Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang sering dikenal di masyarakat sebagai UU ITE yang saat ini telah meningkatkan pengaturan yang melindungi penggunaan informasi dan transaksi eletronik secara benar. Tetapi, pelaksanaan UU ITE ini menimbulkan kontroversi dengan berbagai pihak, terkhususnya pihak wartawan.
Sebelum adanya UU ITE, ada pasal yang sering menjerat wartawan saat melakukan kerja, yaitu adanya pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 3 yang menjelaskan tentang pencemaran nama baik dan penghinaan. Namun, semenjak adanya UU ITE ini kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia patut dipertanyakan karena undang-undang tersebut menimbulkan ketegangan.
UU ITE mengatur dan melindungi penggunaan informasi dan transaksi eletronik, tetapi menimbulkan ancaman hukum yang sangat berpengaruh terhadap kebebasan wartawan. Pemberitaan yang kritis, keterbukaan informasi untuk masyarakat, dan penegakan akuntabilitas publik terhambat karena ketidakjelasan ketentuan di dalam UU ITE.
Adanya ketegangan antara UU ITE dengan wartawan menciptakan tantangan di dunia jurnalistik yang bisa meluas kepada kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia sejak 2008 ketika mulai diberlakukan.
Salah satu dampak yang sangat berpengaruh dari UU ITE adalah adanya batasan dalam melaporkan dan menyampaikan infromasi kepada masyarakat. Pasal-pasal dalam UU ITE, terutama Pasal 27 dan Pasal 28 malahan digunakan untuk menjerat wartawan dan individu-individu yang berani menyuarakan pendapat yang berisi kritikan terhadap pemerintah atau institusi-institusi lainnya.
UU ITE berdampak juga kepada wartawan yang sering kali menghadapi tantangan dalam melakukan wawancara dengan tokoh penting karena takut akan menimbulkan ancaman hukuman dari pernyataan yang mereka buat selama wawancara. Banyak juga orang atau lembaga menolak untuk melakukan wawancara atau membatasi wawancara karena dikhawatirkan akan dituduh melanggar UU ITE.
Wartawan juga mengalami tantangan karena harus menyesuaikan tugas jurnalistik dengan ketentuan peraturan yang ambigu dalam UU ITE.
Meskipun itu, ternyata ada upaya untuk merevisi UU ITE yang bertujuan untuk melindungi kebebasan pers, dan demokrasi.
Tetapi, proses tersebut masih terhalang oleh berbagai kendala politik dan kepentingan. Apalagi pada penegakan hukum yang kurang konsisten dan menginterpretasikan hal-hal yang ambigu juga menimbulkan keraguan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Diharapkan kepada pemerintah untuk memperhatikan kembali penerapan UU ITE dengan memastikan bahwa kebebasan pers dan demokrasi tetap terjaga, serta pelindungan terhadap wartawan dan individu yang menyuarakan pendapat harus menjadi prioritas, agar mereka tidak perlu takut dalam beropini dan masyarakat dapat lebih leluasa mengakses informasi yang akurat dan beragam serta bisa menyuarakan pendapatnya yang berguna untuk membangun demokrasi yang sehat.
Masyarakat juga perlu berperan aktif dalalam mengawasi dan mengkritik pemerintah supaya UU ITE tidak digunakan sebagai alat untuk membungkan suara rakyat.
*Penulis: Fakhira Salimah Visandri (Mahasiswi Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)