Mengapa Maek Menjadi Penting Untuk Kita Bicarakan

Apa yang perlu diketahui seorang pelajar soal sejarah? Kenapa ilmu yang mempelajari soal keadaban dan peradaban di masa lalu itu mesti diajarkan di sekolah-sekolah? Dan apakah pemahaman kita tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu itu, sudah benar adanya?

Selintas pertanyaan-pertanyaan itu terpantik kala kita menghadiri pameran "Membentangkan Maek." Mulai dari pukul 10.00 WIB pagi, gedung gambir milik Fakultas Pertanian Unand sudah dipenuhi siswa-siswi dari Kota Payakumbuh dan Kabupaten 50 Kota. Sedari Minggu (14/07/2024), gedung yang berada dekat tugu Adipura pusat Kota Payakumbuh ini, dijadikan tempat berlangsungnya pameran riset dan arkeologi Maek.

Ribuan pelajar mulai dari jenjang sekolah dasar hingga mahasiswa, lalu lalang mendatanginya. Diantaranya ada yang sibuk berfoto ria dengan bingkai-bingkai pigura yang terpampang di sudut-sudut pameran. Ada juga yang asyik menghayati hasil riset yang hadir di dinding-dinding berlatar hitam.

Anak-anak SD pun tampak sibuk bertanya pada gurunya. "Ini apa buk? sejarah itu seperti ini ya? batu-batu," ucap Alya siswi SD Negeri 53 Payakumbuh, Minggu (14/07/2024). Ia dan dua orang temannya asyik menunjuk-menunjuk gambar sebuah batu yang ada di dinding pameran. "Ini namanya menhir, peninggalan dari nenek moyang kita," jawab sang guru.

"Untuk apa buk? kan cuma batu?" tanya Alya lagi. "Iya, itu tanda penghormatan bagi keluarga mereka yang sudah meninggal. Biar arwahnya selalu dikenang," jawab guru mereka menjelaskan. Alya dan dua temannya makin penasaran dan makin terlihat bawel bertanya. Bagi mereka, apa yang hadir lewat pameran arkeologi Maek adalah hal yang baru. Sesuatu yang belum pernah mereka lihat.

Hal itu juga dirasakan Raffli, siswa SMP Negeri 01 Payakumbuh. Ia pernah mendengar kata Maek dari orang tuanya. Dari yang Raffli ketahui, Maek adalah salah satu nagari yang ada di "mudiak" atau Kabupaten 50 Kota. Melihat secara langsung apa yang hadir lewat pameran, Raffli dengan cekatan mengeluarkan smartphone miliknya.

Ia sibuk memfoto sebongkah batu yang tergelatak di atas sebuah meja. Batu itu cukup besar, Raffli yang sudah kelas dua SMP pun mungkin tak sanggup mengangkatnya. Panjangnya jika diberdirikan, hampir mencapai pinggang bocah setinggi ±150 meter itu. Disekeliling batu ada ukiran seperti gerigi runcing dan pusaran angin, atau ujung batang pakis.

Teman-temannya yang datang, kemudian lalu menyapa Raffli. "ini yang namanya menhir itu!" Celetuk salah seorang. Siswa-siwa SMP ini mulai sibuk menatap batu tadi. Raffli dan teman-temannya mengaku sudah mengetahui menhir dari pelajaran Budaya Adat Minangkabau (BAM). Tapi baru kali ini melihat dan menyentuhnya secara langsung.

*Kenapa Festival?*

Pameran arkeologi Maek memang menghadirkan banyak hal baru. Tak hanya bagi mereka yang awam. Bahkan warga asli Maek sendiri pun ada yang baru pertama kali melihat -- apa-apa yang disingkap -- lewat pameran.

Seperti masyarakat Sumatra Barat pada umumnya. Pengetahuan soal Maek "Negeri Seribu Menhir" acap kali sepintas lewat di kepala. Barangkali ada yang pernah mengunjunginya secara langsung, atau hanya mendengarnya ketika sekolah.

Lalu apa pentingnya riset dan penelitian tentang Maek ini? Mengapa harus menjadi sebuah topik pameran? sampai dibuatkan festival segala.

Pameran "Membentangkan Maek" hanya salah satu dari serangkain panjang upaya untuk membongkar misteri peradaban masa lalu yang ada di Sumbar. Di nagari yang terletak di Kecamatan Bukik Barisan, Kabupaten 50 Kota itu, ditemukan ribuan menhir yang diyakini berasal dari jaman Meghalithikum. 2000-6000 sebelum masehi.

Sayangnya hingga saat ini, di balik permainya nagari yang dikelilingi gugus perbukitan itu, belum ada hasil yang pasti tentang peradaban masa lalu yang berada disana. Semuanya masih misteri, walau beberapa penelitian sudah pernah dilakukan.

Di pameran arkeologi Maek, kita bisa menemukan beberapa diantaranya. Pengunjung bakal disuguhi perjalanan 40 tahun riset dan penelitian tentang Maek. Yang paling terkenal mungkin menhir.

Di Maek, ribuan batu purba ini tersebar di 12 penjuru jorong. Ada yang terawat, rusak, hilang, hingga beralih fungsi.  Menhir memiliki ciri khas berdiri tegak dan bagian menonjol di kepala. Tingginya berkisar dari dua hingga empat meter. Beberapa ada yang memiliki ukiran di sekelilingnya.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) sudah menetapkan beberapa tempat menjadi situs resmi keberadaan menhir. Yang paling terkenal mungkin situs Bawah Parit dan situs Koto Gadang. Sebab disitulah letak konsentrasi menhir dengan jumlah banyak dapat ditemui. Selain itu kedua situs tersebut juga terurus dengan baik.

Tapi menhir Maek tak hanya sampai disitu. Jika ada mengunjungi pameran, bakal ada informasi tentang situs-situs lain. Setidaknya, ada 28 titik lokasi temuan menhir yang ada di Maek. Sebut saja situs Ronah, Bukit Domo, Pulau Bandar Lintang, Tanjung Kayu Kaciak, Sopan, Ateh Sudu, dan Ampang Gadang.

