Reformasi (Bagian II): Introspeksi

Reformasi (Bagian II): Introspeksi

Ilhamdi Putra, SH. MH

Apa yang terjadi 26 tahun lampau tinggal sejarah. Reformasi adalah keping montase dari sebuah lanskap besar dinamika politik dan ekonomi yang membawa perubahan besar dalam konstruksi sosio-politik Indonesia. Kala itu, mimpi besar demokrasi yang berhasil direngkuh seolah menghentikan laju gerakan reformis untuk kemudian terjerumus ke dalam regresi baru.

Kuat-Lemah Infrastruktur Politik

Reformasi memang menghancurkan satu tatanan politik yang mapan, namun di atas reruntuhan itu oligarki kekuasaan baru kemudian didirikan. Menariknya, bila pola kekuasaan, despotisme, kediktatoran dan militerisme diamati secara berkelindan, usia kekuasaan Orde Baru tampak memberi efek berantai yang tanpa disadari menjadi salah satu pemantik perlawanan berskala besar. Sebab kediktatoran mengunci katup-katup demokrasi, sementara usia kekuasaan yang merentang jauh berjalan secara bersamaan dengan menguatnya bibit-bibit perlawanan.

Pola inilah yang kemudian menjadi identifikasi menguatnya infrastruktur politik yang mencapai puncaknya pada peristiwa Reformasi. Kelompok penekan yang pada akhirnya memberi ledakan aksi yang menghancurkan katup-katup penutup demokrasi.

26 tahun kemudian keadaan berubah. Berdirinya oligarki kekuasaan baru di atas puing rezim yang diruntuhkan Reformasi telah bertansformasi menjadi pola kekuasaan yang lebih mapan. Celakanya, aktor intelektualnya adalah mereka yang terdaulat sebagai aktivis Angkatan ’98 (Samadhi, 2021). Misalnya peran vital partai sebagai salah satu infrastruktur politik. Orde Baru memang menyederhanakan partai politik hingga hanya berjumlah tiga partai sejak dekade 1970-an. Namun kemudian salah satu partai yang mengalami pembonsaian mengalami perpecahan dan bermanuver dengan memanfaatkan momentum dalam kronik Reformasi. Bersama kelompok politik lain yang dimarjinalkan oleh rezim, partai itu kemudian membangun basis kekuatan politik baru yang menjadi alternatif bagi rakyat yang kehilangan gairah pada politik representasi. Hal ini mempertebal kompleksitas dinamika politik di sekitar peristiwa Reformasi.

Peran organisasi kemahasiswaan juga memainkan peran penting dalam kronik Reformasi. Bersama organisasi kemasyarakatan dan akademisi, tiga kelompok besar ini kemudian bergerak secara berbarengan menuju satu titik tuju. Gerakan itu kemudian direkat oleh ekosistem jurnalistik yang mulai menapaki kemapanan setelah turut mengalami kontrol ketat selama tahun-tahun yang panjang oleh dua rezim. Semua inilah yang menjadikan infrastruktur politik dalam rangkaian peristiwa Reformasi memiliki kekuatan memadai untuk berperan sebagai kelompok penekan, sekaligus penentu.

Sedangkan kini, unsur-unsur infrastruktur politik yang setidaknya terdiri dari partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi kemahasiswaan, ekosistem jurnalistik dan akademisi mengalami pembelahan di titik yang belum pernah terjadi pada rezim Orde Baru.

Partai politik, misalnya. Ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20% memaksa partai-partai untuk berkoalisi satu sama lain yang mengakibatkan terjadinya pelengkungan manifestasi politik organisasi. Ambang batas yang begitu besar juga menyuburkan partai-partai besar dan kian mengerdilkan partai-partai kecil, sehingga rakyat tidak lagi memiliki pilihan alternatif di luar hegemoni tokoh-tokoh politik yang berafiliasi dengan partai besar. Kecenderungan ini mengakibatkan partai-partai kecil yang seharusnya memberi warna baru justru terjebak dalam oportunisme syahwat kekuasaan dengan mengambil langkah pragmatis untuk bergabung dalam sebuah koalisi yang dipimpin partai besar. Belum lagi mengingat partai-partai besar yang ada hari ini lebih menyerupai partai keluarga, atau setidaknya partai yang dikuasai oleh para pemodal. Minus demokratisasi di tingkat internal partai politik adalah salah satu sebab besar nihilnya peran partai politik, setidaknya partai tidak lagi mampu memainkan peran pengawasan di parlemen. Alih-alih membangun basis kekuatan oposisi guna mengimbangi hegemoni kekuasaan, mereka justru ikut-ikutan berebut jatah kekuasaan di pos-pos strategis pemerintahan.

