Langgam.id - Karya terbaru penulis kawakan Sumatra Barat, Fatris MF berjudul Di Bawah Kuasa Naga akan diluncurkan pada 25 April mendatang di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, Kota Padang. Bersamaan dengan itu pula, akan digelar pameran fotografi, seni rupa, yang berlangsung 25-28 April 2024 di lokasi yang sama.
Di Bawah Kuasa Naga merupakan pameran tentang kehidupan orang-orang di wilayah Taman Nasional Komodo yang mengalami penggusuran demi perlindungan komodo, naga terakhir yang hidup di bumi,” ujar kurator pameran “Di Bawah Kuasa Naga” Uyung Hamdani, Senin (22/4/2024).
Bagi Uyung, memilih Padang sebagai tempat pameran foto yang diambil fotografer Fatris MF di Pulau Komodo punya beberapa alasan. Pertama, mendorong minat fotografer muda Sumatra Barat (Sumbar) untuk mendalami foto dokumenter seperti yang dikerjakan Fatris MF. Kedua, apa yang menjadi persoalan di Pulau Komodo juga terjadi di wilayah Sumbar.
“Di antaranya isu kebudayaan yang lambat laun cuma jadi simbol semata, karena percepatan pembangunan pariwisata oleh pemerintah hari ini tidak memberi ruang bagi masyarakatnya sendiri,” papar Uyung.
Pameran foto ini, lanjut Uyung, diharapkan mampu memicu kesadaran lebih bahwa tiap-tiap kebijakan akan punya konsekuensi terhadap warga dan ruang hidupnya.
Pola Non-Konvensional dalam Berpameran
“Di Bawah Kuasa Naga” merupakan bentuk penawaran pola non-konvensional dalam berpameran di Sumbar. Foto-foto jepretan Fatris akan disusun berdasarkan cerita yang ditulisnya sendiri dalam buku terbarunya. Beberapa foto akan digabung atau dijajar secara berdekatan dan beberapa foto lainnya akan berdiri sendiri, tetapi tidak lepas dari kesatuan cerita “Di Bawah Kuasa Naga”.
Foto-foto yang dipajang akan diterjemahkan oleh perupa Ariq Alhani dengan pendekatan artistik, yakni lukisan dinding atau mural.
“Dalam perkembangannya fotografi ternyata tidak lagi semata milik juru foto. Bagi seniman seperti Ariq, foto menjadi medium seni rupa. Proses antara juru foto menghasilkan foto dan foto yang dijadikan medium seni rupa ini punya pendekatan yang berbeda walaupun dengan pembacaan isu yang sama,” jelas Uyung.
Menurut Uyung, perbedaan lintas ilmu ini menjadi kekuatan tersendiri saat digabungkan dalam pameran. Di satu sisi akan ada foto yang dipajang khas pameran foto, sisi lainnya adalah seni rupa yang berbahan dasar sebuah foto.
“Foto-foto Fatris MF akan direspon dengan mural dan instalasi dari Ariq Alhani. Ariq bertugas untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan Fatris melalui foto dengan sentuhan-sentuhan visual,” sambung Uyung.
Selain fotografer, Fatris MF diketahui penggemar filologi dan sastra lisan yang kerap melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia. Ia juga menulis catatan perjalanan yang berfokus pada sejarah, isu lingkungan, pergeseran budaya dan pergesekannya dengan modrenisasi. Enam buku yang telah dihasilkannya antara lain Merobek Sumatera (2015), Kabar dari Timur (2018), Lara Tawa Nusantara (2019), Hikayat Sumatra (2021), The Banda Journal (2021), Indonesia Dari Pinggir (2023). Selain itu, ia juga meriset dan menjadi jurnalis lepas di beberapa media seperti DestinAsian Indonesia, National Geographic, dan koran Tempo.