Ini semua jadi pertanda bahwa peradaban besar pernah hadir di Kabupaten 50 Kota. Jika diteliti lebih lanjut, tak memungkinkan di tanah minang, pernah ada peradaban yang setara dengan yang ada di sungai Indus dan sungai Nil.

Batang Maek yang punya aliran dan terhubung sampai ke selat Malaka, bisa jadi objek narasi sejarah untuk menyingkap persebaran nenek moyang orang nusantara.

Beranjak dari menhir, ketika berjalan di lorong-lorong pameran, pengunjung akan belajar tipologi dari setiap menhir yang ada. Motif ukiran menhir, penjelasan berbagai situs, perjalanan penelitian Maek (1980-1990 an), hingga sampel kerangka manusia yang ditemukan disana.

Semuanya terpampang. Mengajak untuk ditelisik, ditemui, dan seakan-akan berbicara pada pengunjung. Di salah satu stand pameran, kerangka bagian mulut hasil ekskavasi Maek tahun 1985 dibawa langsung dari Universitas Gadjah Mada.

"Ini kerangkanya darimana?" Celetuk Idris salah seorang pengunjung pameran. "Jadi, kerangka ini dulu di gali oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1985, lalu di bawa dan disimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM," kata Dimas Nugroho, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sebenarnya ada tujuh kerangka yang berhasil di gali pada tahun itu. Namun hanya 2 sampel kerangka  yang dibawa saat pameran, itu pun hanya bagian mulut dan gigi. Yakni sampel II dan VII.

"Lalu gimana cara menelitinya?" tanya Idris lagi. Dimas pun mejelaskan, sampel gigi yang dipamerkan ini diteliti degan metode Odontogram. Salah satu cara dalam ilmu kedokteran gigi yang biasanya terdiri atas identitas pasien, diagnosa, tindakan medis kedokteran gigi, dokumentasi hasil pemeriksaan serta proses perawatan atau pengobatan.

Hasilnya, keranga VII diketahui berjenis kelamin perempuan dan berumur 40-50 tahunan ketika meninggal. Sedangkan kerangka II tidak diketahui jenis kelaminnya melalui metode ini. Hanya saja kata Dimas, masih bisa diperkirakan umurnya berkisar 24-30 tahun.

Jika menilik pertanyaan mengapa harus Maek yang diteliti, kita mesti melacak bagaimana pameran dan festival ini dihadirkan.

*Setelah 40 Tahun*

S. Metron, budayawan dan salah seorang kurator festival bercerita kenapa Maek harus diangkat. Secara pribadi ia telah terpikir soal Maek jauh hari, sebelum festival ini terlaksana. Beberapa tahun lalu, ketika jaringan tambang batu bara Sawahlunto dijadikan warisan budaya dunia Unesco, ia sempat termenung.

"Awalnya yang terbayang hanyalah narasi penggalian batubara dengan ekploitasi manusia. Sementara, negara lain datang dengan kemegahan peradaban.

Tentu, ada kajian mendalam tentang tambang batubara, saya tak akan menolak.

Sekarang pun saya pribadi masih menggarap Kawasan Indarung I. Namun, narasi yang terbayang

adalah kolonialisme. Seberapa pun dipoles ia tetaplah berdempetan dengan kata penjajahan," ujar Metron, Selasa (16/07/2024).

Berbeda dengan Maek. Peradaban menjadi garis terdepan dalam membuat lini masa. Bersama Ketua DPRD Sumbar Supardi, ia merancang beberapa program. Pertama, adalah menelusuri kembali apa saja yang sudah ada tentang Maek.

"Jika mandek, kenapa? Apa penyebabnya? Setelah kembali ke Maek, kami mendapat beberapa tanggapan. Ada yang lunak, tentu ada yang keras. Namun, dari semua itu yang terlihat adalah trauma," katanya.

Masyarakat Maek sebelumnya sudah didatangi beberapa kali oleh peneliti. Baik yang sah atau tidak. Sayang, kejelasan apa yang diteliti, apa hasilnya, tidak pernah sampai ke masyarakat.

Bahkan, ada yang mendapatkan tengkorak itu, tanpa izin penggalian sama sekali. Sebagian warga sudah mendekati pesimis. Metron mengatakan, diperlukan cara agar itu tidak menggapi puncak tertinggi.

Wali Nagari Maek, Efrizal Hendri menceritakan hal serupa. Sebelum adanya Undang-Undang yang melindungi cagar budaya, banyak benda-benda bernilai arkeologis di Maek hilang, tak terawat, dan kurang mendapat perhatian. "Ada yang datang ke kampung kami entah peneliti entah siapa, lalu melihat meja batu dan barang antik lainnya, mereka jual" ujar Efrizal, Selasa (16/07/2024).

Hal ini membuat risih S. Metron dan pegiat budaya lainnya. Ia juga telah mengkomunikasikan hal ini dengan para peneliti yang ada di Sumatra Barat. "Maek mesti menjai perhatian seluruh orang. Baik pemerintah, arkeolog, peneliti, dan masyarakat pada umumnya. Festival ini cuma salah satunya. Keseluruhan kegiatan bertujuan untuk menata Maek. Agar kembali diperlihatkan sebagai

peradaban nusantara. Dengan begitu, Minangkabau sebagai wangsa –seperti yang tegaskan

budayawan AA Navis—akan terwujud," ucapnya.

Bak gayung bersambut, Ketua DPRD Sumbar Supardi, punya pikiran yang sama. Sejak kata ‘Maek’ masuk dalam kepala, beragam info berseliweran. Ada info, peradabannya dimulai 4000-3000 tahun sebelum masehi. Bahwa pernah ada 4000 menhir yang tersebar sepanjang nagari.

"Pertanyaan akan berseliweran, seperti kalau ada kawasan, ada makam, lalu di mana kawasan kotanya? ukiran di menhir apakah merupakan pertemuan batu dan besi?" tanya Supardi.

Dengan begitu, jauh sebelum Minangkabau, Maek sudah ada peradaban yang luar biasa. Perlu kajian lanjut secara kontinyu apabila memang kita ingin mengubak lapis demi lapis peradaban di Maek.