Nasib tidak jauh berbeda dialami organisasi kemasyarakatan yang pada umumnya terafiliasi dengan partai politik atau organisasi non-partai yang memiliki kepentingan politik-ekonomi. Sialnya, mahasiswa yang pada sejarahnya mampu memainkan peran vital justru berhasil dipecah oleh kepentingan politik di atasnya. Hal itu terlihat dari pola gerakan mahasiswa kontemporer yang tersusun atas banyak faksi yang dapat diidentifikasi sebagai kelompok partisan untuk berperan sebagai watchdog bagi penguasa. Aksi dukungan bagi Hakim Konstitusi yang berstatus semenda Presiden baru-baru ini contohnya, dan yang paling memilukan adalah nihilnya peran organisasi kemahasiswaan di isu-isu tertentu yang menyangkut kepentingan tokoh ataupun partai politik tempat organisasinya bergantung. Tren yang ditunjukkan organisasi kemahasiswaan hari ini sangat dipengaruhi oleh pola interaksi senior-junior dalam organisasi, dan jiwa penghambaan diri yang tinggi. Akibatnya tidak lain dari peningkatan rasa ketergantungan dalam relasi patronisme.

Regresi intelektualitas itu diperparah dengan menurunnya peran akademisi di Perguruan Tinggi yang ikut-ikutan menjadi partisan. Mereka, dengan kecanggihan ilmunya, justru berupaya melegitimasi kekuasaan yang mengebiri nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai yang pernah mereka perjuangkan saat masih berstatus mahasiswa. Dengan bekal keilmuan mumpuni serta pengaruh di ruang publik, akademisi partisan justru berebut panggung untuk menyampaikan narasi oportunismenya. Lihatlah betapa banyak akademisi partisan dengan deretan panjang gelar akademis di balik namanya yang justru mendukung legitimasi kekuasaan pasangan Presiden-Wakil Presiden yang memenangi pilpres paling curang sepanjang sejarah era Reformasi.

Sementara eksosistem jurnalistik mengalami nasib pahit. Secara ideal, pers seharusnya memainkan peran yang imparsial di tengah dinamika politik. Itulah mengapa secara akademis, pers dikonstruksikan sebagai cabang kekuasaan keempat yang bertugas mengawasi tiga cabang kekuasaan konvensional (Manan, 2012). Namun yang terjadi hari ini justru pers digunakan sebagai alat di antara hubungan tarik-ulur politik kepentingan. Belum lagi Indonesia tidak memiliki instrumen hukum yang membatasi keterlibatan politisi dan partai politik dalam perusahaan pers. Akibatnya idenpendensi pers mengalami perusakan sejak dari dalam. Pola ini terlihat jelas dalam dua edisi pilpres, 2014 dan 2019, di mana dua kubu yang berkontestasi sama-sama memiliki basis dukungan dari politisi yang juga pemilik perusahaan pers. Itulah mengapa pada dua edisi pilpres tersebut terdapat dikotomi pada banyak media arus utama yang berperang narasi, dan hal itu berlanjut hingga pemerintahan berjalan meski terus mengalami penyusutan di paruh pertama 2024. Kini perang narasi itu tidak lagi terjadi. Alasannya begitu sederhana, para politisi cum pengusaha pers tersebut telah merapatkan barisan dalam koalisi gemuk pemenang pilpres.

Dari seluruh pola itu, terdapat setidaknya sebuah pembedaan antara pola perilaku kekuasaan antara Orde Baru dengan rezim hari ini. Bila Orde Baru melakukan perusakan dari luar infrastruktur politik, rezim hari ini justru melakukan perusakan dari dalam infrastruktur politik. Akibatnya infrastruktur politik tidak bekerja bukan karena keadaaan tetapi karena keengganan.

Pada akhirnya, pola kekuasaan setelah 26 tahun Reformasi membuktikan kebenaran pemikiran Polybius, cycle theory (anacyclosis). Sederhananya, Polybius menilai watak kekuasaan berjalan seperti lingkaran, bahwa demokrasi tidak akan kekal (Podes, 1991). Demokrasi bisa dan sangat mungkin dirusak, justru oleh orang-orang yang dipilih secara demokrastis (Levitsky & Ziblatt, 2018).

Lampiran Gambar

Gambar: Cycle Theory

Dalam Bayangan Kejayaan Masa Lalu

Hidup dalam bayang-bayang kejayaan masa silam adalah kenyataan paling pahit setelah meraih kemenangan. Kecenderungan ini setidaknya diidap oleh dua kelompok; oknum Aktivis ’98 dan oknum Aktivis Mahasiswa hari ini.

Bagi oknum Aktivis ’98 yang menumbangkan rezim, eksistensi mereka hari ini seolah sebagai ahli waris peradaban yang dilahirkan dari ceceran darah perlawanan 26 tahun lampau. Di atas genangan darah yang ditumpahkan peluru militer dan jejeran jenazah korban rezim, mereka silih berganti mendaulat diri dan kelompoknya hari ini sebagai penerus semangat Agenda Reformasi. Benarkah demikian? Masih relevankah Agenda Reformasi hari ini? Apakah oknum Aktivis ’98 masih memainkan peran penting setelah 26 tahun?

