Langgam.id - Sirine meraung dari puncak jam gadang. Letnan Kolonel Marinus Raebel mengusap mata. Hari itu adalah batas akhir ia dan pasukannya meninggalkan Bukittinggi. Kota yang dikuasai Tentara Belanda hampir satu tahun. Sejak 22 Desember 1948, hanya tiga hari setelah Agresi Militer II dilancarkan hingga 7 Desember 1949, hari itu.
"Tanggal 7 Desember 1949, jam 12.00 secara resmi pasukan-pasukan bersenjata Belanda meninggalkan Bukittinggi," tulis Awaloedin Djamin dalam 'Bunga Rampai Peran Pelajar Pejuang di Sumatera Tengah Selama Perang Kemerdekaan' (1996). Peristiwa itu tepat terjadi 70 tahun yang lalu dari hari ini, Sabtu (7/12/2019).
Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi dalam "Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa: Gubernur Di Tengah Pergolakan" (1998) menulis, Overste Raebel menangis saat harus meninggalkan Bukittinggi.
"Mungkin ia merasa telah memenangkan banyak pertempuran selama Agresi II, menduduki Bukittinggi dan sekitarnya selama hampir setahun lamanya."
Kini, menurut Hasril, sebagai hasil perundingan dan perjuangan diplomasi RI, ia harus pergi dari kota itu. Raebel harus meninggalkan kuburan sejumlah pasukannya yang tewas dan ada pula yang hilang tak berbekas.
Salah satu yang dipertanyakan Raebel adalah kematian Kapten Scheper. Salah satu perwiranya itu terbunuh di IV Koto, Agam dan tak bisa diusutnya secara tuntas. "Ia pernah menanyakan kepada Letnan I Hasan Basri, komandan Sektor I/Sub Komando A TNI di Matur, siapa yang membunuh Kapten Scheper," tulis Hasril dan Khairul.
Hasan Basri, perwira TNI yang masuk sehari sebelum serah terima, menjawab enteng pertanyaan itu. Menurutnya, ia kebetulan ia tidak bertugas di sana waktu peristiwa itu terjadi.
Letkol Marinus Raebel adalah komandan Batalion 4 Regiment Stoottroepen (Resimen Penyerbu/Raider) Angkatan Darat Belanda. Ia mendarat di Medan pada Juni 1947 dan awalnya bertugas di wilayah Sumatra bagian utara.
Saat Agresi II yang dianggap Belanda sebagai aksi polisionil, ia diperbantukan (BKO) ke Brigade U yang membawahi wilayah Sumatra Tengah. Dengan anak buah ratusan, Raebel merupakan pimpinan tentara Belanda tertinggi di Bukittinggi.
Hari itu, saat sirene kedua berbunyi, pasukan-pasukan Republik yang terlah bersiap di pinggir kota, berbaris masuk Bukittinggi. "Didahului pasukan Mobrig pimpinan Inspektur Polisi I Amir Machmud," tulis Hasril.
Setelah sirene ketiga berbunyi, seluruh kesatuan -yang sejak 22 Desember 1948 meninggalkan Bukittinggi — berbaris menuju pusat kota. "Pasukan-pasukan yang mendapat kesempatan masuk kota pada hari itu adalah pasukan Beruang Agam, Pasukan Berayun, pasukan Rimba Raya, Brimob dan barisan Tentara Pelajar."
Komandan-komandannya adalah Letnan I Djohan, Letnan Hasrul Dt. Rangkayo Basa, Letnan Rasjidin Rasjid, Inspektur Polisi Amir Machmud, Raden Jusuf dan lain- lain.
Pagi harinya, menurut Hasril, bertempat di Kantor Komandan Militer Belanda di Bukittinggi, dilangsungkan upacara serah terima. Pihak Belanda diwakili Raebel dan beberapa perwiranya.
Dari pihak Republik yang menerima penyerahan itu adalah Gubernur Sumatera Tengah Mr. M. Nasroen, Letkol Dahlan Jambek, Mayor Karim Rasjid dan para pimpinan pasukan. Serah terima disaksikan perwira-perwira dari Komisi Tiga Negara (KTN) yang menjadi mediator sekaligus pengawas penyerahan kedaulatan. Hal ini sebagai pelaksanaan keputusan Konferensi Meja Bundar di Belanda.
"Serah terima Kota Bukittinggi, merupakan puncak dari penyerahan kembali kota-kota di Sumatera Tengah yang diduduki Belanda selama Agresi H. Kala itu, Bukittinggi merupakan kota terpenting di Sumatera dan merupakan kedua RI setelah Yogyakarta," tulis Hasril.
Sejarawan Mestika Zed dkk dalam Buku "Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945-1995" (1995) menulis, pelaksanaan penyerahan kadaulatan, berada di bawah badan kerja sama lokal (local joint committee).
Hasil pembicaraan dengan kedua pihak disepakati gencatan senjata (ceasefire) dan serah terima beberapa kota penting di Sumatera Tengah.
Menyusul pengembalian Bukittinggi, tak lama kemudian terlaksana pula serahterima kota-kota lainnya di Sumatera Barat. Seperti, Payakumbuh, Batusangkar, Padang Panjang, Solok dan terakhir Kota Padang pada tanggal 27 Desember 1949.
Setelah itu, tentara Belanda pun bertolak kembali ke Negeri Belanda. Pasukan Letkol M Raebel misalnya, berangkat pada 7 Februari 1950 dengan kapal "Pasteur". Pasukan yang tiba di Belanda di akhir Februari 1950 ini kehilangan 30 personil.
Sumbar sendiri adalah medan perang yang berat untuk tentara Belanda. Brigjen Saafroedin Bahar dalam Buku ‘Etnik, Elite dan Integrasi Nasional’ menyebutkan, perlawanan oleh pejuang bersama TNI efektif merepotkan tentara Belanda. “Brigade U KL yang bertugas di Sumbar berulang kali meminta bantuan ke markas besarnya di Jakarta,” tulisnya.
Pimpinan tentara Belanda yang rata-rata veteran atau tawanan Jerman saat Perang Dunia II, seolah sudah bosan dengan perang. Sementara, tentara muda yang baru lulus sekolah militer, tak menyangka akan menerima perlawanan kuat.
Saafroedin mengutipkan surat penasihat politik pemerintah Belanda untuk Sumatra Barat yang menggambarkan situasi ketika itu. “Di Minangkabau, yang berjiwa republikein sangat kuat, perlawanan pejabat-pejabat militer dan sipil terhadap pasukan-pasukan kita, tak sedikitpun kendur dan disusun dengan cara luar biasa efisien, sehingga pendudukan pusat-pusat besar oleh pasukan kita tidak ada artinya sama sekali,” tulisnya pada 6 Juni 1949. (HM)