"Potensi Maek perlu kita gali bersama dan memberikan narasi setiap potensi yang ada. Karena dengan begitu, apa yang ada, apa yang terlihat tak pelan-pelan lenyap. Seperti menhir yang hilang satu-persatu dan kita hanya terpana menatapnya," harap Supardi.

Dengan Dinas Kebudayaan Sumbar, berbagai program mulai disusun. Mulai dari mengerahkan tim ahli, penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS), curhat warga tentang nasib kekayaan peradaban yang dimiliki, carbon dating, hingga bermuara pada festival.

Pameran dan diskusi internasional yang dilakukan akan menjadi alas bakul bagaimana melihat Maek. Apakah sebagai peradaban atau perayaan, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.

Jika terjadi, maka, hilirnya akan menerima saja. Bayangkanlah, Maek akan kedatangan arkeolog, antropolog, geomorfolog terkemuka untuk kembali menyisir senti demi senti, setiap batu, setiap kerikil, setiap bungkahan tanah yang mengandung ilmu pengetahuan dan keajaiban masa lalu.

"Maek dibayangkan tidak hanya sebagai koloni batu tegak tapi juga catatan awal peradaban. Semoga," paparnya. Apa yang selama 40 tahun terendaap tak mengemuka, perlahan-perlahan mulai disingkap.

*Meneroka Jalan Bersemak*

Harapan ini  bukannya tak menyentuh akar tapak. Masyarakat asli nagari Maek turut dilibatkan dalam perayaan. Selama berpuluh-puluh tahun kampung mereka didatangi, tapi apa yang menjadi hasil tak pernah bisa mereka dapatkan secara pasti.

Bahkan ada beberapa penelitian yang menyebutkan, masyarakat Maek saat ini tak ada hubungannya dengan peradaban di masa lampau. Narasi yang sangat disayangkan. Walau bagaimanapun, akar sejarah dari apa yang menjadi budaya oleh salah satu nagari tertua di 50 Kota itu, mesti dicari kebenarannya.

Kembali ke awal tulisan, apa yang perlu diketahui seorang pelajar soal sejarah? Kenapa ilmu yang mempelajari soal keadaban dan peradaban di masa lalu itu mesti diajarkan di sekolah-sekolah? Dan apakah pemahaman kita tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu itu, sudah benar adanya?

Seringkali kita hanya disuguhkan narasi sejarah yang sangat jauh dari asal usul kita. Kadang kala kita juga tak acuh dengan asal itu, serta terlalu cepat meng-iyakan cerita orang.

"Mamanciang jo umpan, manembak jo piluru," Festival Maek bak meneroka jalan bersemak yang berada di perkarangan rumah. Orang Maek merasa punya ikatan yang demikian kuat dengan tanahnya; sebagai rumah tempat dari mana ia berasal sekaligus tempat untuk kelak kembali, tempat tembuni di taman ketika baru dilahirkan sekaligus tempat untuk jasad berkubur ketika waktunya tiba.

Menhir Maek telah beberapa kali diteliti, baik secara arkeologis, antropologis, dan geomorfologi tapi hasilnya masih belum bisa menepis kabut yang meliputi Maek. Kapan persisnya kebudayaan Maek bermula, masih belum jelas. Menhir-menhir Maek sejauh ini hanya tegak berdiri, membisu.

Sebagai wilayah kebudayaan, ia juga kerap dilihat sebagai tempat bermulanya kebudayaan Minangkabau. Ukiran-ukiran di menhir identik dengan pola ukir tradisional Minangkabau. Situs Balai Batu diasosiasikan oleh Prof. Herwandi (peneliti sejarah Unand) dengan sistem demokrasi Minangkabau. Tapi bagaimana persisnya hubungan Maek dengan kebudayaan Minangkabau, belum begitu terang.

Zulkarnain Diran, warga asli Maek dan salah seorang kurator festival berkomentar terhadapa hal ini. "Di tataran global, cagar-cagar budaya yang berada di Dunia Ketiga, termasuk situs arkeologi seperti Maek, cenderung diabaikan. Yang lebih mendapat perhatian adalah situs-situs monumental yang terkait kebudayaan dari Dunia Pertama," katanya, Rabu (17/07/2024).

Padahal, ini berhubungan juga dengan belum adanya penelitian yang rigid dan mendalam tentang Maek. Akibatnya, keberadaannya dalam peta peradaban kuno dunia juga masih mengambang.

Dengan demikian, Maek juga adalah suatu terra incognita. Jalan tak bernama. Suatu wilayah yang belum terpetakan, yang belum terpahami sepenuhnya, yang mengambang dan abu-abu; suatu situasi yang membingungkan dan bersifat menghambat pemajuan kebudayaan. Situasi tersebut berakibat langsung pada masih sepinya aktivasi Maek sebagai Cagar Budaya Nasional, yang pada gilirannya akan menghambat pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan situs Maek.

Festival Maek adalah perayaan sekaligus respons kritis dan kreatif. Respons kritis di sini, pertama-tama, dipahami sebagai pelibatan aktif dan bermakna anak nagari Maek dalam rangkaian festival. "Jika selama ini Maek lebih banyak dibicarakan dari perspektif orang luar Maek, dalam Festival Maek anak nagari Maek lah yang lebih aktif membentuk sudut pandang dan konsep festival," kata Zulkarnain.

Dt. Bandaro, Rajo Adat Nagari Maek, dalam forum bersama perangkat adat Nagari Maek tahun lalu, menangkap sinyal dari kurangnya partisipasi anak nagari. "Kalau di Maek sendiri, yang mnenliti kebanyakan baru orang luar atau orang budaya. Maaf, tapi orang asli Maek yang meneliti masih belum banyak," katanya.

Kita terlalu cepat menerima cerita-cerita yang belum pernah kita alami atau verifikasi sendiri. Memahami sejarah dan kebudayaan masa lalu adalah laksana meniti jembatan emas menuju masa depan yang lebih bijaksana. Dengan menggali dan menghargai warisan peradaban kuno di Lembah Maek, kita bukan hanya memperkaya wawasan kita, tetapi juga menanamkan rasa hormat yang dalam kepada leluhur yang telah mewariskan kekayaan budaya ini.