Sedangkan Ariq Al Hani, seorang seniman illustrator dan graphic gesigner lepas yang aktif berkolaborasi dengan seniman di kota Padang. Ia tertarik dengan artwork, street art, dan manajemen pameran (inisiator Exhibition Kolektif “Hey Youth”). Beberapa karya kolaborasi dengan musisi berupa cover album dan merchandise band seperti The Secret, Cerberus, DivineCult, The Brotherman Blues, Paulphobia, Rules Eighteen, Flamed Chalice. Ia juga merupakan founder dari 3 brand busana Galanthus Nivalis, Socialdistress dan Nanaka Magic.
The Land of Dragon: Sebuah Ironi Atas Nama Pembangunan, Konservasi dan Pariwisata
Selain pameran foto, akan digelar screening film dokumenter, launching dan diskusi buku karya Fatris MF yang berjudul “Di Bawah Kuasa Naga. The Land of Dragon”. Film dan buku ini merupakan catatan dari perjalanan Fatris MF ke Labuan Bajao, Nusa Tenggara Timur, dan secara khusus memotret Taman Nasional Komodo, sebuah tempat yang berjarak lebih dari 3000 kilometer dari Sumatra Barat pada tahun 2020.
Fatris merekam ingatan kolektif masyarakat suku Komodo atau Ata Modo tentang bagaimana hubungan mereka dengan saudara komodo-nya yang diberi nama “sebae”, makhluk yang sering disebut peneliti Eropa sebagai naga terakhir di muka bumi. Sebae yang disyairkan mereka dalam dendang dan cerita legenda masyarakat suku Ata Modo sebagai saudara manusia.
Soal ironi pembangunan restoran, swalayan, dan hotel megah di Labuan Bajo yang dibeli oleh orang luar sana, kapal-kapal wisata mewah yang mampir dan dibukanya lapangan kerja baru dari aktivitas tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di sana. Resort sangat mewah bisa berdiri, sedangkan kampung di Pulau Komodo dengan populasi 1700 jiwa memiliki masing-masing hanya satu puskesmas, SD dan SMP.
Nyatanya masyarakat suku Ata Modo tetap hidup dalam kemiskinan. Mereka, bahkan semakin miskin karena yang tinggal di kawasan Taman Nasional “Komodo” dilarang berburu rusa, mengambil hasil hutan lainnya, dan menangkap ikan dengan pukat. Perlahan mata pencaharian mereka menghilang.
Hal terburuk, mereka yang menetap di Pulau Komodo terancam untuk disingkirkan atas nama konservasi. UNESCO mencap kawasan ini sebagai cagar biosfer dunia di tahun 1977 dan Sail Komodo pada tahun 2013. Konservasi celakanya hanya menjadi isu yang meminggirkan kemanusiaan.
Fatris memotret dengan intens keadaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Komodo ketika COVID-19 melanda. Mata pencaharian awal masyarakat hilang berganti dengan menggantungkan hidup kepada turis-turis yang melancong. COVID-19 membuat kondisi ekonomi masyarakat makin hancur porak-poranda. Barang-barang mereka tergadai untuk menyambung hidup.
Khusus film, Fatris menggarapnya bersama Dhika Rizki Sandy, salah seorang sineas asal Sumatra Barat. Dhika adalah seorang sutradara, produser dan penulis skenario di Indonesia. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, dengan penjuruan penyutradaraan film. Selama studinya, Dhika menghasilkan beberapa film pendek, di antaranya; A Gift (2019), Lautan Lara (2020), Lanita (2021), Rasa (2022) dan A Star Is Fucking Born (2023) sebagai film pendek terakhirnya yang masih tayang di beberapa festival film lokal dan internasional.
Pameran fotografi, art, pemutaran film dan peluncuran buku di “Di Bawah Kuasa Naga” akan berlangsung selama 4 hari. Selain itu ada penampilan musik dari Echoflow dan Calon Pemusik Negeri Sipil, serta penampilan spesial dongeng bersama Obe Jo Gogo. Kegiatan ini didukung oleh UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Gapz!, Komunitas Seni Nan Tumpah, Sarga, Steva, Clera Studio, Pelita Padang, Rumah Ada Seni, Info Sumbar, Minang Lipp, Ota Lapau dan We The Syne. (*/Yh)