Enak jadi anggota DPRD nanti. Banyak uangnya. Anggarannya lumpsum. Tak lagi at cost.” Itu kata belasan senior, sahabat, dan teman yang bekerja di Pemko Payakumbuh ataupun Pemkab Limapuluh Kota, ketika tahu saya terpilih sebagai anggota DPRD Limapuluh Kota, Sumatera Barat periode 2024-2029.
Mendengar cerita enak menjadi anggota DPRD karena sistem pertanggungjawaban dan pembayaran keuangan perjalanan dinasnya menggunakan mekanisme lumpsum dan tak lagi at cost, saya hanya angguk-angguk balam. Sambil meminta para senior dan sahabat, agar saya tetap dibantu, dibackup, ditunjuk ajari, diberi masukan, dan dibimbing.
Maklum, saya pendatang baru di DPRD. Terpilih dalam Pemilu 2024 bukan karena hebatnya saya. Bukan pula karena hebatnya keluarga. Tapi lebih karena bantuan tulus dari masyarakat dan orang-orang baik. Yang entah dengan apa, dapat saya balas kebaikan mereka. Sampai-sampai mereka rela iuran dan tidak bekerja seharian demi mengantar saya ke gedung DPRD, untuk ucapkan sumpah jabatan pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Kepada mereka orang-orang baik dan tulus ini, termasuk mereka yang mengirim doa dan bantuan dari kejauhan, saya nyaris tak bisa berkata apa-apa. Selain terharu dan meneteskan air mata. Hanya pepatah klasik nan sering diucapkan Buya Hamka yang bisa saya ulang-ulang dalam hati: hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua.
Saya yakin dan percaya, ratusan orang baik yang spontan mengantar saya ke gedung DPRD, tidak punya niat euforia. Mereka hanya meluapkan rasa gembira. Setelah sepuluh tahun lamanya, tak ada putra-putri Kecamatan Situjuah Limo Nagari terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota. Sehingga jangankan berbicara pembangunan adil dan merata, untuk upacara 17 Agustusan saja, tak ada anggota dewan yang membacakan naskah proklamasinya.
Lantaran itulah, masyarakat Situjuah Limo Nagari, orang-orang baik dan tulus yang saya sebutkan tadi, berbondong-bondong mengantar saya ke gedung DPRD. Mereka ingin menunjukkan kepada publik bahwa Situjuah Limo Nagari yang pernah berkontribusi besar untuk perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ditandai dengan meletusnya Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 sebagai mata rantai PDRI Bela Negara, berhak memiliki “wakilnya” di DPRD Limapuluh Kota.
Tentu saja, wakil rakyat yang diinginkan masyarakat itu seperti lagu Iwan Fals. Wakil rakyat yang betul-betul merakyat. Bukan sekadar datang, duduk, dengar, diam, duit, jalan-jalan, dan selfie bercelana pendek. Bukan wakil rakyat yang setelah dipilih, tak pernah muncul lagi. Bukan pula wakil rakyat yang sibuk memikirkan jabatan di kafe-kafe mewah, tapi malas temui rakyat saat kampungnya dilanda bencana.
Lumsump; Enak Tapi Berakhir
Awalnya, saya tidak terlalu memikirkan istilah lumpsum dan at cost. Karena sudah terbiasa bekerja dengan anggaran yang kadang berlebih dan sering pula kosong melompong. Saat kampanye pun, lebih banyak ditolong orang baik. Makanya, saya nikmati saja segala dinamika hidup. Tak saya pikirkan betul, apakah nanti benar enak duduk di DPRD. Atau hanya ceritanya yang enak. Tahu-tahunya tak enak.
Perhatian saya soal istilah lumpsum dan at cost mulai tercurah, saat dua senior Partai Golkar Sumatera Barat, yakni Haji Khairunnas yang Bupati Solok Selatan dan Haji Safaruddin Dt Bandaro Rajo yang Bupati Limapuluh Kota, bercerita pengalaman pribadi mereka, dalam dua kesempatan berbeda. Menurut Haji Khairunnas dan Haji Safaruddin yang insyallah akan sama-sama terpilih lagi sebagai bupati, sebelum menjadi kepala daerah, mereka sudah berkali-kali menjadi anggota DPRD.