Agar masyarakat berderai terkhusus anak nagari Maek bisa ikut andil memahami sejarah kebesaran arkeologi ini, bakal ada karya buku yang dikemas lebih popular. Direktur Program Festival Maek, Roby Satria mengatakan hasil penelitian Maek lebih banyak bredar dan dikonsumsi kalangan akademis saja.

Segala kekayaan budaya Maek, juga belum diperkenalkan ke khalayak luas secara memadai. la lebih banyak dibicarakan di dalam komunitas pegiat budaya. Ini adalah persoalan sekaligus tantangan.

Tantangan kreatif ini dijawab lewat seni sastra (puisi dan prosa) dan seni rupa (sketsa). "Empat orang seniman, berisidensi selama 20 hari di Maek, biar mereka bisa mengenal lebih dalam mengenai Maek, dan mengemasnya dalam karya-karya kreatif. Karya- karya tersebut, dipamerkan dan didiskusikan," kata Roby, Minggu (14/07/2024).

Sejarah, Maek, dan Peradaban memang perlu terus dibicarakan. Bukan hanya soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tapi bagaimana kita sebagai sebuah bangsa berkenalan dengan akar tempa semua hal berasal.

*Anak Nagari Maek Menjemput Kisah*

Entah kapan terakhir kali batu-batu itu disentuh permai gemulai jari. Ribuan tahun ia hanya diam membisu. Diterpa panas, diterjang hujan, batu-batu masih setia berdiri disitu. Ukiran pada dirinya perlahan di rayap lumut, terkikis, tahun berganti kian memudar. Siapa yang mau mengajaknya bermain, menari, gemulai di ruang hampa. Siapa yang bakal menjadi temannya?

Reniva (6) fokus saja melihat sekumpulan penari sedang berlatih menari di situs menhir Balai Batu, Koto Gadang, Nagari Maek, Kabupaten 50 Kota, Kamis (18/07/2024). Bocah jelita yang masih SD itu, bahkan sampai tak sadar ingus di hidungnya sudah mengeras bak batu mejan tempat dimana ia duduk.

Reniva sedang memperhatikan 20 orang kakak-abangnya dari Nagari Maek berlatih tari untuk helat Festival. Sesuatu yang mungkin belum pernah dilihat anak seusianya di Nagari Maek. Memang, gelaran Festival Maek baru pertama kali digelar di nagari seribu menhir itu. Seniman dan koreografer dari Jerman dan Australia turut memeriahkannya.

Selama 40 tahun, menhir Maek terasa dijadikan objek penelitian saja, bahkan mungkin lebih lama. Begitupun masyarakatnya, cuma jadi tempat bertanya kala para akademikus ingin menyingkap segala tabir di sekeliling menhir. Benda peninggalan purbakala itu diamati, diterawang, dianalisis setiap jengkal yang masih rahasia. Terkadang manusianya pun terlupa, masyarakat Maek yang dari generasi ke generasi menjaga dan merawat ribuan batu andesit nan tegak menanti jamah ini.

"Kamu mau jadi penari juga kalau dah besar," tanya saya pada Reniva. Ia hanya mengangguk, mungkin segan untuk bicara. Temannya Aura (11) yang menyaksikan latihan tari bersama Reniva, menjawab "mau" dengan semangat.

Reniva bukan warga jorong Koto Gadang. Ia pergi bersama neneknya dari jorong Tanjuang Bungo untuk melihat latihan tari itu, lima belas menit menggunakan motor ke Balai Batu. Festival Maek membawa rona baru pada kehidupan Reniva dan Aura. Angannya, situs cagar budaya yang selama ini menjadi tempat bermain kanak-kanak Maek, bisa jadi insprirasi seni yang membuat ruang hidup lebih mempesona.

Direktur Festival Maek Donny Eros bersama para kurator memang ingin menjawab lagu lama yang tertanam di hati warga Maek. Bagaimana dalam suatu pagelaran, benda bersejarah yang menjadi kebanggaan Nagari itu, bisa diangkat dari sudut pandang masyarakat aslinya.

Oleh karena itu, sebelum Festival dimulai setahun yang lalu, semua pemuka masyarakat Maek diundang dalam sebuah forum diskusi. Festival macam apa yang ingin kita angkat? Mulai dari perangkat adat, perangkat nagari, bundo kanduang, pemuda, pokdarwis, dan masyarakat Maek pada umumnya, diajak berkontemplasi mengingat kebudayaan mereka.

"Tahun 1985 dilakukan ekskavasi (penggalian) di sekitar menhir. Saat ekskavasi kami masih SD, tak boleh mendekat untuk melihat. Setelah itu kami tak tau dibawa kemana lagi hasil penelitian itu," kata Datuak Bandaro Hijau, Ketua KAN Maek, Jum'at (19/07/2024).

Ia mengatakan masyarakat Maek sendiri terbatas pengetahuannya soal benda peninggalan purbakala. Butuh peneliti untuk menyingkap tabir apa yang sebenarnya ada di Maek pada masa lampau. Namun, masyarakat sering kecewa. Banyak peneliti datang, singgah, lalu berpulang. Tanpa masyarakat pernah tau apa hasil dari banyaknya penelitian yang ada tersebut.

Baru-baru ini, ia dan anak kemenakan Maek lainnya baru diberitahu, bahwa ada tujuh rangka yang ditemukan pada tahun 85 itu, dan saat ini berada di UGM. Teranyar, sampel kerangka itu juga sedang diteliti DNA nya di Australia.

"Alhamdulillah saat ini muncul Festival Maek. Kemudian hasil penelitian dikabarkan lagi," ucapnya. Asrigen atau Dt. Bandaro Hijau, sebagai pemimpin kerapatan adat nagari sangat berharap, pasca festival ini masyarakat bisa belajar dari hasil penelitian tentang nagari mereka.

