*Penulis: Gema Teugoeh Putra (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)
Media Sosial dan Kemampuannya Membuat Viral
Perkembangan Media Sosial mengakibatkan informasi dapat tersebar dengan begitu cepat sehingga seolah olah tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Oleh karenanya media sosial saat ini menjadi sarana untuk membangun persona juga dimanfaatkan sebaga sarana untuk membuat masyarakat sadar akan sebuah peristiwa hingga suatu kondisi yang dikenal dengan “viral”.
Istilah “Viral” sendiri berasal dari istilah Bahasa Inggris yang kemudian diserap menjadi Bahasa Indonesia. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia viral memiliki arti yang berkaitan dengan virus, atau menyebar luas dan cepat seperti virus.
Berbagai kejadian hasil pengungkapan di media sosial telah banyak terjadi hingga kemudian menjadipemberitaan di tingkat nasional maupun lokal. Sebagai contoh tersebarluasnya keadaan jalan rusak di daerah lampung oleh salah seorang tiktoker pada April 2023 menjadi perhatian tidak hanya di provinsi Lampung tetapi juga menjadi perhatian di level nasional. Ada juga kasus kematian Vina di Cirebon yang terjadi pada tahun 2016 kemudian kembali menjadi viral dan menjadi perhatian publik pada tahun 2024.
Selain itu ada juga pemberitaan di level lokal seperti komplain masyarakat yang tersebar pada beberap portal berita online di Sumatera Barat tentang tidak berfungsinya lampu lalu lintas di beberapa titik di Kota padang pada awal tahun 2024 juga telah menjadi perhatian warga kota kota Padang.
Hal-hal tersebut memicu sebuah anggapan publik bahwa sesuatu “harus viral dulu baru diusut”. Istilah serupa juga hadir seperti “no viral no justice”. Anggapan ini menunjukkan adanya pesimisme publik terhadap keseriusan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya hingga anggapan tentang adanya pengabaian suatu Lembaga atas laporan maupun keluhan yang dialami masyarakat. Oleh karena itu masyarakat memilih mengambil langkah “memviralkan” sebuah kasus atau kejadian pada media sosial dengan harapan akan banyak masyarakat yang sadar, menjadi pemberitaan nasional dan pada akhirnya akan ada tindak lanjut dari organisasi yang menjadi sasaran komplain.
Berbeda ceritanya ketika viralnya suatu kejadian karena langkah baik yang dilakukan suatu organisasi sehingga membantu organisasi meningkatkan citra dan reputasi di mata publiknya. Contoh ini dapat dilihat dari kejadian pada tahun 2022 yang dilakukan Arief Muhammad dalam merespon keluhan pelanggan tentang usaha rumah makannya yang dikritik “ACnya tidak dingin” dengan tindakan memasang spanduk “AC Sudah Dingin” dan menginformasikan kepada publiknya. Tindakan ini mendapatkan respon positif dari masyarakat dan menunjukkan kemampuan humas untuk mengubah krisis menjadi peluang.
Namun demikian seringkali viralnya informasi lebih sering berkaitan dengan kejadian-kejadian yang disebabkan adanya ketidakseriusan organisasi yang pada akhirnya menciptakan krisis bagi organisasi tersebut. Hal ini memunculkan persepsi bahwa krisis yang terjadi bukan karena suatu hal yang diluar dugaan, melainkan sudah diketahui dan terkesan dibiarkan dengan tidak adanya tindakan lebih lanjut atas laporan hingga keluhan yang berasal dari masyarakat atau publik.
Krisis Bagi Organisasi
Devlin (2007) menjelaskan krisis sebagai “an unstable time for an organization, with a distinct possibility for an undesirable outcome”. Ini menunjukkan krisis sebagai suatu keadaan yang tidak stabil bagi suatu organisasi, dengan adanya kemungkinan untuk hasil yang tidak diinginkan. Dengan demikian krisis seringkali lebih berpotensi memberikan dampak negatif bagi organisasi.
Dalam perspektif lain, Chatra & Nasrullah (2008 : 22) menyebutkan bahwa krisis merupakan habitat kehumasan sehingganya organisasi dapat lahir dan berkembang. Keberadaan krisis menunjukkan kehumasan memiliki tempat dan berguna bagi organisasi
Ada banyak faktor yang memicu munculnya krisis. Nova (2011 : 75) menjelaskan beberapa faktor penyebab krisis diantaranya adalah bencana alam, kecelakaan industri, produk yang tidak sempurna, persepsi publik, hubungan kerja yang buruk, kesalahan strategi bisnis, masalah kriminal hingga pergantian manajemen.
Lebih lanjut Silviani (2020 : 137) menjelaskan Krisis-krisis tersebut seringkali tidak bisa diprediksi datangnya sehingga jalan terbaik untuk menghadapinya adalah dengan membuat perencanaan untuk menghadapi krisis. Tidak hanya sampai pada tahap perencanaan, kegiatan ini harus berlanjut dengan adanya pembentukan tim manajemen, proses komunikasi hingga evaluasi pascakrisis.
Faktor faktor penyebab krisis tersebut ditambah dengan adanya fenomena viral suatu kasus tentu menjadi bagian krisis dari organisasi dan berpotensi merusak reputasi organisasi. Krisis ini apabila dibiarkan dengan tidak adanya respon cepat dan pemberian informasi yang komprehensif tentunya akan berlanjut kepada munculnya krisis komunikasi.
