Urgensi Berpikir Kefilsafatan dalam Pengembangan Keilmuan di Indonesia

Urgensi Berpikir Kefilsafatan dalam Pengembangan Keilmuan di Indonesia

Dedek Wiradi (Foto: Dok. Pribadi)

Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk masyarakatnya yang ber-IQ rendah. Menurut laporan dari World Population Review 2022, rata-rata IQ orang Indonesia yaitu 78,49, angka tersebut sangat rendah. Jika kita tinjau dari data di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa penduduk Indonesia tergolong ke dalam tingkat IQ rendah atau keterbelakangan mental.

Hal ini tentu berkaitan dengan rasa keingintahuan seseorang. Manusia dengan tingkat IQ rendah tentu memiliki rasa keingintahuan yang rendah pula. Manusia yang tidak memiliki rasa keingintahuan tinggi, maka orang tersebut mudah merasa puas dengan apa yang diketahuinya.

Sebelum jauh membahas tentang bagaimana urgensi berpikir kefilsafatan dalam pengembangan keilmuan saat ini, penulis perlu memaparkan fakta bahwa Indonesia masih banyak memiliki sumber daya manusia yang sangat rendah. Contohnya yaitu kurangnya membaca, sikat apatis, dan tidak peduli lingkungan sekitar. Tentu hal ini akan berdampak buruk untuk perkembangan cara berpikir di masyarkat.

Lalu, ada beberapa prinsip dan kebiasaan buruk masyarakat Indonesia yang masih mengakar saat ini di antaranya yaitu:

Pertama, tidak open minded. Manusia yang tidak open minded, memiliki sifat tidak menerima pendapat orang lain, tidak menerima pemikiran-pemikiran baru, bahkan hal itu padahal benar, namun orang yang memiliki pemikiran tertutup selalu merasa mereka benar.

Kedua, sifat malas. Acap kali orang Indonesia berada di zona nyamannya. Tidak ingin upgrade knowledge-nya, malas untuk adaptasi, malas untuk bergerak dalam hal-hal diskusi ilmiah maupun tidak.

Ketiga, tidak mau belajar berpikir kritis. Masih banyak orang Indonesia yang kesusahan untuk berpikir kritis, bukan karena tidak bisa, namun mereka kebanyakan tidak mau belajar. Dominan tidak ingin menambah beban pikiran. Mereka menganggap dengan berpikir kritis membuat kepala mereka pusing dan menambah beban kehidupan.

Di samping permasalahan tentang berpikir yang penulis sampaikan di atas, perlunya upaya untuk berpikir kefilsafatan dalam pengembangan keilmuan saat ini. Dengan berpikir filsafat, hal ini akan memberikan dampak positif bagaimana hal-hal yang harus dikritisi dalam keilmuan yang berkembang saat ini. Apakah keilmuan yang ada di masyarakat seperti ruang akademik sudah berkembang dengan baik? Atau merosot jauh? atau bahkan salah kiprah dalam penerapannya?

Sebab, menurut Bertrand Russel seorang filsuf ternama Britania Raya, filsafat yaitu tidak lebih dari usaha menjawab pertanyaan terakhir. Tidak secara dangkal dan dogmatis seperti yang biasa dilakukan dalam keseharian, tetapi secara kritis:

Tentu hal ini menjadi PR penting untuk kaum intelektual, betapa pentingnya berpikir kefilsafatan dalam pengembangan keilmuan saat ini. Orang yang melakukan hal tersebut akan menciptakan ruang berpikir yang substansi, juga akan memberi dampak yang nyata terkait kritik dan masukan tentang bagaimana seharusnya keilmuan itu diterapkan sebelum berkembang pesat di masyarakat.

Dengan berpikir kefilsafatan, dapat memberikan sumbangsih pemikiran baru terkait gagasan, evaluasi, bahkan masukan tentang pengembangan keilmuan yang ada di Indonesia. Contohnya, penamaan “Fakultas Vokasi” yang ada di salah satu kampus di Indonesia. Jika kita berpikir dengan sudut kefilsafatan, kita akan menemukan beberapa pertanyaan, yaitu: Apa sebenarnya Vokasi? Kenapa harus dinamakan Fakultas Vokasi? Bukankah “Vokasi” tidak termasuk dalam fokus keilmuan yang menjadi syarat penamaan sebuah Fakultas?

Nah, dengan beberapa pertanyaan yang dihasilkan dari berpikir filsafat di atas, tentu dapat melahirkan kritikan dan gagasan yang substansial. Hal tersebut juga akan menjadi bahan pertimbangan untuk pihak terkait dalam melakukan penamaan yang benar untuk sebuah fakultas yang ada di kampus Indonesia.

Sederhananya, berpikir kefilsafatan sangat urgensi posisinya dalam pengembangan keilmuan di Indonesia, alih-alih bukan malah sekadar sebuah pemikiran yang tidak berguna, namun dengan berpikir kefilsafatan dapat melahirkan gagasan baru, kritikan, bahkan evaluasi yang sangat berguna untuk keilmuan yang ada di Indonesia saat ini.

*Penulis: Dedek Wiradi (Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya FIB Universitas Airlangga)

Baca Juga

Orientalisme telah lama menjadi topik diskusi dalam kajian keislaman, terutama ketika dikaitkan dengan motif-motif politik dan misionaris
Kritik Orientalisme: Membongkar Bias Barat terhadap Dunia Islam
Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian,
OTT Itu Penting: Sebuah Bantahan untuk Capim KPK Johanis Tanak
Pada tahun 2024 ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar di 10.846 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah pemilih
Menolak Politik Uang: Menjaga Integritas Demokrasi di Sumatra Barat
Konsep multiverse atau "alam semesta jamak" telah lama menarik perhatian ilmuwan dan filsuf sebagai cara untuk memahami potensi keberadaan
Multiverse: Dimensi Paralel dalam Sains dan Budaya Populer
Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh
Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat
Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat
Amarah Tan Malaka: Umpatan dalam Bahasa Minang kepada Kolonial Belanda