Dan kata mereka pula, menjadi anggota DPRD periode 2024-2029, akan jauh lebih beruntung dari periode sebelumnya, karena sistem anggarannya menggunakan sistem lumpsum. Atau tak lagi at cost. “Bagaimana enaknya sistem lumpsum itu, cobalah nanti. Kami hanya berpesan kepada kita semua, banyak-banyaklah bersyukur. Dan jangan pernah sakiti hati rakyat yang sudah memilih,” pesan Khairunnas dan Safaruddin.
Mendengar pesan tersebut, saya diam-diam mempelajari dan bertanya beda perjalanan dinas sistem lumpsum dengan sistem at cost. Ternyata, perjalanan dinas sistem lumpsum adalah perjalanan dinas yang seluruh komponen biayanya, mulai dari uang harian; biaya transportasi; biaya penginapan; dan uang representasi perjalanan dinas, dibayar di muka sekaligus dan tanpa perlu bukti kwitansi. Cukup dengan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD).
Dulu, perjalanan dinas sistem lumpsump sempat berlaku untuk ASN dan kepala daerah. Namun, dalam kurun delapan sampai sepuluh bulan terakhir, terhitung sejak pengujung 2023, sistem lumpsum ini cuma berlaku untuk pimpinan dan anggota DPRD. Sedangkan untuk ASN dan kepala daerah, sistem perjalanan dinasnya adalah at cost atau biaya riil. Dimana, seluruh biaya atau komponen perjalanan dinas, dibayarkan atau dikeluarkan sesuai bukti pengeluaran yang sah.
Walau belum pernah mencoba perjalananan dinas DPRD dengan sistem lumpsum, tapi saya akui tanpa kemunafikan, bahwa saya tentu suka sistem lumpsum ketimbang at cost. Paling tidak, sisa uang yang didapat dari perjalanan dinas sistem lumpsum, bisa pula digunakan untuk membantu mereka yang sedang dirundung kesusahan. Untuk urusan sosial dan kemanusiaan. Untuk pemuda dan olahraga. Juga untuk relawan yang telah berjuang mati-matian.
Sayang sekali, cerita enak tentang sistem lumpsum rupanya sudah berakhir sebelum saya masuk ke gedung DPRD. Ya, tiga hari sebelum saya mengucapkan sumpah dan janji, senior saya di Kabupaten Tanahdatar, Anton Yondra, yang sudah tiga kali duduk di DPRD setempat, mengirim salinan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 12 P/HUM/2024 tanggal 11 Juni 2024, melalui sebuah grup WhatsApp kader Partai Golkar.
Putusan MA itu terkait dengan perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional. Permohonan uji materiil itu diajukan Eko Sentosa, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pangkalpinang, Bangka Belitung.
Saat memposting putusan MA tersebut, Anton Yondra mengucapkan selamat tinggal Perpres 53/2003 karena memang Perpres inilah yang menjadi dasar hukum pembayaran perjalanan dinas DPRD menggunakan sistem lumpsum. Mengomentari itu, Ketua Partai Golkar Limapuluh Kota Doni Ikhlas yang sebentar lagi menjadi ketua DPRD defenitif, menulis emoticon tersenyum.
Penasaran Perkara Perpres 53/2023
Lantaran masih penasaran dengan salinan putusan MA Nomor 12 P/HUM/2024 tanggal 11 Juni 2024 yang diposting Anton Yondra, saya baca lagi putusannya. Ternyata, dalam putusan tersebut, MA melalui Majelis Hakim yang diketuai Dr. Irfan Fachruddin, S.H., dengan anggota Dr. Cerah Bangun, S.H., M.H., dan Dr. H. Yosran, S.H., M.Hum, mengabulkan permohonan uji materi Perpres 53/2003 yang diajukan Eko Santosa, mantan PPTK di Sekretariat DPRD Bangka Belitung.
Tidak hanya mengabulkan “gugatan” atau permohonan Eko Santosa, MA juga menyatakan Perpres 53/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Diantaranya, UU 30/ 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; UU 23/ 2014 tentang Pemda; UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan PP 12/ 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Selain menyatakan Perpres 53/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi dan karenanya tidak sah atau tidak berlaku untuk umum. Mahkamah Agung melalui Majelis Hakim yang dipimpin Dr Irfan Fachruddin, memerintahkan kepada termohon, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia mencabut Perpres 53/2023 tentang Perubahan Atas Perpres 33/202 tentang Standar Harga Satuan Regional. Perpres 53/2023 inilah yang menjadi dasar hukum pembayaran perjalanan dinas DPRD dengan sistem lumpsum.
