Mulai akhir pekan ini hingga sepuluh hari ke depan, secara bertahap jamaah haji kembali ke tanah air. Rangkaian prosesi sebulan di tanah suci, dengan jarak tempuh 18 jam penerbangan melintasi 19.000 km, tentu saja cukup melelahkan. Ritual yang tidak saja “menguras” stamina fisik dan psikis, tetapi juga pundi-pundi ini, sudah semestinya berimplikasi besar, baik bagi pribadi maupun umat. Karenanya, oleh-oleh yang dibawa dari Haramain sejatinya jauh lebih berarti dari sekedar kurma dan air zam-zam. Tanah air menunggu berkah, khususnya bukti sosiologis mabrurnya 241.000 orang jamaah haji tahun ini, termasuk 4.806 orang di antaranya dari bumi Sumatera Barat.
Posisi Ibadah Haji
Sebagai pamungkas rukun Islam, haji memiliki nilai ibadah sangat tinggi. Secara kasat mata, urutan lima rukun Islam, yakni syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji, selain menampakkan tingkatan posisi landasan fundamental beragama, juga menyiratkan peringkat tingkat “kesulitan” pemenuhannya. Berbeda dari syahadat, salat, dan puasa, zakat dan haji hanya bisa ditunaikan mereka yang memiliki kemampuan finansial. Barangkali lantaran itulah syariat wajib haji baru turun di penghujung era kenabian. Perintah salat turun 18 bulan sebelum Hijrah, puasa tahun kedua, dan zakat tahun ketiga. Sedangkan haji, merujuk Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (2004) baru diwajibkan tahun kesembilan Hijrah. Rasulullah Saw sendiri menunaikannya setahun kemudian, 82 hari sebelum wafatnya.
Secara historis kewajiban haji berselang setahun pasca fathu Makkah di tahun kedelapan. Pembebasan Mekah dari kekuasaan musyrikin tersebut tidak saja sebagai peristiwa politik, tetapi juga teologis. Pada peristiwa amat monumental itu, seantaro kota dibersihkan dari segala berhala. Haji pertama berlangsung setahun kemudian di bawah komando Abu Bakar, ditandai pelarangan orang musyrik ikut berhaji dan ritual tawaf bertelanjang (Hamka, 2004). Gradual kronologis peristiwa-persitiwa itu bisa dimaknai secara simbolik sebagai isyarat perlunya komitmen pembersihan diri dari perilaku musyrik dan penyimpangan moral sebelum berhaji.
Praktek kemusyrikan di era modern tentu berbeda dari era jahiliyah abad 6 Masehi. Mengutip Tafsir At-Tanwir (2022), terdapat dua bentuk syirik di era kini. Pertama, menuhankan akal dalam mencari kebenaran, atau menjadikannya sebagai tumpuan, bukan bersumber pada wahyu Allah Swt. Kedua, mempertuhankan hawa nafsu, termasuk dalam mengejar kekayaan. Paham hedonisme ini menganggap kenikmatan dan kesenangan materi sebagai tujuan utama hidup. Dalam konteks hari ini, jabatan, status sosial, kekayaan, pemikiran/ karya, kultus tokoh, bahkan amalan tertentu, bisa menjadi berhala yang mencederai ketauhidan (Hamsah, 2021). Sejatinya, segala bentuk dan praktek syirik dan penyimpangan moral ini sudah tercerabut dari pribadi sepulang berhaji.
Berkah Ekonomi Ibadah Haji
Akumulasi biaya penyelenggaraan haji, sungguh luar biasa besarnya. Dalam konteks nasional, untuk tahun 2024 ditetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) senilai Rp93,4 juta. Enam puluh persennya ditanggung jemaah, yakni rata-rata Rp56.046.172, sedangkan sisanya rata-rata Rp37.364.114 bersumber dari Nilai Manfaat Keuangan Haji (haji.kemenag.go.id/29/11/23). Dengan jumlah 241.000 orang jemaah, maka total uang keluar secara nasional di musim haji ini mencapai Rp22.509.400.000.000.
Perputaran uang lebih 22,5 triliun rupiah itu tentu memberi nilai ekonomis luar biasa. Jabani (2020) menginventarisir sektor riil yang meraup keuntungan haji, sejak dari tours and travel, transportasi, makanan, perhotelan, telekomunikasi, garmen dan tekstil, perbankan, asuransi, kurir & kargo, kemah & tenda, hingga industri merchandise. Menurut Ramadhan (2024), ada seribu lebih agen perjalanan haji dan umrah di tanah air dengan keuntungan miliaran rupiah. Menurutnya, total pendapatan biro-biro perjalanan haji dan umrah mencapai lebih dari Rp10 triliun pertahun. Sektor perbankan juga tidak kalah untung. Pihak OJK melaporkan dana tabungan haji di perbankan syariah meningkat 12% pertahun, mencapai lebih dari Rp30 triliun. Tak ketinggalan pula pendapatan pajak dari sektor-sektor terkait haji berkontribusi hingga Rp1 triliun pertahun pada PAD di beberapa daerah. Pendek kata, dari aspek ekonomi, uang mengalir deras ke sejumlah pihak setiap musim haji.
Berkah Sosial Haji
Besarnya berkah ekonomi even haji yang kini terus meroket, tampak belum berbanding lurus dengan berkah sosialnya. Berkaca pada sejarah masa lalu, di akhir abad 19 hingga era proklamasi, ternyata kontribusi sosial haji cukup signifikan. Wibowo (2019) mengungkapkan, di tengah kesulitan ekonomi, transportasi, dan administrasi haji ketika itu, tercatat sejumlah dampak nyata haji. Di era itu pengaruh jamaah haji sangat signifikan sebagai cikal bakal perjuangan melawan penjajah Belanda. Di Mekah terdapat semacam yayasan yang menampung santri-santri Indonesia sebagai bentuk solidaritas serta tempat menempa ilmu dari Timur Tengah khususnya tentang Pan Islamisme ketika itu. Munculnya perlawanan yang dipelopori para hajidi berbagai daerah, seperti Minangkabau, Yogyakarta, Cilegon, dan Aceh menunjukkan ekspresi kepedulian sosial politik mereka yang amat tinggi.
Begitu pula di sektor pendidikan, kontribusi haji sangat besar di era itu. Para mukimin yang tetap tinggal di Mekah beberapa tahun untuk menuntut ilmu, pada saatnya pulang membawa ilmu dan pengalaman ke tanah air untuk bekal pendidikan umat. Sehingga, di awal abad ke XX, terjadi perubahan signifikan dalam sistem pendidikan agama di Hindia Belanda, yang dipengaruhi sistem pendidikan Mesir dan Hijaz yang dibawa para mukimin yang pulang. Sejarah mencatat Madrasah Adabiyah Padang tahun 1909, didirikan Haji Abdullah Ahmad, pedagang tekstil yang pernah empat tahun mukim di tanah suci. Begitu pula Surau Jembatan Besi di Padang Panjang, diasuh Haji Rasul yang pernah mukim di sana beberapa tahun. Di Yogyakarta, Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang juga mukim beberapa tahun di Mekah, menjadi tokoh besar yang berkontribusi dalam perubahan pendidikan dan kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Jauh di sana, di pulau Salemo, Sulawesi, sejumlah haji membuka pengajian menurut keahliannya di rumah masing-masing.
Pendek kata, dalam kondisi serba keterbatasan era itu, kontribusi sosial para haji nyata dirasakan umat. Lalu, apa saja yang diperoleh umat dari even haji dari tahun ke tahun di era sekarang yang semakin berlimpah rupiah ini? Jika dana puluhan triliun rupiah setiap tahun itu dipandang sebagai investasi, maka sejatinya dampak riil bagi kehidupan sosial umat yang masih terpuruk ini, akan jauh lebih besar dibanding haji di zaman kolonial dulu. Wallahu a’lam.
*Penulis: Dr. Faisal Zaini Dahlan, M.Ag (Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang)