Oleh: Teguh Hidayat (Pemerhati Cagar Budaya)
Matahari baru saja lingsir ke arah barat, pertanda senja telah mulai tiba menggantikan siang akan menjadi malam. Kabut putih mulai berdatangan menyelimuti sebagian lorong-lorong pedusunan yang rimbun akan tanaman semusim seperti jeruk, durian, dan tanaman keras lainnya. Sementara langit sedikit mendung kemungkinan sebentar lagi hujan akan turun. Suasana yang demikian seolah menambah kemistisan di sebuah nagari yang bernama Maek. Ada kesan yang begitu mendalam bagi kami untuk waktu yang begitu singkat di tengah pengalaman yang kami dapat dalam perjalanan menguak waktu khusunya menelisik situs-situs yang ada di Sumatera Barat. Setiap melangkah ke situs kuno, residu sejarah kami rasakan seperti aroma yang menguap dari secangkir kopi panas. Kami takjub melihat hamparan pekarangan yang “ditumbuhi” batu-batu tegak berdiri menantang langit yang sebenarnya berupa sisa-sisa peradaban masa lalu yang sampai saat ini kita saksikan. Seperti ada pesan yang tersirat dari nenek moyang yang tertingal dalam batu-batuan andesit yang sudah dibentuk sedemikian rupa, dan misteri inilah yang terus digali untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di sana di Nagari Maek. Kami menyelusup satu persatu diantara batu-batu tegak itu yang dikenal sebagai menhir untuk menyapa satu sama lain. Ini sih seloroh saja, mungkin dengan berinteraksi dari hati ke hati ada bisikan dari moyang yang mendiami menhir itu sehinga paling tidak kami tahu sedikit mengenai sejarah mereka.
Dengan melihat banyaknya menhir-menhir itu kami merasakan adanya perjalanan budaya yang begitu panjang dan budaya ini tampil memperkuat jati diri pada masing-masing kesukuan di Nagari Maek. Keindahan alamnya yang memesona dengan jalan berliku-liku serta bukit-bukit batu yang membentengi, Maek jadi pembeda di antara nagari-nagari di Sumatera Barat. Terlepas dari itu, faktanya Maek sudah sangat dikenal sebagai negri ‘penghasil’ menhir dengan sebutan “Negri Seribu Menhir”.
Di situs Bawah Parit, situs Ronah I-III, situs Domo I-III, menhir-menhir itu berdiri tegak dengan gagahnya seolah baru saja bermunculan bagai jamur di musim penghujan. Jika diamati lebih dalam dari pojok pekarangan yang membatasi area situs, menhir-menhir itu seperti seorang penari yang sedang berlenggak-lenggok menarikan tarian primitif dari masa yang entah berantah. Waoow..menakjubkan—ini bisa menjadi inspirasi bagi para koreografer untuk mencipta sebuah tarian kekinian dengan latar cerita masa lalu saat moyang Minangkabau datang ke Maek. Tergerak oleh rasa penasaran, kami pun melakukan penelisikan lebih dalam terhadap motif hias pada masing-masing batunya. Ternyata oh ternyata, begitu beragamnya varian motif itu keluar dari bingkai batuan yang keras dan kokoh. Sangat esensial. Mungkin dia tersembunyi dalam linimasa sejarah, ketika segala bentuk modernitas yang serba artifisil belum ada. Seandainya motif hias ini di daur ulang pada media yang berbeda untuk menghasilkan barang kreatif, tentu punya nilai jual yang tinggi.
Sudah seharusnya keberadaan menhir-menhir di Nagari Maek tidak hanya dipandang sebagai benda mati belaka dan juga tidak hanya melulu memikirkan soal pelestarian fisik saja. Benda mati bisa menjadi hidup ketika kita mengapresiasi dari berbagai sudut, termasuk di dalamnya menumbuhkan industri kreatif yang mengangkat derajat manusianya yang ada di dalamnya melalui tumbuhnya sektor ekonomi kerakyatan. Jika diamati, menhir-menhir yang ada di Maek bentuknya bermacam-macam seperti mata pedang, hulu keris, persegi, juga ada yang menyerupai kepala hewan. Begitupun motif pola hias yang ditorehkan pada batu-batu menhir cukup bervariatif, seperti bentuk floral yakni motif yang muncul dari dasar dedaunan, bunga dan akar-akaran: (seperti aka cino duo gagang, sikambang manih, siriah gadang, dan pucuk rabung), motif kaluak paku, motif ula gerang, dan motif hias segi tiga yang masing-masing punya arti sendiri-sendiri.
Betapa rayanya motif-motif menghias pada batu-batuan menhir. Jika kemudian bentuk dan motif menhir itu diejawantahkan sebagai inspirasi ekonomi kreatif, maka bisa saja akan memunculkan ide untuk membuat desain batik dengan kekhasannya sebagi batik Maek. Ataupun pernak-pernik lainnya seperti T-shirt, sandal jepit, tas serta barang kerajinan lainnya dengan kekhasan lokalitas. Pada akhirnya menhir tidak melulu ditafsirkan sebagai benda mati tapi bisa menjadi kebanggaan masyarakat Maek dan menumbuhkan sentra-sentra ekonomi kreatif.
Pelestarian yang bersifat fisik memang penting dan sudah barang tentu menjadi komitmen kita bersama. Namun demikian, sebagai bentuk tinggalan benda yang semestinya senantiasa dilestarikan, upaya pelestarian saat ini tidak lagi semata berkutat pada tindakan yang cenderung berorientasi preservasi. Jika paradigma lama terkesan bahwa peninggalan bersejarah hanya akan berafiliasi kepada kepentingan akademis semata, kini sejalan dengan perkembangan zaman, tuntutan serta kebutuhannya maka cagar budaya harus bermanfaat. Jika tidak dibarengi dengan implementasi pengembangan dan pemanfaatan, objek cagar budaya hanya akan menjadi monumen mati yang terabaikan. Akibatnya, bukan tidak mungkin tinggalan tersebut lambat-laun bakal mengalami degradasi pada fisik dan dekadensi terhadap nilai-nilai yang melingkupinya.
Mencari Masa Lalu
Hari mulai beranjak malam, langit yang tadinya sedikit mendung dengan guyuran rintik gerimis telah berlalu, kabutpun sudah tersapu bersih digantikan pancaran bulan purnama yang aduhai. Kali ini beringsut ke situs Padang Ronah. Sengaja menyempatkan mengamati menhir di malam hari dengan hanya diterangi genitnya sinar bulan purnama yang menambah kesyahduan semakin membuncah. Tentu bukan tidak ada alasan untuk bercengkerama malam-malam dengan barisan batu mejan ini karena sesiang tadi sudah berkeliling untuk mengunjungi titik-titik situs menhir Maek, di samping menghemat waktu juga untuk mendapatkan nilai lain jika diamati di siang hari selain nilai-nilai arkeologis.
Dalam berbagai sumber mencatat bahwa ada sekitar 13 titik situs menhir dan sejumlah 374 buah menhir yang tersebar di jorong-jorong, dengan tinggi bervariasi bahkan ada yang mencapai 4 meter. Menurut juru pelihara setempat, sebelum menhir-menhir di Maek dilindungi, ada 1.000-an lebih jumlah menhir. Berkurangnya jumlah menhir karena banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama untuk pondasi rumah atau pembatas pekarangan karena ketidaktahuannya. Sumber penelitian mencatat bahwa umumnya menhir-menhir di Maek menghadap ke arah Gunung Sago, yakni puncak yang tertinggi di Kabupaten Limapuluh Kota.
Di benak banyak orang mungkin belum banyak yang paham, apa sih sejatinya menhir itu. Kita musti cari tahu untuk menjawab pertanyaan ini kepada para pakar. Tapi intinya begini, kesejarahan sebuah situs biasanya disusun berdasar pada dua sumber, yakni sumber arkeologis dan sumber tekstual. Sumber arkeologis misalnya seperti bahan, gaya, motif, dan relief. Sementara sumber tekstual seperti inskripsi yang tertulis pada suatu benda, karya sastra masa lampau, hingga catatan para peneliti terdahulu. Tetapi terkadang sebuah situs begitu misterius karena tidak memiliki data dalam bentuk apapun untuk diungkap. Maka, biasanya seorang arkeolog ataupun sejarawan akan menggunkan disiplin ilmu lain untuk mengulik kesejarahannya, misalnya malalui kajian sosio antropologi dengan menggali mitos, legenda hingga toponimi (nama-nama wilayah administrasi) di sekitar situs. Lalu apakah menhir-menhir di Maek sebegitu misterius sehinga sulit untuk mengungkap kesejarahannya. Yang pasti, imu penerawangan dan segala bentuk supranatural tidak bisa digunakan untuk mengungkap sekumpulan situs itu.
Menarik untuk menjawab pertanyaan di atas dari perspektif arkeologi. karena kerja arkeologi bak seorang detektif yang berusaha mengorek kehidupan masa lalu melalui tinggalan-tinggalan bendawi. Kehidupan masa silam masih banyak menyisakan misteri yang perlu diteliti guna pengembangan pengetahuan, seperti halnya menhir-menhir Maek. Arkeologi mempelajari budaya masa lalu yang berasal dari masa prasejarah (sebelum mengenal tulisan), dari masa protosejarah (masa transisi antara prasejarah dan sejarah), dan masa sejarah (manusia sudah mengenal tulisan). Pencarian data guna menyingkap masa lalu membutuhkan proses panjang. Proses tersebut harus berurutan dan teratur sehingga mendapatkan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, mulai dari survei pendataan, pemetaan sampai kepada tindakan ekskavasi kemudian menyambung-nyambungkan satu persatu agar tidak ada missing link yang pada akhirnya muncul hipotesa secara ilmiah. Melalui ekskavasi inilah para arkeolog membuka kembali rekaman kehidupan manusia masa lalu melalui sisa-sisa aktivitasnya.