Sejujurnya, saya kenal dengan Dr Irfan Fachruddin, Ketua Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan hak uji materiil terhadap Perpres 53/2003. Beliau adalah putra Buya Fachruddin HS Dt Majo Indo, ulama pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus ahli tafsir dan ahli hadist. Ibu beliau, Hj Bulan, bersaudara kandung dengan kakek atau bapak dari ayah saya. Sedangkan kakak kandungnya, mendiang H. Darius Fachruddin, pendiri sekaligus Dewan Syuro Jamaah Tabligh Indonesia.
Komunikasi saya dengan Pak Irfan Fachrudin cukup intens. Saya bersama pendidik dan aktivis dakwah di Luhak Limopuluah, Buya Syamsuardi Dt Paduko Majo Indo, pernah diminta menulis buku biografi ayahnya dan biografi ulama-ulama asal Situjuah Limo Nagari. Karena musim pemilu dan saya tak mau mempolitisir agama untuk urusan kampanye, maka saya tangguhkan dulu niat menulis buku autobiografi ulama itu.
Meski komunikasi saya dengan Pak Irfan Fachruddin tidak sulit, namun kami punya komitmen, membangun firewall atau garis api dalam berkomunikasi. Kami tidak boleh membahas atau mengomentari perkara- yang sedang ditangani atau telah diputus Mahkamah Agung, termasuk juga perkara-perkara di pengadilan. Komitmen itu kami jaga betul. Karena saya tahu, Pak Irfan Fachrudin, Hakim Agung berintegras baik. Lahir dari keluarga kaya dan terpandang, tapi hidup sederhana.
Begitu pula dengan Hakim Agung lainnya, asal Situjuah Limo Nagari, Prof. DR. H. Haswandi Dt Rajo Rambaian, juga dikenal sebagai hakim berintegritas bagus. Barangkali, ini pula sejarah pertama di Indonesia. Dari satu desa atau nagari yang sama, lahir dua Hakim Agung yang sama-sama masih aktif. Mungkin, susah bagi desa lain mengulang rekor ini. Pak Irfan Fachruddin dan Pak Haswandi Dt Rajo Rambaian, telah mengukir sejarah buat Situjuah Limo Nagari.
Duduk Perkara Perpres 53/2023
Balik lagi kepada putusan Mahkamah Agung terkait perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Perpres 53/2023. Rupanya, dalam permohonan perkara ini, pemohon Eko Sentosa, memiliki 33 dalil untuk mengabulkan permintaan membatalkan Perpres 53/2023. Diantaranya,pemohon mendalilkan sistem pertanggungjawaban perjalanan dinas secara lumpsum bagi pimpinan dan anggota DPRD, berpotensi tidak memenuhi asas keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Kemudian, pemohon Eko Santosa juga mendalilkan perjalanan dinas sistem lumpsum yang tidak mengharuskan penyajian dan dukungan bukti yang dianggap lengkap dan sah sebagai pembayaran, berpotensi menyebabkan pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah menjadi tidak tertib. Ttidak efisien, tidak ekonomis, tidak efektif, dan tidak akuntabel/bertanggung jawab.
Namun, dalil-dalil yang disampaikan pemohon tersebut dibantah oleh termohon. Ya, termohon dalam hal ini Presiden Republik Indonesia yang memberi kuasa dengan Hak Substitusi kepada Menkum HAM, Mendagri, dan Menkeu berdasarkan surat khuasa khusus tanggal 8 Maret 2024, selanjutnya diwakili oleh Asep N. Mulyana, Direktur Jenderal Perundang-Undangan dan kawan-kawan, menyampaikan sejumlah bantahan.
Diantaranya, termohon menegaskan, bahwa pertanggungjawaban perjalanan dinas bagi pimpinan dan anggota DPRD secara lumpsum yang diatur dalam ketentuan Pasal 3A ayat (2) Perpres 53/2023 dilaksanakan dengan tetap memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, kewajaran, dan akuntabel. Oleh karena itu, pengaturan pertanggungjawaban perjalanan dinas bagi pimpinan dan anggota DPRD secara lumpsum dalam ketentuan Pasal 3A ayat (2) Perpres 53/2023 telah sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara.