Syahdan, Maek memang masih jauh dari kata usai dari sekambut pertanyaan. Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog dari Universitas Jambi mengatakan, penelitian di Maek baru mengungkap 1% potensi kebenaran yang ada. Semuanya mesti digalakkan, setiap tanya harus dijawab, setiap temuan mesti disingkap.

Festival Maek bak sulur di senja yang hampir pudur. Peradaban masa lampau Maek yang terabaikan tahun menahun, diteroka kembali. Dengan catatan, inisiasi konsep Festival mesti berkaca dari kerinduan batin anak Nagari.

Makanya saat pagelaran 17-20 Juli ini, panggung megah berdiri di lapangan bola kaki Koto Gadang. 10 ribu penduduk Maek tumpah ruah mendatangi venue Festival. Perantau Maek pulang melihat kampung halaman, juga sekadar memantau dari layar media sosial.

Tiap orang, dari anak ketek sampai inyiak, si buyuang dan si upiak, toke daun toke karisiak. Ado gadang ado ketek, ado yang tunjang ado pendek, dari nan rengkeang gapuak bulek, sampai nan kuruih tagang gambun bondek. Hadir semua.

Baun gulai dan pongek kaluih Maek juga menguar di tiap hidangan. Masyarakat bersuka ria menikmati tiap jengkel atraksi yang hadir di pagelaran selama empat malam tersebut. Pentas seni yang menghadirkan seniman lintas budaya turut meramaikan alek nagari rang Maek ini.

Namun, apakah suatu pagelaran hanya sebatas pentas seni? Tempat warga yang penat sendi linunya sehabis bekerja menepi? Apa manfaatnya cita-cita panjang itu untuk pemajuan sejarah, kebudayaan, dan sumber daya manusia di Nagari Maek. Salah satu peradaban tertua di ini.

*Menjaga Lewat Generasi*

Menyongsong lapangan bola kaki jorong Koto Gadang, sudah berdiri pentas megah yang kata warga, baru kali ini adanya. Biasanya di tiap jorong kanagarian Maek, yang sering hanya organ tunggal, pentas sederhana untuk merayakan alek dan acara di nagari.

Venue ini tak cuma segebuk panggung acara. Disekelilingnya ada tenan jajanan kekinian yang dipenuhi muda-mudi berbelanja. Papan mewarnai karakter kartun pun tak lengang dan dipenuhi anak-anak nagari dan ibu bapaknya.

Di langit langit lapangan yang cuma berjarak 200 meter dari situs balai batu itu, baling-baling berlampu neon memutar spiral mewarnai malam. Bocah-bocah SD sibuk menembak ketapel ke langit, sembari menanti baling-baling menyentuh tanah.

Diantara salah satunya ada Ragaf (6). Dengan jaket hodie mini bergambar Mickey Mouse, ia berlari-lari mengitari posisi lapangan yang pas. Membidik ke atas, tali ketapel ia tarik berulang. Sampai di dekat pinggiran lapangan, baling-balingnya menyangkut di bekas pokok pinang.

Si kecil lalu mengadu ke ayahnya, mintak belikan yang baru. Yori (42) asik menonton menghadap pentas utama. Saya kemudian duduk bercerita dengannya sembari menikmati gabuh gamelan dari seniman Jawa Tengah, ditemani Ragaf yang sudah tak bawel lagi bermain ketapel.

Yori merupakan petani Gambir di Maek. Ia berasal dari jorong Ronah. Bersama istri dan anaknya, Festival ini menjadi hiburan yang sangat berharga. Sebab untuk melihat atraksi serupa di ibu kota atau di Payakumbuh, butuh waktu luang dan jaraknya cukup jauh.

Sama seperti warga Maek lainnya, Yori juga sering melihat peneliti melakukan riset di sekitar situs menhir. Ia masih mengenang, ketika SD pernah melihat peneliti dari Jerman sempat melakukan ekskavasi di Maek. Sebuah hal yang cukup berkenang, sebab ia pernah menemani para peneliti itu memutari nagari di malam hari sehabis maghrib.

Itu kali pertama dan terakhir ia melihat para peneliti tersebut. Senada dengan Dt. Bandaro Hijau, ia tak pernah tau apa hasil dari riset tiga puluh tahun nan lalu. Festival ini membuatnya beromantisme dengan kenangan masa muda.

Malam itu, Jum'at (19/07/2024), ada kesenian Ulu Ambek dari Pariaman yang tampil di penghujung acara. Ikatan Guru Silek Sakato menampilkan dua orang pesilat memperagakan semacam pertarungan dengan gerakan nan mematikan. Ketika menonton, jangan salah mengira gerakan menghindar yang diperagakan pesilat merupakan bentuk kepengecutan.

Sekali salah langkah, tangan yang menepis seraya bergerak seperti membelah bulan ketika lawan hendak menerjang merupakan jurus pamungkas ulu ambek. Ketika hentakkan tinju lawan menghujam ke bawah, dua tangan yang sengaja membelah bisa menerkam urut leher sang penyerang. Dikatakan, Gerakan itu bisa membunuh seketika.

Penampilan silat inilah yang membuat Yori terkenang. Ketika ia remaja tahun 90-an, anak nagari Maek pergi berlatih silat kepada guru-guru atau tuo-tuo silek. Hampir di setiap jorong, ada perguruan silat.

Saat ini sebut Yori, budaya itu tak ajeg lagi dipelajari. Sama dengan dunia di belahan bumi mana pun, teknologi memberi distraksi yang amat dalam pada kehidupan manusia. Terutama bagi generasi muda, para pewaris budaya. Gawai dan smartphone membuat lekang, banyak yang terpana pada informasi yang hadir di layer touchscreen itu. Perlahan-lahan budaya yang dimiliki nagari juga bisa terancam.

"Waktu dulu itu, orang kalua mau putus mempelajari silat, harus ketemu dengan harimau," ucap pria yang sehari-hari sibuk manggampo gambir itu. "Sudah lama saya tak mendengar kisah serupa. Sekarang tak ada lagi," lanjutnya.

Darwis Datuak Rum salah seorang penghulu di Maek menyebut, adat lamo sudah mulai hilang pada generasi muda sebab kemajuan teknologi. Upacara-upacara adat pun sukar untuk diurai kembali pada generasi muda.

Festival Maek hadir salah satunya untuk menggaungkan kembali hal tersebut. Di support oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, penampilan yang gaung pada pagelaran ini urunnya tak bermaksud mengundang massa ramai. Atau menampilkan artis dan penyanyi popular. Tapi bagaimana anak nagari dan tuo-tuo nagari bisa mengangkat kembali ke khasan adat istiadat Maek.

Kita bisa melihat list buku pedoman festival, tentang apa saja yang dipertunjukkan. Mulai dari pementasan "Mimetik Sulbi (Hikayat Batu Tegak)" yang bercerita soal menhir dan memahat, tari toga dari kerajaan Dharmasraya, Ulu Ambek, Dikia Pano, Sirompak, hingga saluang Koto Tinggi yang lewat pantunnya, bercerita soal falsafah Minangkabau.

Ketua Pemuda Nagari Maek Debi Novrikon turut antusias melihat kekompakan masyarakat. Katanya, ini merupakan semangat yang sangat antusias dari seluruh kalangan pemuda. Semua mendukung.

Kebelakang, ia bercerita, sebelumnya tak semua anak Nagari Maek yang terlibat dalam proses penelitian. Cuma beberapa. Namun dengan adanya festival, apakah lewat kesenian, sastra, dan pertunjukkan, anak nagari kembali mengenal dan menghidupkan adat istiadat. Tak hanya itu, pemuda yang lain juga berperan untuk mensukseskan acara.

"Yang terasa dari Festival, selain mengenal sejarah sejarah peradaban, harapannya ingin menjadikan maek pariwisata peradaban dunia yang diakui Unesco," ujar Debi, Kamis (18/07/2024).

Ia berharap kedepannya, tidak henti henti nanti berkunjung wisatawan dari mancanegara dan lokal ke nagari Maek.

Hal itu setelah Debi melihat Azza (15) ngobrol dengan seorang Proffesor dari Mesir. Debi merupakan guru Bahasa Indonesia di MTsN 57 Lima Puluh Kota atau juga dikenal Tsanama Nagari Maek. Azza adalah murid kelas 9 di MTs tersebut. Ia cukup bagus berbahasa inggris, walaupun terkadang menerka-nerka juga.

Kebetulan Tsanama Nagari Maek jadi salah satu tempat diadakannya festival. Arkeolog dari Mesir Prof. Ghada Elgemaiey, menjelaskan temuannya soal kaitan pola ukir di batu menhir Maek dengan pillar-pillar stone lainnya yang ada di dunia. Sebuah pemandangan yang menarik, professor asing memberi ceramah di sebuah ruangan MTs.

Di akhir paparannya, Prof Ghada bahkan ingin kembali lagi ke Maek. "Saya akan kembali, sebab tempat ini menjadi tantangan baru bagi saya. Masih banyak misteri dibanding dengan kuil yang ada di Mesir sana," ucapnya, Kamis (18/07/2024).

Setelah sesi diskusi itu, Azza memberanikan diri bicara dengan perempuan ahli simbol dari Mesir tersebut. Mereka bercakap di lapangan upacar Tsanama. Prof. Ghada memberikan pertanyaan menggelitik soal cita-cita Azza. "Do you know, Arkeologi?" ujarnya. Azza terlihat bingung tampaknya. Arkeologi adalah kosa kata baru bagi pelajar tsanawiyah itu.

Tak memaksakan tanya, Prof. Ghada hanya memotivasi Azza agar mau belajar soal sejarah serta kekayaan yang ada di lembah Mahat. Dalam diskusi lain, Didi seorang arkeolog dari Universitas Jambi juga bertanya hal serupa. Ia ingin melihat seberapa jauh pelajar di Maek mengenal sejarah menhir di kampung mereka.

Lelni (15) siswi di MTs yang sama terlihat malu kala menjawab. "Saya taunya itu dulu tempat wisata. Sering di ajak pas TK. Kata orang-orang itu juga tempat berkumpulnya datuk-datuk. Di Balai Batu," ujarnya, Jum'at (19/07/2024).

Didi menyayanggakan jikalau pengetahuan akan kekayaan nagari ini tidak sampai kepada generasi muda. Bagaimanapun, nantinya yang bakal melanjutkan adat istiadat dan kekayaan nagari Maek adalah generasi muda.

Mereka yang bakal menjaga situs cagar budaya tersebut, dan pengetahuannya bisa digunakan untuk menyibak segala hal-hal yang belum terpatri saat ini. Begitulah jalannya festival. Selain sebagai sarana kebudayaan, juga untuk menjemput pengetahuan.

Semarak ini, bisa jadi pengingat untuk memperkuat adat istiadat. Baik dalam ingatan kolektif tentang Maek. Serta untuk menyongsong gerak kedepan. Juga menghindari kesalahan, seperti cerita Pak Ar.

*Menhir Warisan Dunia Adat Istiadat Tetap Terjaga*

Armen Ardinal adalah warga jorong Ampang Gadang nagari Maek. Sehari-harinya berprofesi sebagai guru dan mengajar agama islam. Saat ini Pak Ar dipercaya sebagai kepala sekolah SD Negeri 06 Maek.

Pak Ar tampaknya pribadi yang periang dan hangat terhadap orang baru. Saya bercakap dengannya di Pokan (pasar) Ronah nagari Maek. "Ramai yang bertandang, hidup nagari dengan adanya festival," ucapnya, Kamis (18/07/2024).

Pak Ar terlihat senang dengan banyaknyo pelancong yang datang dan menghidupi nagari Maek. Kamis juga merupakan hari balai/pasar di Maek. Garendong (motor dagang) juga datang ke Maek dari Payakumbuh untuk berniaga. Di pokan Ronah, mereka membawa keperluan harian seperti ikan, tahu, sayur mayur, roti, sampai barang belah pacah.

Anak muda yang membawa anjing berburu juga keluar sore itu. Mereka duduk menunggu teman yang sedang memberi minum Anjing di aliran sungai batang Maek, di bawah jembatan simpang batam. Sedangkan pemudi, bersiap ingin pergi melihat pertunjukkan di lapangan bola kaki malamnya.

Pemandangan ini membawa suatu harapan kata Pak Ar. Dengan adanya festival serta dilestarikannya adat istiadat budaya, pengetahuan soal kekayaan Maek bisa dijaga. Tak seperti pengalamannya sewaktu kecil.

Tahun 70-an, sewaktu pria itu masih di bangku sekolah dasar, belum banyak masyarakat yang paham tentang menhir. Mereka menyebutnya batu mejan. Semua batu itu tersebar di penjuru jorong nagari Maek. Jumlahnya jauh melebihi saat ini.

Termasuk di rumahnya dulu, di Ampang Gadang. Pak Ar bercerita, pemuda di jorongnya saat itu pingin membuat sebuah lapangan sepak bola. Mereka mencari tanah terhampar dengan rumput yang tak terlalu tinggi. Ada satu tempat yang memenuhi kriteria. Namun kata Pak Ar punya satu masalah.

Tanah itu dipenuhi batu tegak besar di beberapa sudut. Karena kepingin membangun lapangan bola, ia dan teman-temannya erta pemuda lainnya lalu merebahkan batu itu ke tanah. "Di gali dan direbahkan ke tanah. Lalu ditimbun dengan tanah. Biar datar lagi," tuturnya.

Jadilah tempat itu kini lapangan bola yang berada di jorong Ampang Gadang. Masyarakat saat itu belum mengenal betul kekayaan yang ada di balik menhir-menhir tersebut. Sebab penelitian pasca kemerdekaan baru dilakukan tahun 80-an. Pak Ar mengatakan, jikalau sekarang tempat itu digali kembali, mungkin menhir yang dulu ditimbun masih dapat ditemukan.

Ia bersyukur saat ini anak-anak nagari telah diberi ajar soal pentingnya situs purbakala itu. Di SD tempat Pak Ar mengajar, hal-hal tersebut bahkan sudah diajarkan pada para siswa. Apalagi dengan adanya festival, narasi dan obrolan tentang menhir bakal lebih menginspirasi masyarakat Maek.

Ia juga terbantu dengan mahasiswa KKN yang datang ke Maek. Kebetulan, bersamaan dengan perayaan festival mahasiswa KKN dari UNP mengadakan lomba mewarnai sketsa batu menhir. Kegiatan itu dilakukan, Jum'at (19/07/2024) di situs Koto Gadang.

Pasca ekskavasi tahun 1985, masyarakat Maek mulai menjaga keaslian batu-batu tegak yang ada disana. Generasi yang lebih muda dari Pak Ar, Zeno (26) sudah sedari kecil mengetahui benda cagar budaya itu. Zeno tinggal dekat situs Koto Tinggi atau juga dikenal sebagai situs Bawah Parik. Tempat menhir saat ini paling banyak terkonsentrasi, sekitar 370-an.

Zeno mengatakan tiap minggunya selalu ada saja orang yang ia melihat mengunjungi menhir. Khususnya warga dari luar Maek. Hanya ia menyayangkan, fasilitas di sekitar situs masih kurang terawat. Jikalau nantinya pasca festival banyak orang yang bakal berkunjung ke Maek, Zeno berharap aksesibilitas di sekitar menhir dapat diperbaiki. Ia dan pemuda lainnya siap untuk menjaga serta menegmbangkan sumber daya manusia Maek yang cinta akan menhir, si batu tegak.

Lewat festival, adat istiadat juga ingin dirawat kembali. Tahun 2023 kemarin, nagari Maek mengadakan Penobatan Duo Rajo dan Niniak Mamak. Duo Rajo ini ialah Datuak Rajo Bandaro sebagai Rajo Adat dan Datuak Rajo Dirajo sebagai Rajo Ibadat. Kegiatan ini dihadiri oleh Gubernur Sumbar, Rajo Pagaruyuang, dan Rajo Negeri Sembilan (Malaysia). Prosesi sakral ini diadakan di Balai Batu Koto Gadang, Maek.

Namun, banyak hal berubah dan lekang oleh zaman. Zelpenedri Imam Bosa salah seorang pemuka masyarakat Maek dan juru pelihara menhir menceritakan beberapa tradisi yang dulunya ada. "Dulu pernah ada acara di Balai Batu tahun 1981. Cuman acaranyo agak sakral, apabilo ado bencana musibah di Maek diadolah barolek …….. di balai-balai batu," katanya, Sabtu (20/07/2024).

Seingatnya tradisi yang paling besar adalah Baka Ulu. "Baka ulu melibatkan seulruh unsur niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai. Harus jawi hitam yang dibantai. Fungsinyo dua, yang pertama tulak bala dan kaduo baralek rajo," kata Zelpenedri.

Namun tradisi-tradisi ini sempat lekang oleh zaman. Pertama katanya karena ada pergantian pemerintahan. Khususnya di era pasca kemerdekaan dulu. Kemudian Pemilu diadakan di Indonesia, partai-partai mulai masuk ke Maek. Pemilu 1955, Muhammadiyah dan Masyumi turut masuk ke nagari itu.

"Jadi tiap partai ini berbeda pendapatnya. Ada yang menganggap tradisi yang ada di Nagari Maek termasuk mendoa kesyirikan. Setelah itu, tidak ada kesepakatan jadinya," tuturnya.

Darwis Datuak Rum juga mengatakan hal serupa. Tradisi itu dahulunya ada banyak di Maek. Contohnya seperti baralek di balai-balai adat. Semua anak nagari berkumpul dan membantai kerbau. Kata Darwis, disitulah masyarakat bisa terbayang fungsi adat di nagari Maek. Kegiatan ini biasanya tiap tahun diadakan.

Yang kedua katanya, kesenian juga ada yang mati suri, tak terbangkit lagi. Kalau dulu ada anak nagari yang khatam mengaji, didoakan dengan berdzikir dari senja hingga siang besoknya. Ada juga kesenian saluang dan rabab, serta tari tarian. Darwis mengatakan, sebab kemajuan zaman, banyak tata cara adat yang lama using tergiling masa.

