ini bisa diresmikan pada akhir masa kepresidenan Jokowi, hal itu tentu akan menjadi warisan fisik yang bernilai dan membuka peluang untuk memacu ketertinggalan daerah. Waktu tempuh Padang ke Pekanbaru, umpamanya, tentu akan lebih pendek, apalagi jalan tol dari arah ibukota propinsi tetangga itu juga sudah hampir sampai pula di perbatasan Sumbar, tepatnya XIII Koto Kampar.
Memang kalau dibandingkan daerah-daerah lain, termasuk daerah di mana Jokowi juga kalah dalam dua Pilpres sebelumnya, gerak pembangunan fisik Sumbar yang selama ini dianggap minim sumber daya alamnya itu terkesan kurang kencang, terutama pada periode keduanya. Dalam hal ini, seolah ada hambatan "psikologis" tertentu.
Untuk menyongsong tantangan ke depan, upaya-upaya memperbaiki corak hubungan pusat-daerah yang "canggung" seperti ini tentu harus dilakukan. Harapan itu tertumpang kepada (terutama) hasil pilkada Gubernur sekarang ini yang notebene diparalelkan dengan perubahan peta politik di tingkat nasional dan mesti terus diadaptasikan untuk masa-masa selanjutnya.
Dr. Israr Iskandar, dosen sejarah politik Universitas Andalas