Langgam.id - Kapal Ville de Bourdeaux melepas jangkar di lepas Pantai Padang. Dipimpin pelaut ternama Prancis saat itu, Francois-Thomas Le Meme kapal yang bersenjatakan puluhan meriam dan membawa 200 bajak pelaut berpengalaman membuat tentara Belanda yang menjaga Padang sebagai wilayah dagang VOC, ketakutan.
Sejarawan Gusti Asnan dkk dalam "Kamus Sejarah Minangkabau" menyebut, Le Meme muncul di perairan depan Kota Padang pada 6 Desember 1793, atau tepat 226 tahun yang lalu dari hari ini, Jumat (6/12/2019).
Berusia 29 tahun saat itu, Le Meme mencatatkan diri sebagai bajak laut yang dipuja di negaranya. Pasalnya, ia mengkhususkan diri membajak kapal-kapal musuh Prancis.
Pesisir barat Sumatra Barat yang dikuasai VOC saat itu menarik minatnya. Belanda saat itu sedang berada di bawah kekuasaan Prancis. Di mana mereka berada, Prancis perlu mendatanginya. Kebetulan juga Le Meme baru saja menebar ketakutan pada sejumlah kapal di Selat Sunda, tak terlalu jauh dari Padang.
"Pasukan Le Mème mendarat di Air Manis, berhasil menyerang kota melalui Bukit (Gunung) Padang. Di puncak bukit ini, ada sebuah pertahanan Belanda tetapi semua telah melarikan diri," tulis Rusli Amran dalam Buku "Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang" (1981).
Menurut Rusli, sebagian pasukan Le Mème juga menyerang dengan perahu-perahu dari laut memasuki Sungai Arau. "Ada sedikit perlawanan tetapi sebentar saja karena semangat tempur Belanda telah hilang sama sekali. Pasukan Prancis merampas semua," tulisnya.
Gusti Asnan dalam buku yang lain, "Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an" menulis, Le Meme menyebut hadir sebagai utusan Prancis.
"Le Meme mengatakan dirinya sebagai pengemban amanat revolusi Prancis menguasai Padang dan kawasan-kawasan lain pantai barat bagian tengah Sumatra," tulisnya.
Setelah pernyataan kapitulasi dari PF Chasse yang menjadi Opperkoopman VOC di Padang saat itu, bajak laut yang berpangkalan di Pulau Mauritius tersebut menyatakan Padang dan daerah-daerah lainn yang dikuasai VOC sebagai daerah taklukan Prancis.
"Pernyataan itu ditanda dengan pengumandangan lagu (kebangsaan Prancis) Marseillaise serta pengibaran bendera tricolor di Padang," tulisnya.
Dalam Kamus Sejarah Minangkabau, Gusti dkk menulis, Le Meme menguasai Padang selama 16 hari. "Selama penguasaan itu, gerombolan bajak laut tersebut banyak mengobrak- abrik gedung dan gudang."
Kalau biasanya bajak laut kejam tanpa ampun, menurutnya, Le Meme dan anak buahnya tidak melakukan pembunuhan, penculikan atau pelecehan seksual terhadap kaum wanita. "Mungkin terpengaruh oleh semangat Perancis, liberte, egalite dan fraternite," tulis Gusti.
Tuntutan yang paling utama dari mereka adalah permintaan uang kepada penduduk Kota Padang. Uang itu dikatakan sebagai "penghargaan" kepada mereka yang memenangi perang.
"Mula-mula diminta 70.000 ringgit, namun akhirnya yang tersedia hanya sekitar 25.000 ringgit. Semua penduduk baik bangsa Eropah, Indo dan pribumi harus membayar," tulis Gusti.
Menurutnya, golongan Tionghoa berusaha mengelak sedemikian rupa. "Banyak dari mereka yang menyembunyikan harta bendanya serta melarikan diri ke pinggiran kota. Akibat tindakan mereka itu, banyak dari rumah mereka yang dibakar."
Dengan Opperkoopman Padang yang bernama Chase dia membuat perjanjian yang menyatakan Padang takluk dan menjadi bagian dari negara Perancis.
Selain Padang, Le Meme juga menyerang beberapa kota pantai lainnya di pesisir barat Minangkabau, seperti Pulau Cingkuak dan Air Bangis. Beberapa perahu kepunyaan orang Aceh dan Minangkabau yang tengah berlayar juga mereka rampok.
"Le Meme meninggalkan Padang setelah dua pekan pendudukan, dengan uang tebusan yang besar dari masyarakat dan orang Tionghoa Padang," tulis Anthony Reid dalam Buku "Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia" (2011).
Menurut Didik Pradjoko dan Bambang Budi Utomo dalam "Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia", atas penguasaan tersebut, Le Meme mendapat penghargaan dari Pemerintah Prancis saat itu.
Namun, klaim itu tak lama, karena pada 1795, Kota Padang diambil alih oleh Inggris. Padang kembali beralih ke bawah penguasaan Belanda setelah Traktat London pada 17 Maret 1824.
Le Meme sendiri, setelah meninggalkan Padang masih berjaya di laut. Menurut Rusli Amran, sejak belia, ia memang sudah bercita-cita jadi bajak laut. "Tentang hasil-hasil pembajakan bernilai tinggi dan bekas-bekas perampok di laut bebas yang pulang kampung menjadi kaya. Cerita-cerita ini mempengaruhi jalan hidup Le Meme," tulis Rusli Amran.
Charles Cunat dalam Buku "Saint-Malo illustré par ses marins (1857) menulis, La Meme lahir di Saint-Malo pada 13 Januari 1764. Ia mulai jadi bajak laut saat ikut merampok kapal Inggris saat negara itu bermusuhan dengan Amerika.
"Suatu hari kapalnya dicegat sebuah fregat Inggris. Semua termasuk Le Mème yang masih muda, ditawan di Inggris. Dalam penjara ini Le Meme bercita-cita menjadi raja perampok dan akan memerangi Inggris di mana saja," tulis Rusli.
Dengan kapal pertamanya, Hirondelle yang memiliki 12 meriam dan 80 awak, ia merampok kapal dagang milik Belanda dan Inggris. Ville de Bordeaux adalah kapal keduanya yang dipimpinnya dan kemudian dibawa menaklukan Padang.
Setelah itu, La Meme masih sempat memimpin sejumlah kapal lainnya. Ia ditangkap pelaut Inggris saat memimpin Kapal Fortune pada 7 November 1804. Kemudian dibawa ke Inggris. Namun dalam perjalanan di atas kapal, dia menderita sakit dan meninggal dunia pada 30 Maret 1805. (HM)