Bukan itu saja, termohon juga sudah menegaska, jika Perpres 53/2023 dicabut dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat, maka akan menimbulkan dampak/implikasi. Pertama, terganggunya kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, tidak terlaksananya pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan pada prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Ketiga, terhambatnya pencapaian hasil program DPRD. Serta keempat, adanya kekosongan dan ketidakpastian hukum hukum.
Akan tetapi, Majelis Hakim Mahkamah Agung punya pendapat berbeda dengan termohon. Dalam pendapat Mahkamah Agung disebutkan, bahwa dari alasan-alasan pemohon yang kemudian dibantah oleh termohon dalam jawabannya, dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon dan termohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan permohonan pemohon dapat dibenarkan dalam pendapatnya.
Mahkamah Agung dalam pendapatnya menegaskan, bahwa Pasal 141 PP 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah juga mengatur setiap pengeluaran harus didukung bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. Sedangkan sistem lumpsum tidak mengharuskan penyajian dan dukungan bukti yang dianggap lengkap dan sah sebagai pembayaran. Sehingga pertanggungjawaban pelaksanaan perjalanan dinas secara lumpsum bagi DPRD menyebabkan potensi pengelolaan keuangan daerah yang tidak dilakukan secara baik.
Mahkamah Agung juga berpendapat, bahwa diperlukan sistem pertanggungjawaban atas perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD yang lebih baik dalam hal pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daera, hal demikian guna memperkuat pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Kemudian, Mahkamah Agung juga menegaskan, bahwa saat ini sebagian besar sistem pertanggungjawaban perjalanan dinas di Kementerian lembaga lebih banyak menggunakan sistem pertanggungjawaban at cost atau sesuai bukti penggunaan biaya.
Memimpin Adalah Menderita
Kini, atau terhitung sejak 11 Juni 2024, Mahkamah Agung sudah mencabut Perpres 53/2023. Apakah biaya perjalanan dinas sistem lumpsum yang dilakukan pimpinan dan anggota DPRD sejak 11 Juni sampai Agustus ini, harus dikembalikan lagi ke kas daerah? Ini masih menjadi teka-teki belum terjawab. Biarlah yang berkompeten menjawabnya.
Yang jelas, Perpres 53/2023 sudah dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Itu artinya, regulasi perjalanan dinas DPRD akan kembali mengacu kepada Perpres 33 Tahun 2020 atau kembali ke sistem at cost. Apakah nanti akan ada lagi Perpres penggantinya atau ada kebijakan baru terhadap perjalanan dinas, kita lihat perkembangan ke depan.
Mengingat regulasi di negeri ini nampaknya dinamis mirip dengan dunia politik. Hari demi hari, ada saja perkembangan yang terjadi. Seperti, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang berhasil mengembalikan kejayaan Partai Golkar, namun mendadak mundur dari jabatannya. Persis saat catatan berjudul “Kado Mahkamah Agung Buat DPRD: Dari Lumpsump Kembali ke At Cost” ini hendak saya rampungkan.
Bagi saya pribadi, apakah perjalanan dinas DPRD itu nantinya akan memakai sistem lumpsum atau at cost, saya siap saja menikmati dengan rasa syukur dan ikhlas. Karena seperti kata pepatah kuno Belanda, jalan memimpin bukan jalan yang mudah. Leidein is Lijden. Memimpin itu menderita.
Saya, barangkali tak akan sekuat Inyiak Agus Salim yang sepanjang hayat tinggal di rumah kontrakan dan memakai jas penuh bekas jahitan. Saya tidak akan bisa sebersih Bung Hatta yang tak mampu membeli sepatu bally dan kesulitan membayar listrik saat pensiun sebagai wakil presiden. Tidak pula setangguh mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir yang sering memakai jas tambalan.
Namun, dari para goodfather dan begawan bangsa itu, saya semakin sadar dan percaya, bahwa memimpin bukanlah untuk menumpuk harta. Dan menjadi wakil rakyat itu bukanlah segala-galanya. Jabatan wakil rakyat hanya amanah yang dititipkan sekali lima tahun. Maka, mohon ingatkan saya, jika lupa dengan daratan. (***)
*Anggota DPRD Limapuluh Kota