Habibur Rahman
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan aforisme yang nyata dan dipegang erat secara turun temurun oleh masyarakat Minangkabau pasca Islam masuk. Hal ini membuktikan sekaligus mendeskripsikan bahwa sejatinya terdapat kombinasi yang elok antara kedua unsur tersebut di Ranah Minang.
Di samping itu foto di atas merupakan salah satu kondisi di dalam bangunan Masjid Tuo bersejarah yang bersenyawa dengan arsitektur kebudayaan Minangkabau, yang mana Masjid Tuo ini telah beroperasi pada kurun waktu 1837 - 1970 an, dan terletak di wilayah Darek.
Masjid ini telah mewarnai proses keislaman pada daerah tempat masjid ini berdiri yakni di Jorong Ampang Gadang, Kenagarian VII Koto Talago Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatra Barat. Jikalau kita memasuki kawasan Masjid ini kita akan diingatkan dengan masa lalu hal ini disebabkan karena pesona yang begitu exotis dari Masjid Tua ini, yang akan membuat kita bernostalgia dengan khas-khas bangunan Surau Minangkabau di masa lalu.
Namun kini Masjid ini telah ditinggalkan dan masyarakat beralih kepada Masjid yang notabenenya terlihat modern yang dibangun dengan batu bata dan bahkan yang lebih membuat saya berpikir keras yaitu, sebagian masyarakat sudah tak menjamah Masjid Tuo ini lagi, karena adanya kesan angker yang disematkan kepada Masjid Tuo ini.
Saya justru tidak mengerti dan dibuat keheranan, kenapa masyarakat selalu saja berpersepsi bangunan ibadah se ikonik itu, seperti Surau, Longgar, Masjid Tua sekalipun, apabila ia terletak jauh dari keramaian dan berada di lembah kesunyian selalu saja disematkan kesan angker yang pada akhirnya membuat masyarakat itu sendiri rasa takutnya lebih besar daripada keinginannya untuk beribadah disana, apakah ini semacam pembunuhan proyeksi kultural keislaman kita?
Bahkan setelah jati diri "modernitas" tertanam di masyarakat kita, ia akan lebih cenderung meninggalkan ranah masa lalu dan menganggap kehidupan modern lah yang harus diterapkan dengan semangat, tetapi ada nilai-nilai kultural yang terlupakan dibalik itu. Betapa banyak situs-situs keislaman masa lalu yang telah berhenti beroperasi dan cenderung tidak terawat di Ranah Minang, tetapi masyarakat kita kebanyakan lengah dan menganggap bangunan itu sebagai suatu hal kuno yang layak untuk ditinggal pergi dari peradaban.
Akankah selalu begini? Mata terbuai dengan bangunan indah, bertingkat, mengkilat ? Sementara disekitar kampung kita masih ada bangunan-bangunan yang masih layak untuk dilanjutkan fungsinya di tengah-tengah masyarakat, katanya kita "bersyarak" dan juga "baradaik" tetapi persoalan ini saja kita kerap lalai di lapangan, saya tegaskan meninggalkan dan membiarkan lapuk bukanlah sebuah cara dalam menikmati suatu hal yang "baru" di samping itu yang mirisnya dalam menapaki kaki di bangunan-bangunan bersejarah tersebut mata saya kerap kali diperlihatkan dengan lembaran-lembaran Al-Qur'an yang bercerai berai menambah hati saya semakin teriris dan membuat saya meneteskan air mata.
Jadi buat apa kita bersorak riang ketika Masjid Raya Sumbar dinobatkan oleh Abdullatif Al Fozan Award for Mosque Architecture sebagai Masjid dengan desain arsitektur terbaik di dunia, malah ternyata dibalik itu di daerah-daerah kita sendiri masih ada tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah keislaman yang justru terbengkalai dan menunggu waktu roboh bahkan ada yang sudah roboh.
*Habibur Rahman merupakan Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis sejarah ketokohan ulama-ulama Tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau