Rekam Jejak Diplomasi Minangkabau dalam Ranah Budaya dan Sejarah

Rekam Jejak Diplomasi Minangkabau dalam Ranah Budaya dan Sejarah

Thoriq Giffan Aditya. (Foto: Dok. Pribadi)

Masyarakat minangkabau merupakan salah satu dari seluruh etnis di Indonesia yang berkontribusi terhadap masa depan bangsa. Salah satu hasil nyata dari bumi minang ini adalah perannya sebagai gedung penghasil para diplomat yang berkualitas. Ya, Hal ini dapat kita telusuri dalam sejarah Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Saat itu, para founding fathers dari republik ini sekaligus para diplomat seperti Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan Sutan Syahrir yang berdarah minang berhasil mempertahankan kedaulatan Indonesia di mata dunia.

Lantas, apa yang membuat tanah minang dapat memproduksi para diplomat ulung ini? Pada suatu kesempatan, penulis mengikuti kegiatan filedtrip yang diadakan oleh jurusan Hubungan Internasional Unand yang dilaksanakan pada Sabtu, 11 Mei 2024 lalu. Sasaran utamanya adalah para mahasiswa dapat belajar langsung mengenai konsepsi diplomasi minangkabau dari para praktisi. Tujuan Fieldtrip ini yaitu kediaman Bapak Yus Datuak Parpatiah yang berlokasi di Nagari Sungai Batang Maninjau, Kecamatan Tanjung, Raya Kabupaten Agam.

Bapak Yusbir atau yang lebih dikenal sebagai bapak Yus Datuak Nan Sabatang merupakan tokoh masyarakat sekaligus budayawan Minangkabau yang terkenal dalam upaya melestarikan budaya Minangkabau dalam bentuk kaset pada dekade 80-an dan 90-an. Karya-karyanya seperti drama "Di Simpang Duo", "Maniti Buiah" dan "Kasiah Tak Sampai" atau petuah adat seperti  "Pitaruah Ayah", "Baringin Bonsai", "Diskusi Adat" dan karya lainnya.

Saat sesi diskusi, Beliau mengatakan pengetahuan yang beliau dapatkan bukan berasal dari ranah akademi melainkan demi aka yang artinya berdasarkan pengalaman beliau dalam bermasyarakat. Diplomasi menurut Datuak Parpatiah adalah semacam teknis komunikasi untuk mencari tanah manang di dalam suatu perundingan. Untuk memahami diplomasi, menurut Datuak, kita harus melihat dari cerita asal muasal nama Minangkabau sendiri berdasarkan salah satu versi tambo.

Diplomasi Minangkabau dalam tambo

 Konon, dahulunya di zaman Majapahit, minangkabau merupakan tanah yang terkenal dengan hasil buminya yang kaya akan rempah-rempah. Semua orang datang ke tanah ini, termasuk para saudagar dari pulau jawa. Konon pada suatu momen, para saudagar Jawa ini  menawarkan barang-barang yang mereka ingin tawarkan kepada katumanggungan dan Datuak Parpatih Nan Sabatang dengan maksud memonopoli rempah-rempah.

Kedua datuak menolak tawaran ini, menginginkan semua orang berhak untuk berjual di ranah minang. Waktu itu terjadi tawar-menawar hingga para saudagar tersebut menawarkan peristiwa adu kerbau, di mana jika mereka menang mereka berhak memonopoli rempah sedangkan jika kedua datuak menang, maka ia berhak atas seluruh kapal dan barang saudagar Jawa tersebut.

Karakteristik orang minang anti terhadap yang namanya adu nasib, jikapun harus maka sudah ada jaminan harus menang dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. “Kok baparang darah ndak taserah tapi wak manang”, ucap Datuak Parpatiah. Namun karena gengsi, kedua datuak akhirnya menyetujui kesepakatan ini. Para saudagar membawa seekor induk kerbau yang besar dari pulau Jawa yang sengaja dipisahkan dari anaknya.

Kedua datuak yang mendengar kabar  lalu melakukan musyawarah dengan pemangku adat yang lainnya. Dalam musyawarah, argumen terus berputar mengenai bagaimana agar peluang untuk menang tidak hanya 50:50, hingga salah seorang yang mengusulkan jika kerbau jawa sengaja dipisahkan dari anaknya, mengapa kita memberikan anak kerbau yang dipisah dari induknya lalu diberikan taji besi di mulutnya yang menyerupai tanduk.

Hasil dari musyawarah ini dilaporkan ke saudagar Jawa. Para datuak mengatakan bahwa orang minang hanya mempunyai anak kerbau yang kecil dan meminta anak kerbau ini yang menjadi lawan kerbau besar. Sang saudagar membolehkan usulan ini. Namun, kedua datuak kembali membujuk bahwa dengan satu catatan, yaitu kerbau kecil ini dibolehkan menggunakan taji di mulutnya sebagai pengganti tanduk untuk mengimbangi kerbau jawa yang tanduknya mencapai 3 hasta. Sekali lagi, para datuak berhasil meyakinkan para saudagar Jawa ini.

Di dalam pertandingan, kedua kerbau dilepaskan dan terjadilah sesuatu yang tidak terduga. Waktu dilepaskan, kerbau jawa mengejar anak kerbau minang yang dikira sebagai anaknya, begitu pula dengan kerbau minang yang mencari ibuknya. Anak kerbau ini langsung mencari bagian bawah kerbau jawa ini untuk menyusui yang mengakibatkan perut induk kerbau terkurai. Bagaikan insting seorang ibu, si induk tidak melawan walaupun si anak menonjokkan taji yang tajam itu ke perut induknya.

Ketika si induk kerbau Jawa tumbang, maka bersoraklah penonton orang minang menang mengadu kerbau. Konon inilah asal usul dari kata minangkabau. Ada beberapa hal yang ditarik dari kisah ini. Pertama, orang minang menyelesaikan masalah dengan otak bukan dengan otot, yaitu bagaimana caranya untuk menundukkan musuh yang besar yang sebenarnya tidak dapat dilawan, namun karena gengsi harus dilawan dan menang. Kedua, menangnya anak kerbau dikarenakan adanya taji di mulutnya. Modal dari diplomasi minangkabau ada di mulutnya. Mulut digunakan sebagai media senjata yang paling ampuh dalam berkomunikasi, berpikir di dalam suatu momen.

Diplomasi Minangkabau dalam lentera revolusi

          Kedua bentuk dari diplomasi minangkabau dalam tambo relevan dengan kemerdekaan NKRI. Kemenangan Indonesia pada 7 Desember 1949 bukan direbut dengan senjata, namun dikarenakan alotnya perundingan-perundingan yang menyertainya. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan para diplomat asal minangkabau pada saat itu dalam berdiplomasi. Dengan melawan musuh yang besar yaitu Belanda dan sekutunya dengan menggunakan otak, yaitu dengan cara mempromosikan Indonesia sekaligus menuntut kedaulatannya di seluruh dunia.

          Salah satu contoh lainnya, Pada tahun 1948, Belanda melakukan agresi militer yang mengakibatkan Jakarta dan Yogyakarta jatuh dan Soekarno-Hatta berhasil ditangkap. Jika diibaratkan sebagai suatu permainan catur, maka permainan sudah ditentukan jika rajanya berhasil ditangkap, namun tidak untuk momen ini. Akan ada pion-pion yang dapat bergerak maju ke depan hingga dapat ditukar menjadi raja.

            Begitulah siasat para diplomat pada saat itu dengan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan ibukota yang dipindahkan ke Bukittinggi dan Amir Syafiruddin Prawiranegara sebagai presiden sementara. Dengan siasat cerdik diplomasi ini, existensi Indonesia di dunia internasional masih dapat dijaga dan dari sinilah alasan negara-negara PBB dapat mengakui kedaulatan Indonesia sebagai suatu negara.

Media diplomasi minangkabau

             Sebagian besar dari para diplomat minang ini hanya memiliki latar belakang sampai pendidikan sarjana. Bahkan sebagian besarnya tidak ada yang memiliki pendidikan formal. Lantas dari mana orang minang belajar pada saat itu? Jawabannya adalah surau dan pendidikan masyarakat.

Menurut Datuak Parpatiah, surau merupakan ”produser intelektual orang minang”. Surau yang kita kenal saat ini bukanlah surau yang sama dengan surau pada masa lalu. Kala itu, surau tidak hanya sekedar sebagai tempat beribadah namun juga sebagai tempat mengasah segala ilmu pengetahuan. “Di Surau bukan kami mangaji sajo, dilatih silek sajo, tapi kami berteka-teki, diajaan parlombaan pasambahan, sampai berdebat kusir”, ujar Datuak Parpatiah.

 Diskusi Berteka-teki mengasah menjadi alah untuk berpikir cerdik dan pengasah kemampuan logika para pemuda minang. Pembelajaran lainnya adalah kabek-mangabek pasambahan, belajar kato nan ampek, dan berbalas pantun.  Belajar dalam kemampuan bersilat lidah ini mempertajam intelegensi pemuda Minangkabau untuk menang dalam suatu perdebatan.

Pembelajaran silat di surau sebagai seni bela diri juga menjadi pembentuk karakter utama orang minang. Silat tidak hanya dilihat untuk melatih fisik/kekuatan, namun juga digunakan untuk melatih emosi dan pikiran. Dalam falsafah silat, seorang pemuda minang harus tahu kapan dia mengelak, menahan dan kapan dia menyerang untuk lawan yang bahkan sebenarnya tidak terlawan.  Sama seperti forum diskusi, seorang pemuda harus mampu berpikir kapan dia mempertahankan argumen, lalu kapan dia harus mengelak dan menyerang argumentasi lawan.

Secara garis besar, keberadaan surau melatih kemandirian pemuda minangkabau. Hal ini dikarenakan para pemuda sebagian besar menghabiskan waktunya untuk belajar di surau daripada di rumah. Hal inilah yang membentuk mental mandiri orang minang untuk dapat merantau ke negeri lain dan mampu mengadaptasikan diri untuk mencari pengetahuan atau kekayaan.

Salah satu media lainnya yang menjadi alasan orang minangkabau lihai dalam berdiplomasi adalah dari forum lapau. Lapau merupakan istilah warung bagi masyarakat minang namun memiliki ciri khas dengan forum atau ota lapau. Ota lapau berfungsi sebagai sarana bersilaturahmi, bertukar informasi, beragumen dan inilah model sederhana diplomasi ala minangkabau.  

Di lapau, semua permasalahan dibicarakan, mulai dari masalah kecil, masyarakat, hingga masalah negara. “Seluruh orang berhak maota di lapau seperti sidang paripurna DPR”, ujar Datuak Parpatiah. Semua orang berlomba untuk menyatakan argumennya. Tidak menunggu  terjadinya suatu perbedaan argumen yang panas. Uniknya lagi, apa yang diperdebatkan akan dimulai dan akan habis di lapau. Jadi tidak ada yang merasa dendam sehabis beradu argumen.

Datuak Parpatiah mengatakan perdebatan itu adalah maha adu dari intelegensi diplomat dalam mencari kemenangan. Sesuai dengan pepetah minang, yaitu Iyoan di urang, laluan di awak.  Meskipun pepatah ini berkonotasi negatif, namun di dalam rapat, pepatah ini dapat menjadi strategi dan etika orang minang dalam beragumen. Pada satu sisi, orang minang tidak secara langung atau menentang dengan jelas argumen orang lain. Namun, ia juga tetap harus mempertahankan argumen dan kepentingan dari dirinya sendiri.

Diplomasi Minangkabau di era modern

Sesi diskusi ditutup dengan harapan Datuak Partiah untuk generasi minang agar menelusuri mengayomi nilai-nilai minang. Namun hal ini menjadi beban pikiran penulis terhadap nilai minangkabau yang semakin hari semakin tergores arus globalisasi. Keberadaan lapau semakin hilang, tergantikan dengan konsep cafe yang lebih diminati pemuda minang. Fungsi surau semakin berubah sebagai sekedar tempat beribadah dan bermusyawarah di berbagai nagari, mengakibatkan tradisi pembelajaran budaya lainnya juga terhambat.

Lantas jika hal ini terus terjadi, maka bagaimana nasib dari budaya Minangkabau lagi, apakah peran diplomat dari tanah minang semakin berkurang? Penulis berpendapat bahwa kunci dari penulis ini adalah bagaimana agar menciptakan para pemuda yang mencintai nagari dan budayanya sendiri.

Hal ini harus melibatkan semua pihak. Pemerintah dapat melakukan adopsi pembelajaran budaya minang seperti pasambahan sebagai extrakulikuler wajib dalam pendidikan formal. Surau dapat dihidupkan lagi dengan mengaktifkan para remaja di nagari untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaan dan kebudayaan.

Cafe dapat diakulturasikan dengan lapau, yaitu dengan menggunakan arsitektur budaya minang dan makanan khas minang. Para perantau dapat mengenalkan kebudayaan minang di luar negeri melalui diplomasi publik dan ikatan keluarga minang. Terakhir dan yang paling utama adalah peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama anak yang dapat berkontribusi terhadap pembelajaran mengenai nilai minangkabau sejak dini.

*Penulis: Thoriq Giffan Aditya (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Orientalisme telah lama menjadi topik diskusi dalam kajian keislaman, terutama ketika dikaitkan dengan motif-motif politik dan misionaris
Kritik Orientalisme: Membongkar Bias Barat terhadap Dunia Islam
Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian,
OTT Itu Penting: Sebuah Bantahan untuk Capim KPK Johanis Tanak
Pada tahun 2024 ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar di 10.846 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah pemilih
Menolak Politik Uang: Menjaga Integritas Demokrasi di Sumatra Barat
Konsep multiverse atau "alam semesta jamak" telah lama menarik perhatian ilmuwan dan filsuf sebagai cara untuk memahami potensi keberadaan
Multiverse: Dimensi Paralel dalam Sains dan Budaya Populer
Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh
Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat
Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat
Amarah Tan Malaka: Umpatan dalam Bahasa Minang kepada Kolonial Belanda