Mengatasi Krisis Komunikasi
Fink sebagaimana dikutip oleh Irwanti (2023 : 10) menjelaskan bahwa Krisis Komunikasi terjadi ketika organisasi mengalami masalah dalam mengelola informasi dan berkomunikasi dengan pemangku kepentingan mereka selama situasi krisis. Krisis ini dapat merusak reputasi organisasi.
Selanjutnya Reklam (2008: 9) menyebutkan ada berbagai dimensi krisis yang berakibat pada krisis komunikasi yaitu 1) kejadian sesungguhnya yang menimbulkan krisis (the actual crisis event), 2) bagaimana otoritas publik (pemerintah) dan organisasi-organisasi merespon krisis, 3) gambar (rekaman foto atau video) dari kondisi yang menimbulkan krisis.
Melihat hal tersebut maka sebagaimana disebutkan oleh Regester Larkir (2000) dan dikutip oleh Butterick (2007 : 78) seringkali ada dua kesalahan organisasi dalam situasi krisis yaitu berbohong dan tidak berkata apa-apa. Oleh karena itu langkah komunikasi yang tetap bagi organisasi ketika menghadapi krisis adalah :
- Menceritakan semuanya. Artinya menginformasikan sebanyak yang diketahui. Jika memang tidak tahu maka segera mencari informasi yang benar.
- Ceritakan dengan segera. Tidak baik untuk menunda karena menunda memberikan isyarat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
- Ceritakan dengan sesungguhnya. Berusaha menutupi suatu informasi hanya akan menciptakan situasi yang lebih buruk.
Viralnya sebuah kejadian atau kasus sebagaimana contoh-contoh yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan adanya kegagalan organisasi salah satunya dalam hal membangun komunikasi dengan publiknya. Hal-hal tersebut seringkali terjadi karena pembiaran atas keluhan yang dialami publiknya dan kurang tanggapnya pihak-pihak di dalam organisasi dalam merespon situasi. Kegagalan tersebut diperparah dengan kondisi pengabaian atas setiap informasi yang viral oleh organisasi sehingga semakin memperkeruh situasi yang berdampak kepada krisis komunikasi. Dengan demikian akan lebih baik apabila upaya komunikasi dengan publik terus dibangun secara berkelanjutan sehingga meminimalisir potensi munculnya krisis.
Dalam perspektif lain, Prof Hasbi Marissangan MSi sebagaimana dikutip di artikel “Viral Dulu Baru Diusut” yang rilis pada tanggal 8 September 2023 menjelaskan bahwa upaya masyarakat untuk memviralkan suatu kasus adalah sebagai bentuk upaya untuk membuat tekanan mulai dari tekanan individu, kelompok maupun membuat tekanan sercara berorganisasi. Hal ini dilakukan agar masalah mendapat perhatian khusus. Dari sisi positifnya masalah akan cepat diperhatikan serta bentuk partisipasi masyarat dalam mengingatkan organisasi.
Oleh karena itu setiap organisasi melalui humasnya hendaknya tidak boleh mengabaikan setiap informasi dari publiknya baik itu yang sifatnya laporan, tanggapan hingga keluhan. Pengabaian terhadap hal tersebut akan berpotensi membuat publik merasa diabaikan sehingga menggunakan cara-cara lain seperti memviralkan suatu kasus untuk membuat masyarakat lain sadar sehingga kasus ataupun kejadian mendapatkan perhatian untuk segera diselesaikan. Kondisi ini akan membuat situasi menjadi tidak ideal bagi organisasi karena permasalahan yang ada dihadapi dengan tekanan dari masyarakat atau publik. Melihat kasus-kasus viral yang pernah terjadi sebelumnya, seharusnya organisasi bisa belajar bahwa pengabaian terhadap publik akan berpotensi memunculkan krisis. Terlebih kehadiran media sosial dengan kekuatannya pada akhirnya akan menekan organisasi untuk segera menuntaskan kasus yang dialaminya. Lalu apakah kita masih tetap dengan konsep menunggu “Nunggu Viral Dulu” baru kemudian bertindak?
Daftar Pustaka
- Butterick, Keith. (2012). Pengantar Public Relations: Teori dan Praktik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
- Chatra, Emeraldy and Rulli Nasrullah. (2008). Public Relations, Strategi Kehumasan Dalam Menghadapi Krisis. Bandung: Maximalis.
- Devlin, E.S. (2007). The Crisis Management Planning and Execution. New York: Auerbach Publication.
- Irwanti, Marlinda (2023). Manajemen Krisis Komunikasi (Tinjauan Teoritis dan Praktis). Kabupaten Bandung : Penerbit Widina Media Utama.
- Silviani, Irene (2020). Public Relations Sebagai Solusi Komunikasi Krisis. Surabaya: Scopindo.
- Reklam AB, Jupiter. 2008. Crisis Communications Handbook. Huskvarna, Swedish : Emergency Management Agency (SEMA)
- Identitasunhas.com. (2023, 8 September). Viral Dulu Baru Diusut pada 3 Juli 2024, dari https://identitasunhas.com/viral-dulu-baru-diusut/