Tulisan ini dapat mengajukan nama oknum Aktivis ’98 dalam daftar panjang yang terjela-jela, mereka yang hari ini berperan sebagai politisi di parlemen ataupun justru terperosok dalam organisasi kelompok partisan tapi mengalami disorientasi peran. Bahkan nama-nama oknum Aktivis ’98 yang sohor 26 tahun lampau dan tenar hingga 2024 malah merapatkan barisan mendukung pelaku kejahatan HAM untuk menjadi Presiden. Mereka tanpa bercermin diri telah memenangkan seorang politikus yang 26 tahun lampau memburu nyawanya, hanya nasib baik yang tidak menjadikan mereka menambah panjang daftar korban jiwa rezim tangan besi.

Relevansi Agenda Reformasi dapat diperdebatkan. Tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN tampaknya masih jauh panggang dari api (Ilhamdi, 2021 & 2021), dan perilaku korup itu bahkan dilakukan secara gotong royong oleh mereka yang mendaku sebagai pewaris peradaban Reformasi. Apakah masih relevan untuk menyuarakan pengadilan bagi Suharto yang tinggal nama dan mewariskan nasib malang atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya? Sedang anak-cucu Suharto tetap hidup bergelimang harta di atas skandal korupsi Bapaknya. Keadaan tidak jauh berbeda terjadi pada kroni Suharto yang menangguk untung dari kediktatorannya. Siapakah yang akan mengadili kejahatan kemanusiaan atas pembantaian jutaan nyawa akibat akrobat militer Sarwo Edhie Wibowo, mertua Presiden ke-6 Indonesia itu?

Di tengah regresi peran ini oknum Aktivis Mahasiswa juga mengambil tempat. Hanyut dalam bayang-bayang kejayaan masa silam seniornya. Mereka adalah oknum Aktivis Mahasiswa yang terus bernarasi “dulu mahasiswa begini, dulu begitu”. Tapi itu dulu, bukan hari ini!

Dalam dua gelombang perlawanan yang berhasil menumbangkan kediktatoran, 1965 dan 1998, mahasiswa memang memainkan peran penting, tapi bukan semata merekalah yang tampil sebagai penentu kemenangan. Penumbangan kediktatoran itu adalah buah kerja kolektif hampir seluruh elemen masyarakat yang terdiri dari banyak lapisan serta memainkan beragam peran. Di samping itu, zaman telah berubah, tahun berganti dan manusia pun datang dan pergi. Pola pergerakan massa 26 tahun lampau tidak dapat dipersamakan dengan hari ini. Kala itu gerakan terjadi semata secara fisik, hari ini gerakan perlawanan dapat pula dijalankan di dunia maya. Lihatlah Tunisia di tahun 2011, salah satu faktor penyebab jatuhnya kekuasaan Ben Ali juga dipengaruhi oleh gelombang penolakan di media sosial.

Bahkan sejauh nalar sehat mengingat ke belakang, dua peristiwa penting dalam sejarah pergerakan mahasiswa bukanlah sebuah peristiwa tunggal melainkan didahului oleh rentetan peristiwa menahun yang berujung pada tumbangnya rezim. Arti kata, perjuangan kolektif itu meniscayakan adanya arus pergerakan menuju satu titik yang menjadi kehendak bersama. Berkaca pada pergerakan oknum Aktivis Mahasiswa hari ini, agaknya begitu sulit untuk menyatukan potensi kekuatan politik menuju satu tujuan yang sama, sebab banyak kelompok partisan yang melenceng jauh dari nilai-nilai demokrasi dan justru bersikap oportunis.

Belajar dari yang sudah-sudah, pola pergerakan massa yang berhasil selalu didahului oleh rasa senasib-sepenanggungan. Ragam orientasi politik organisasi kemahasiswaan, sepanjang sejarah, membutuhkan kekuatan penekan dari luar yang pada akhirnya menyatukan arah pergerakan. Apakah mahasiswa tengah menunggu tekanan eksternal itu, ataukah tekanan eksternal itu sebenarnya telah menjalar namun belum cukup kuat untuk menyatukan? Waktulah yang akan menjawabnya, dan bayang-bayang kejayaan masa silam tetaplah racun yang membunuh dengan perlahan, begitu pelan.

Bila ingatan adalah anak kandung dari masa lalu,maka kenangan adalah anak haram dari masa silam

Ilhamdi Putra, S.H., M.H. merupakan dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas

Baca Juga

Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Seperempat abad reformasi sudah pasti memberikan banyak wajah baru bagi pemerintahan Indonesia. Walaupun tentu tidak bisa dipungkiri bahwa.
25 Tahun Reformasi, Dampaknya Bagi Politik dan Pemerintahan
Menyoal Pemahaman Pejabat Publik tentang Hukum Pers
Menyoal Pemahaman Pejabat Publik tentang Hukum Pers
Polemik Tak Tuntas Gubernur Sumbar dan Kalangan Pers
Polemik Tak Tuntas Gubernur Sumbar dan Kalangan Pers
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Menunggu Kepemimpinan Strategis Gubernur Baru
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?