Wali Nagari Maek Efrizal Hendri Datuak Patih mengatakan Festival ini bakal diadakan tiap tahunnya. Pidatonya saat pembukaan, "Maek boleh jadi warisan dunia, tapi adat isitiadat tetap dijaga." Tradisi, kesenian, dan kekayaan lainnya mendapat momentum mambangkik nan tarandam lewat Festival ini.

Sama adanya dengan menhir yang membisu ribuan tahun lamanya. Kerinduan agar misteri peradaban itu dapat terungkap, harus dijemput. Salah satunya lewat Festival.

*Setelah Festival Maek, Apalagi?*

Festival Maek yang baru saja selesai membawa angin segar bagi kebudayaan dan arkeologi di Sumatera Barat. Berlangsung dengan sukses, festival ini menyisakan banyak cerita dan harapan untuk masa depan Maek. Dalam wawancara pada Sabtu (20/07/2024), Donny Eros, Direktur Festival Maek, memaparkan rencana besar yang akan diinisiasi pasca festival.

Langkah pertama yang diusulkan adalah pendirian sebuah museum yang akan menjadi pusat informasi tentang peradaban kuno Maek. "Museum ini akan menjadi pintu gerbang bagi wisatawan yang ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah dan budaya Maek sebelum menjelajahi situs-situs cagar budaya seperti Menhir," jelas Donny Eros. Dengan museum ini, pengunjung diharapkan mendapatkan pemahaman utuh tentang Maek sebelum mereka menginjakkan kaki di situs-situs bersejarah.

Donny Eros juga mengungkapkan rencana pendirian laboratorium arkeologi yang akan berfungsi untuk menggali lebih banyak informasi tentang peninggalan arkeologi Maek yang belum terungkap. "Banyak simbol dan ukiran di situs arkeologi yang memerlukan interpretasi lebih lanjut. Laboratorium ini akan menjadi rumah bagi peneliti, baik lokal, nasional, maupun internasional," tambah Donny. Dengan fasilitas ini, Maek diharapkan dapat menarik lebih banyak kunjungan penelitian dan memperkaya pengetahuan tentang peradaban kuno tersebut.

Dari sisi seni, Festival Maek juga menginspirasi pendirian ruang pertunjukan yang disebut "Medan Nan Bapaneh". "Di tempat ini, seniman dapat menampilkan karya-karya yang merespon peradaban Maek atau keterhubungan dengan peradaban kuno lain di dunia," kata Donny. Ruang ini diharapkan menjadi wadah kreatif yang berkelanjutan, tempat di mana seniman bisa terus berkarya dan merespon kekayaan budaya Maek.

Salah satu program penting lainnya adalah pengembangan UMKM dan kerja sama dengan universitas untuk penelitian lebih lanjut. "Pengembangan rumah UMKM dan kuliner lokal diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat Maek," ujar Donny. Dengan ini, Maek diharapkan menjadi lokasi wisata minat khusus yang berkelanjutan. Program ini juga akan mencakup kerja sama dengan universitas, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk penelitian yang lebih mendalam.

Ketika Maek diusulkan menjadi warisan dunia, posisi masyarakat Maek sebagai penerima manfaat utama tetap dijaga. "Dengan pengakuan sebagai warisan dunia, Maek akan mendapatkan perhatian dan promosi dari seluruh dunia, yang berdampak pada peningkatan kunjungan wisatawan," ungkap Donny. Masyarakat Maek, yang sudah mulai membuka rumah sebagai penginapan dan mengembangkan kuliner lokal, akan merasakan dampak ekonomi yang lebih signifikan dan berkelanjutan.

Donny Eros juga menyoroti perlunya pengembangan kebijakan kebudayaan yang lebih terstruktur di Sumatera Barat. "Saat ini, tata kelola dan strategi pengembangan kebudayaan masih terfragmentasi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan perlu ditindaklanjuti dengan peraturan daerah yang lebih spesifik," tegasnya. Harapannya, dengan alokasi minimal 2% dari APBD untuk pemajuan kebudayaan, seluruh warisan budaya di Sumbar, termasuk Maek, dapat dikelola secara berkelanjutan dan tidak hanya menjadi tren tahunan semata.

Festival Maek telah membuka banyak peluang dan harapan baru. Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa rencana-rencana besar ini dapat terealisasi dengan baik, membawa Maek dan Sumatera Barat ke peta kebudayaan dunia. Dengan dukungan semua pihak, Maek bukan hanya akan menjadi pusat kebudayaan, tetapi juga pusat penelitian dan pariwisata yang berkelanjutan.

"Maek Tak Hanya Seribu Menhir

Sejarah Dan Kisah Terus Lahir."

~ Iyut Fitra ~

Tag:

Baca Juga

ISI Padang Panjang Pamerkan Puluhan Hasil Fotografi Tema Ruang dan Waktu
ISI Padang Panjang Pamerkan Puluhan Hasil Fotografi Tema Ruang dan Waktu
Faperta UNAND Luncurkan dan Bedah Buku Karya Dosen dan Alumni
Faperta UNAND Luncurkan dan Bedah Buku Karya Dosen dan Alumni
PDAM
Mulai 2025, Perumda AM Padang Naikkan Tarif Air Bertahap
Seorang anak perempuan berusia 16 tahun di Tanah Datar, Sumatra Barat, menjadi korban percobaan pemerkosaan dengan kekerasan
Korban Anak di Tanah Datar Trauma Berat, Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Tersendat
Terima Kunjungan Forest Guardian, Pj Sekda Sumbar Pastikan Dukung Penuh Kampanye Lingkungan
Terima Kunjungan Forest Guardian, Pj Sekda Sumbar Pastikan Dukung Penuh Kampanye Lingkungan
Puluhan orang dari berbagai organisasi kepemudaan (OKP) Sumatra Barat menggelar aksi unjuk rasa di depan Mapolda Sumbar
Protes OKP di Mapolda Sumbar, Isu Tambang Ilegal dan Reformasi Polri Jadi Sorotan