Dalam teori arkeologi, menhir digolongkan sebagai hasil aktivitas manusia zaman megalitik, yaitu praktik kebudayaan yang dicirikan oleh pelibatan monumen atau struktur yang tersusun dari batu-batu besar sebagai penciri utamanya. Beberapa ahli menggolongkan tradisi megalitik dalam dua tradisi, yaitu megalitik tua yang berkembang pada masa neolitik (2500-1500 SM) dan megalitik muda yang berkembang dalam masa paleometalik (1000 SM–abad 1 M). Megalitik tua menghasilkan bangunan yang disusun dari batu besar seperti menhir, dolmen, undak batu, limas berundak, pelinggih, patung simbolik, tembok batu, dan jalan batu. Secara fungsi menhir dikaitkan dengan praktik kepercayaan adanya kekuatan magis atau non fisik yang mendiami menhir tersebut. Artinya menhir merupakan media yang menghubungkan antara manusia yang ada di dunia bawah dengan arwah nenek moyang yang ada di dunia atas.
Lalu bagaimana dengan menhir di Maek, apakah dia merupakan media penghubung antara manusia penunjang kebudayaan yang masih hidup dengan nenek moyangnya, ataukah ada fungsi lain, atau sekedar tanda kubur (nisan)? Inilah salah satu misteri yang harus dipecahkan. Dalam beberpa sumber Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang pernah mengendus tanah di situs-situs menhir Maek pada kurun waktu tahun 1985-1986 melalui ekskavasi yang dilakukannya menemukan rangka manusia dari beberapa individu. Tentu saja seorang arkeolog berusaha menyusun sebuah hipotesa lengkap mengenai budaya dan kehidupan dengan berdasar pada bukti-bukti yang telah ditemukan. Artinya, dari data-data temuan di beberapa situs di Maek dapat disimpulkan bahwa menhir-menhir tersebut berfungsi sebagai tanda kubur. Pendapat ahli mengatakan bahwa corak budaya yang dicerminkan oleh variabel kubur yang ditemukan di situs tersebut berada pada masa transisi budaya, yaitu dari tradisi penguburan megalitik dan tradisi penguburan Islam.
Sepertinya mengasyikan kerja-kerja mencari masa lalu yang telah hilang walaupun penuh tantangan. Belum lagi kita menguak lebih dalam untuk mencari tahu kira-kira pada masa apa manusia pendukung kebudayaan menhir Maek itu hidup, apakah iya nenek moyang Minangkabau berawal dari sini? Yuk kita telisik sama-sama berdasarkan hasil-hasil penelitian yang sudah dipublikasikan.
Laporan Puslit Arkenas mencatat, berdasarkan tipologi artefak, menhir Bawah Parit berasal dari masa 1.500-2.500 sebelum Masehi. Kepurbaan manusianya, berdasarkan ciri anatomi berasal dari 2.000-3.000 SM. Sementara itu, berdasarkan penanggalan kronometrik radiokarbon, rangka manusianya berusia 2.070-2.130 SM. Jika kita membandingkan manusia purba Homo Erectus yang ditemukan di Sangiran berasal dari 500.000-750.000 tahun lalu tentu sangat jauh. Atau kita bandingkan dengan temuan fosil gigi manusia oleh Eugene Dubois di Gua Lidah Aie di Nagari Tungkar berasal dari 63.000-73.000 tahun lalu pun masih tergolong muda jika mengacu pada temuan rangka manusia di Menhir Bawah Parit ini.
Tapi apapun itu bisa jadi ada situs-situs lain yang belum terungkap keberadaannya di Maek dan umumnya di Kabupaten Limapuluh Kota masihlah banyak. Sebuah hipotesa tentu akan selalu terupdate jika ada temuan lain yang lebih baru dan lebih valid. Karena ilmu pengetahuan akan selalu berkembang mengikuti edaran zaman. Biarlah Sebagian masih menjadi misteri agar kita tidak abai terhadap keberadaan situs-situs di Sumatera Barat, khusunya di Maek. Kelak anak cucu kita akan membuka tabir kesejarahan itu dan memanfaatkan menhir Maek sebagi media inspirasi sekaligus ekpresi bagi kehidupan kekinian.
Salam lestari…